skip to main | skip to sidebar

Cerpen Musi Palembang (CMP)

Kisah di sepanjang aliran sungai musi by muhamad nasir

Puisi dan Pantun

Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Total Tayangan Halaman

Halaman

  • Halaman Muka
  • Cerpen Teman
  • Budaya
  • Puisi dan Pantun

Lencana Facebook

Nasir Muhamad Lubay

Buat Lencana Anda

Blog Sastra Teman

  • http://www.sastrawongkito.blogspot.com/
  • http://penyairgunung.blogspot.com/
  • http://www.balaibahasasumsel.org/
  • http://noveljuaro.blogspot.com/
  • http://menggergajibatu.blogspot.com/
  • http://novelperahu.blogspot.com/
  • http://www.tejeireng.blogspot.com
  • http://www.balaibahasasumsel.org/
  • http://taufikwijaya.blogspot.com/
  • http://penyairgunung.blogspot.com/
  • http://penyairgunung.blogspot.com/

Penulis dan editor

Penulis dan editor
Inilah pemegang patent buku ini

Layouter

Layouter
Inilah pembuat layout dan grafisnya

sketsa kota palembang

sketsa kota palembang
blog sketsa kota palembang

Blog Kumpulan Cerpen Kaos Politik

Blog Kumpulan Cerpen Kaos Politik
Disinilah Lubuknya Cerpen Musi

Blognyo wong Palembang

Blognyo wong Palembang
Informasi dan foto Palembang

Situsnya Cerpen Bermutu

Situsnya Cerpen Bermutu
Berisi Cerpen Lawas

Musi Pos

Musi Pos
informasi seputar musi

Daftar Blog Saya

link media

  • http://andalas-comunity.blogspot.com/
  • http://palembang-blogger.blogspot.com/
  • http://palembang-wp.blogspot.com/
  • http://www.bisnis.com
  • www.sinarharapan.co.id

link oke

  • http://dodinp.blogspot.com/
  • http://www.beritapagi.co.id
  • http://www.dikti.org

my

my
istri dan putraku

Arsip Blog

  • ▼  2010 (1)
    • ▼  Okt 2010 (1)
      • ▼  Okt 25 (1)
        • Bas Musik Gema Suara Bertahan dengan Peralatan Tua
  • ►  2009 (15)
    • ►  Des 2009 (2)
      • ►  Des 24 (1)
      • ►  Des 13 (1)
    • ►  Okt 2009 (2)
      • ►  Okt 20 (2)
    • ►  Agu 2009 (1)
      • ►  Agu 06 (1)
    • ►  Mar 2009 (8)
      • ►  Mar 03 (7)
      • ►  Mar 02 (1)
    • ►  Feb 2009 (2)
      • ►  Feb 04 (2)
  • ►  2008 (6)
    • ►  Agu 2008 (5)
      • ►  Agu 20 (1)
      • ►  Agu 03 (4)
    • ►  Jun 2008 (1)
      • ►  Jun 28 (1)

my

my
aku dan putriku
Powered By Blogger

karyaku.

  • blogku
  • cerpenku

Cerpen 2: Kaos oleh Muhammad Nasir

Kampung itu terletak di tepi sungai. Sungai yang menghidupi banyak orang, termasuk Kiemas Nachrudin yang berumah di atas rakit, terbuat dari kayu dan papan, beratap seng yang karatnya sudah mendominasi. Namanya Sungai Musi. Siang hari, di tengah terik matahari, atap rumah itu dihiasi jemuran. Mulai dari pakaian dalam yang sudah berlubang-lubang di sana sini, hingga topi belel dan jaket kusam tebal yang dibeli di loakan. Pemandangan menjadi tak indah karena rumah-rumah lainnya juga memberikan penglihatan yang sama bagi pengemudi ketek dan penumpang speed boat. Juga pengendara motor maupun mobil dari atas Jembatan Ampera. Beruntung, setiap hari, jemuran di rumah Kiemas Nachrudin masih diramaikan baju yang warnanya cerah. Masih baru pula. Sehingga, meski agak merusak pemandangan, jemuran di atas atap rumah itu masih memberikan obat bagi yang melihatnya. Soalnya, kaos-kaos itu warnanya cerah-cerah. Dilengkapi gambar dan nomor. Ya, gambar-gambar partai politik dan nomor urut partai politik serta calon anggota dewan perwakilan desa yang akan ikut pemilihan umum di kota tua, tempat Kiemas dilahirkan 45 tahun lalu. Memang, dalam usaha merebut perhatian Kiemas dan anak istrinya, kaos pun dibagi-bagikan. Tanpa beban pemberian itu diterima. Jadilah, secara bergantian Romlah istri Kiemas kalau ke pasar pagi membeli ikan teri dan sayur kangkung mengenakan kaos baru. Begitupun Yasin anaknya yang bersekolah di sekolah dasar, kalau pelajaran olahraga mengenakan baju kaos berlambang partai yang terlihat kedodoran. Maklum, di umurnya yang 10 tahun karena kekurangan gizi, kaos yang all size terlihat menjadi baju kebesaran. ”Wah, kamu besok jangan lagi pakai baju ini. Atau kamu tak usah ikut olahraga saja,” ujar Pak Amir, guru olahraga Yasin. Memang, Yasin sebenarnya punya baju olahraga. Karena terlalu sering dipakai di luar jam pelajaran, belum setahun baju olahraganya sudah banyak tahi anginnya. Bintik-bintik hitam memenuhi kaos berwarna putih yang ada gambar Rimaunya. Belum lagi, bekas karat dari seng rumah saat dijemur ibunya. Akibatnya, kaos itu pun tak layak pakai. ”Jadi, saya tidak boleh pakai kaos ini? Atau kalau boleh, saya tak usah pakai baju saja Pak kalau olahraga,” jawab Yasin kepada gurunya. ”Yasin, kamu tak ngerti ya. Kaos kamu itu kaos partai. Jadi alat kampanye. Sekarang waktunya belum untuk kampanye,” jawab Pak Guru. Tentu saja, jawaban pak guru olahraga ini membuat yasin mengkerutkan kening. Tak mengerti. ”Tapi kata Pak Guru Agama, menghargai pemberian orang itu, salah satu caranya dengan memanfaatkan pemberiannya,” jawab Yasin mengutip ajaran gurunya yang lain. Akhirnya, Yasin pun diskor tidak boleh ikut pelajaran olahraga. ”Ya dipikir-pikir ternyata enak juga tidak olahraga. Mana lagi, saya juga sudah capek setiap hari sepulang sekolah berjualan. Untung juga ya,” pikir Yasin. Memang, sehari-harinya Yasin berjualan kantong asoy di pasar 16 Ilir. Setiap hari itu dilakoninya. Meski demikian, dia tetap masih suka memakai kaos-kaos yang didapat ayahnya dari orang-orang yang membagi-bagikan secara cuma-cuma. Begitupun ibunya, kini tak lagi mengenakan gaun-gaun yang dibelikan suaminya di penjual buruk-an Jepang (BJ) di Pasar Cinde. Kaos-kaos baru berlambang dan bergambar bagus cukup banyak di lemari tripleknya. Hanya rok saja atau kain yang masih buram dan tak bisa dielakkannya untuk tidak dipakai. ”Coba ada juga yang kasih kain. Atau rok ya,” pikir Romlah sambil membilas tiga potong kaos yang habis dikenakannya, suaminya, dan anaknya. Ketika Kiemas sang suami pulang dari membecak, itu pun disampaikan. ”Iya ya. Tapi, orang-orang itu sepertinya cuma membuat kaos, bendera, sama topi,” ujar Kiemas sembari mencuci becaknya di depan beranda rumah rakitnya. Tampak, tiga topi tergantung di bawah atap becaknya, dan dua bendera kiri kanan menghiasani kendaraan beroda tiga yang merupakan milik tetangganya yang saat ini juga ikut mencalon. ”Nantilah, saya sampaikan ke bos,” ujarnya pula. Siapa tahu pikirnya, pemilik becak yang katanya juga ikut aktif di partai bisa memikirkan soal rok dan kain untuk istrinya. Meski bos pemilik becak diketahuinya ikut berpartai, Kiemas tak tahu apa nama partainya. Maklum, dia buta huruf. Begitu juga istrinya. Yang dia tahu, partai bosnya itu warnanya terang. Kini, dengan banyaknya kaos yang diterimanya, Kiemas maupun istrinya merasa cukup berterima kasih. Sayangnya, mereka berdua jujur saja mengaku tak mengerti nanti akan memilih siapa. Lah, satu partai saja yang memberi lebih dari satu orang. ”Mana saya juga belum pernah ditanya-tanya Pak RT. Emang saya bisa ikut milih nanti?” kata Kiemas kepada rekannya sesama penarik becak. Sambil menunggu penumpang, Kiemas memang suka mengobrol. Kalau habis obrolan, penumpang belum ada, dia pun tak menolak ajakan teman-temannya untuk memainkan kartu domino. Uang didapat pun berkerincingan. Jadilah, para abang becak ini dengan kaos-kaos berlambang partai mengadu nasib. Iseng-iseng, siapa tahu menang. Atau, setoran pun terpaksa mengutang kalau kalah. ”Wah ini kampanye atau apa nih,” tegur seseorang dari belakang. Kedatangan orang tak dikenal ini spontan membuat Kiemas dan kawan-kawan kocar-kacir. Tinggallah kartu domino dan uang recehan. Termasuk di antaranya, kaos partai milik Kiemas yang ternyata sudah digadaikan karena dia habis modal. ”Polisi!” teriak Kiemas bersamaan dengan rekan-rekannya sambil berlari. Orang yang baru datang ikut terkejut melihat para tukang becak memakai jurus langkah seribu. ”Wah, orang mau ngasih kaos kok dikira polisi. Emang rambut pendek itu cuma polisi yang boleh,” gumam Herman, seorang calon anggota dewan, yang memang berambut cepak. Sekantong kaos yang dibawa Herman pun dibawa kembali. Urung dibagikan. Termasuk daftar nama yang masih kosong dari tanda tangan maupun cap jempol yang menyatakan bahwa kaos telah diterima. ”Mau dikasih kaos kok lari. Apalagi kalau cuma ngasih kartu nama atau kalender,” kata Herman bercerita di kantornya. ”Atau begini saja Pak. Sekarang kita bagikan beras saja,” saran anggota partai yang diketuai Herman. Kiemas dan kawan-kawan tak lama kemudian kembali ke tempatnya mangkal ketika dilihatnya orang yang tak dikenalnya sudah pergi. ”Itu sepertinya bukan polisi,” kata Rudi, seorang tukang becak yang tadinya sudah menang dan mengantongi 10 ribu rupiah, namun kemenangannya habis tercecer. Bik Onah, pemilik warung nasi tak jauh dari tempat para tukang becak ini mangkal menceritakan bahwa orang yang tadi datang sebenarnya mau membagi kaos. ”Dia sempat cerita dan heran melihat kalian pada lari,” ujar Bik Onah tertawa memperlihatkan giginya yang ompong. ”Wah kalau cuma kaos sih, kami sudah banyak. Lagian, gimana mau milih dia. Kita tak kenal siapa dia. Jangan-jangan nanti kalau terpilih, tak ingat lagi sama kita,” ujar Parmin, seorang pemuda tamatan SMA yang terpaksa membecak karena lima tahun tamat sekolah belum dapat pekerjaan. ”Wah, coba jangan lari….” Palembang, Maret 2004 Copyright © Sinar Harapan 2003 Dimuat di Sinar Harapan, edisi ......

ana

ana
ana khataman Quran

Pengikut