Minggu, 13 Desember 2009

Sastrawan Sumsel

Tokoh Sastra Sumsel A

Tokoh

Ahmad Bastari Suan

1. Latar Belakang Keluarga
Ahmad Bastari Suan dilahirkan pada tanggal 27 Agustus 1946 di Lahat, Sumatera Selatan, tepatnya di Dusun Pelajaran Kecamatan Jaray. Ia terlahir dari pasangan Maridjah dan Muhammad Suan yang berasal dari Basemah, Lahat.
Ahmad Bastari Suan tumbuh dan besar di keluarga petani. Namun, bapaknya yang sehari-hari bekerja di sawah masih menyempatkan waktu untuk mendongeng bagi anak-anaknya. Ada nilai-nilai kebajikan yang ditanamkan orang tua Ahmad Bastari Suan melalui kisah-kisah yang didongengkannya, antara lain nilai moral, dan nilai agama. Inilah yang ke depannya mempengaruhi Ahmad Bastari Suan dalam berkarya.
Pada tanggal 20 Mei 1979, Ahmad Bastari Suan menikah dengan Ernawati. Sampai sekarang mereka telah dikaruniai 9 orang anak, yaitu Awang Gusnan Pasmawan, Ade Pebran Gumay, Agung Juniarsah Bastari, Atung Adhansah Bastari, Abri Tan Alam, Ading Ramadhansah Wijaya, Bintang Seri Bastari, Rizki Intan Permata Hati, dan Rizka Mutiara Indah.
2. Latar Belakang Pendidikan
Ahmad Bastari Suan menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Lahat, tanah Basemah. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR) Muhammadyah pada tahun 1960, ia melanjutkan ke SMP Negeri Lahat dan menamatkannya pada tahun 1963.
Ketika bersekolah SMA Negeri Lahat, Ahmad Bastari mulai senang menulis puisi. Banyak karya yang dihasilkan, namun baru terpublikasi setelah ia menamatkan SMA pada tahun 1967.
Setelah itu, Ahmad Bastari Suan pada tahun melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya di Palembang dan meraih gelar Sarjana Muda pada tahun 1971. Kemudian, pada awal 80-an, Ahmad Bastari meneruskan pendidikannya ke P3DK Unsri dan ditamatkannya pada tahun 1982 dengan mengantongi ijazah Diploma II Bahasa Indonesia dan Akta II Guru Bahasa Indonesia.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Setelah memperoleh Aktaa II Guru Bahasa Indonesia, Ahmad Bastari Suan bekerja sebagai guru tidak tetap pada beberapa SMP, SMA/STM Swasta pada tahun 1976. Kemudian, pada tahun 1981, ia diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Bagian Humas Kantor Walikota Palembang.
Bekerja di Bagian Humas Kantor Walikota tidak membuat Ahmad Bastari Suan berhenti menjadi guru Bahasa Indonesia. Ia tetap mengajar di SMP FIP Unsri sambil terus menulis puisi dan artikel. Pada tahun 1984, di majalah Pembinaan Bahasa Indonesia tahun 5 nomor 2, Ahmad Bastari Suan mengusulkan kata ‘mantan' yang berasal dari bahasa Basemah untuk memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Ia mengatakan bahwa alih-alih menggunakan kata ‘eks' yang berasal dari bahasa asing untuk menggantikan kata ‘bekas', lebih baik kita menggunakan kata yang berasal dari bahasa daerah. Kata ‘mantan' yang telah lama digunakan masyarakat Basemah pun diusulkannya dan sampai sekarang terus digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Latar Belakang Kesastraan
Sejak tahun 1968, Ahmad Bastari Suan telah aktif menulis puisi untuk Sanggar Sastra untuk Radio Republik Indonesia Stasiun Palembang. Bekerja sama dengan Kanwil Depag, ia juga ikut serta dalam Ruangan Puisi Kalam Illahi HSBI Subuh yang juga dipancarluaskan oleh stasiun radio yang sama.
Pada tahun 1969, Ahmad Bastari Suan ikut mendirikan Himpunan Pencipta Seni dan Budaya Sriwijaya (HPSBS), sebuah organisasi yang meramaikan perkembangan seni dan budaya di Palembang pada waktu itu.
Setelah pensiun, Ahmad Bastari Suan pun tetap berkarya. Di samping sehari-harinya ia tercatat sebagai guru tidak tetap Bahasa Indonesia pada salah satu SLTP swasta, ia juga aktif sebagai salah satu narasumber pada Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia dan Daerah, hasil kerja sama Balai Bahasa Palembang dengan RRI Cabang Madya Palembang. Ia juga tetap menulis puisi ataupun artikel yang dimuat di beberapa media di Sumatera Selatan. Dalam bidang kebahasaan, ia terus menggali potensi dirinya dengan ikut terlibat dalam beberapa penelitian bahasa dan sastra Indonesia, seperti penelitian tentang bahasa Melayu Kuna yang baru-baru ini dikerjakannya.
Ahmad Bastari Suan adalah penulis yang produktif. Sejak mulai menulis dari bangku SMA sampai sekarang, karya-karyanya berupa puisi, cerita, dan artikel, telah banyak dimuata di beberapa media. Media tersebut antara lain adalah Minggu Merdeka, Suara Rakyat Semesta, Gema Pancasila, Gelora Musi, dan Sumatera Ekspres. Di samping itu, karyanya juga dipublikasikan di acara ‘Sanggar Sastra' dan ‘Puisi Kalam Illahi' RRI Stasiun Palembang.
5. Karya-karya Ahmad Bastari Suan
a. Karya Sastra
Puisi
1. Satu Inspirasi, dalam Minggu Angkatan Bersenjata, 1970
2. Untuk Rekan Lim Tek Liang, dalam Gema Pancasila, 1971
3. Seni Sejati, dalam Sanggar Sastra, 1975
4. Salam di tengah Takbir, dalam Puisi Kalam Ilahi, 1975
5. Idul Qurban, dalam Puisi Kalam Ilahi, 1978
6. Jiwa Pahlawan, dalam Puisi Kalam Ilahi, 1978
7. Nyanyian Fajar, dalam Puisi Kalam Ilahi, 1979
8. Malam Kemulyaan, dalam Puisi Kalam Ilahi, 1979
9. Sajak Bulan, dalam Minggu Merdeka, 1982
10. Aku Bertanya, dalam Minggu Merdeka, 1983
11. Pahlawan, dalam Minggu Merdeka, 1984
12. Nopember 1945, dalam Minggu Merdeka, 1984
13. Palembangku Sayang Palembangku Malang, dalam Gema Pancasila, 1985
14. Basemah Indah, dalam Suara Rakyat Semesta, 1992
15. Anak Berdoa, dalam Suara Rakyat Semesta, 1992
16. Republik ini Didirikan dengan Nama Tuhan, dalam Suara Rakyat Semesta, 1992
17. Perempuan, dalam Suara Rakyat Semesta, 1992 dan lain-lain.
Cerita Rakyat
1. Lidah Pahit lawan Mata Empat
2. Pak Andigh
b. Karya di Luar Sastra
1. Mengolahragakan Masyarakat. 1984. Suara Karya.
2. Pe-ramu, Bukan ‘Pramu'. 25 Januari 1987. Minggu Merdeka.
3. Bahasa Besemah di Kabupaten Lahat. 8 September 1989. Harian Suara Rakyat Semesta.
4. Pengajaran Bahasa Daerah di Sumsel Masih Hadapi Kendala. 10 November 1993. Suara Rakyat Semesta.
5. Bahasa Daerah di Sumatera Selatan. 24 November 1993. Suara Rakyat Semesta.
6. Bahasa Indonesia dalam Media Massa. 23 November 1994. Suara Rakyat Semesta.
7. Bukan ‘Akhir Kata' dan ‘Perhatiannya'. 2 Juni 1995. Suara Rakyat Semesta.
8. Struktur Bahasa Basemah dalam Lagu-lagu Basemah Modern. Minggu IV April 1990. Gema Paancasila.
9. Bahasa Indonesia dalam Pers Kita. Minggu II November 1994. Gelora Musi.
10. Seharusnya dengan ‘i'. 25 November 1983. Suara Karya. dan lain-lain.
c. Karya Peneliti
1. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Besemah. 1980/1981.
2. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Besemah. 1985.
3. Kamus Bahasa Besemah - Indonesia A --K. 1986
4. Kamus Bahasa Besemah - Indonesia. L --Y.
5. Ragam dan Dialek Bahasa Besemah. 1990.
6. Unsur Kekerabatan dalam Tutur Sastra Nusantara. 1993.
7. Ragam dan Dialek Bahasa Rejang. 1994/1995.
8. Kamus Bahasa Indonesia - Besemah L--Z. 1996.
9. Struktur Sastra Lisan Semende. 1997.
10. Struktur Sastra Lisan Besemah. 1998.
11. Struktur Sastra Lisan Aji. 1999.
12. Struktur Sastra Lisan Enim. 2000.
13. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota Palembang. 2001.
14. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kabupaten Lahat.
15. Palembang "KOTA BARI". 1997

Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=1

Tokoh

AHMAD RAPANIE IGAMA

1. Latar Belakang Keluarga
Ahmad Rapanie Igama dilahirkan di Palembang pada tanggal 23 Maret 1964. Ia terlahir dari sepasang suami-istri, Makmun Igama dan Rokoyah, yang berasal dari Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Walaupun tidak tumbuh besar di sana, Ahmad Rapanie tetap tidak meninggalkan adat-istiadat Komering yang diperkenalkan oleh kedua orang tuanya.
Ayah Ahmad Rapanie sendiri, Makmun Igama, adalah seorang yang memegang teguh adat dan rajin menyampaikan cerita-cerita rakyat Sumatera Selatan khususya Komering, kepada anak-anaknya sebagai cerita penghantar tidur mereka. Dari situlah dia menanamkan nilai-nilai moral dan kebajikan yang menjadi modal utama untuk kehidupan anak-anaknya di masa mendatang. Oleh karena itu, Ahmad Rapanie pun tumbuh menjadi pemuda yang haus ilmu pengetahuan, berbudi pekerti, dan berpegang teguh pada nilai-nilai kebajikan yang telah diajarkan oleh orang tuanya.
Pada tanggal 23 Mei 1993, Ahmad Rapanie mempersunting dara idaman yang merupakan teman sekampusnya di UGM Yogyakarta, Dian Susilastri. Dari pernikahan itu lahirlah tiga buah hati mereka yaitu, Ardian Kurniaji Pradipta (meninggal dunia pada 1 Maret 1997), Tyasto Prima Ahmadi, dan Tyastri Suryaninda.
2. Latar Belakang Pendidikan
Ahmad Rapanie menempuh pendidikan dasarnya di SD Muhammadiyah 2223, Samarinda, Kalimantan Timur. Kala itu ia diajak menetap di Samarinda bersama paman dan bibinya yang tidak memiliki anak. Berpisah dengan kedua orang tua pun tidak menjadi halangan bagi Ahmad Rapanie yang ingin menimba ilmu dan pengalaman di negeri orang.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di Samarinda, Ahmad Rapanie menempuh pendidikan menengah pertamanya di SMP Negeri 3 Magelang, Jawa Tengah. Sekali lagi Ahmad Rapanie merantau dan ikut keluarga yang menetap di sana.
Begitu pula setelah Ahmad Rapanie menamatkan SMP di sana, ia pun pindah ke Yogyakarta dan menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Yogyakarta. Ia tinggal dengan paman dan bibinya di Yogyakarta.
Ahmad Rapanie menempuh pendidikan tingginya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia, Subjurusan Sastra Modern dan meraih gelar Sarjana Sastranya pada tahun 1990.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Setelah menamatkan pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjananya, Ahmad Rapanie kembali ke Palembang dan bekerja sebagai wartawan pada surat kabar Sumatera Ekspres. Kemudian pada tahun 1992, ia pindah menjadi wartawan pada harian ekonomi Neraca dan majalah pelajar Narasi.
Pada tahun 1993, Ahmad Rapanie diterima sebagai karyawan di Museum Negeri Sumsel dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada 1 Maret 1994.
4. Latar Belakang Kesastraan
Kota Yogyakarta adalah kota istimewa bagi Ahmad Rapanie. Di kota inilah bakat menulisnya mulai terasah, terutama ketika ia menempuh pendidikan tingginya di Fakultas Sastra UGM, Jurusan Sastra Indonesia, Subjurusan Sastra Modern. Alam Yogya yang sarat seni budaya memberi inspirasi kepada Ahmad Rapanie untuk lebih banyak berkarya. Sebagai wujud ekspresi diri, lahirlah karya-karya Ahmad Rapanie yang banyak bertemakan seni dan budaya.
Karya pertama Ahmad Rapanie, sebuah artikel ilmiah populer, berjudul "Hukum Tanggul Tindak Asusila" dimuat di surat kabar harian Masakini Yogya. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, beberapa karya Ahmad Rapanie berupa puisi dan cerpen mulai dimuat di beberapa harian lokal di Yogyakarta.
Kembalinya Ahmad Rapanie ke kota Palembang setelah menamatkan bangku kuliahnya sempat membuat ia berhenti bersastra sejenak dan lebih berkonsentrasi pada pekerjaan wartawannya. Namun, sejak ia diterima sebagai PNS Museum Negeri Sumsel, kerinduannya pada dunia sastra makin memuncak. Oleh karena itu, pada tahun 1993 Ahmad Rapanie kembali berkarya di bidang sastra dengan menelurkan beberapa puisi, cerpen, dan sebuah naskah drama, kali ini di kota Palembang, kota tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Pada tahun yang sama, 1993, Ahmad Rapanie meraih Juara I Lomba Minat Baca se-Sumatera Selatan untuk kategori utusan organisasi. Lomba ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Aksara Nasional. Kala itu, Ahmad Rapanie membahas karya fiksi NH. Dini, Sang Guru.
Sampai sekarang, Ahmad Rapanie yang memang hobi membaca buku, telah menghasilkan kurang lebih 200 puisi, 10 cerpen, dan sebuah naskah drama. Komunitas sastra Palembang pun bertambah marak dengan kehadiran seorang Rapanie yang dapat menerapkan ilmu sastra yang didapatnya di bangku kuliah dalam kehidupan bersastranya sehari-hari dan menularkannya kepada teman-temannya.
5. Karya-karya Ahmad Rapanie Igama
Beberapa karya Ahmad Rapanie yang telah diterbitkan dan dipentaskan adalah sebagai berikut.
a. Kumpulan Puisi Bersama
• Menguak Angin.1984. FS UGM. Yogyakarta
• Puisi-puisi Sosial Mahasiswa. 1984-1988. Majalah Balairung. Yogyakarta
• Puisi-puisi Maulid Nabi Muhammad SAW.1984-1988. Senat Mahasiswa FS UGM. Yogyakarta
• AUM. 1984-1988. KMSI FS UGM.Yogyakarta
• Kumpulan Puisi Penyair Sumatera. 1998. Taman Budaya Bengkulu
• Menghitung Duka. 2000. Dewan Kesenian Palembang
• Empat Wajah. 2000. Balai Bahasa Palembang
b. Kumpulan Puisi Tunggal
• Potret Bingkai. 1998. Palembang: Penerbit Wirakarsa
• Bilakah Pelayaran Malam Berakhir. 2003. Palembang: Paradigma
c. Naskah Drama yang Telah Dipentaskan
• Parameswara
Di samping itu, baik puisi maupun cerpen Ahmad Rapanie banyak yang telah dimuat di surat kabar dan majalah di Yogyakarta, Palembang, dan Bengkulu, antara lain di Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain.
6. Pembicaraan Karya-karyanya
Banyak yang membicarakan karya-karya Ahmad Rapanie Igama, antara lain sebagai berikut.
• Dr. Rachmat Djoko Pradopo. 1985. Teknis Penulisan Puisi "Maaf Aku Tak Mampir ke Rumah-Mu". UGM, Yogyakarta.
• Ahmadon Yosi Merfanda. Antologi Puisi Sosial Mahasiswa. UGM, Yogyakarta.
• Diskusi di Museum Bala Putra Dewa. 2000. Apresiasi Sastra Potret Bingkai. Palembang.
• Purhendi. 2000. Potret Bingkai. Palembang: Sriwijaya Post.
• Joni Endardi, S.S. 2000. Analisis Struktur Empat Wajah. Balai Bahasa Palembang.
Dra. Latifah Ratnawati, M.Hum. 2003. Gambaran Umum Karya Ahmad Rapanie dalam "Bilakah Pelayaran Malam Berakhir". Palembang: Paradigma
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=3


Alex Leo Zulkarnaen

• Latar Belakang Keluarga
Alex Leo Zulkanen dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1935, di Lahat, Sumatera Selatan, dari pasangan Zulkarnaen dan Mariana. Kedua orang tuanya berasal dari Matur, Sumatera Barat. Akan tetapi, mereka bertemu dan menikah di Malang. Ayahnya, Zulkarnaen, bekerja pada Balai Pustaka pada bagian Perpustakaan Keliling.
Alex menikah dengan Nurul Aini, seorang wanita berdarah Ambon dan Jawa, pada tahun 1967. Dari pernikahannya itu, Alex dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Alex Leo Zulkarnaen meninggal dunia pada tanggal 12 Maret 1999, di Jakarta.

• Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan dasar ditempuh Alex Leo Zulkarnaen di kota kelahirannya, Lahat. Selepas itu, dia melanjutkan pendidikan menengah pertama dan menengah atas ke kota Malang. Setelah tamat dari SMA, Alex pergi ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka.

• Latar Belakang Pekerjaan
Pada tahun 1954, Alex sudah bekerja di Balai Pustaka. Pada saat sama, dia aktif sebagai pembaca cerita pendek pada Siaran Kebudayaan, Pusat Pekabaran RRI (sekarang RRI Jakarta). Alex bergaul baik dengan berbagai pihak di RRI. Ia pun tertarik untuk bekerja di sana. Lalu, Alex melamar ke RRI. Pada tahun 1958, Alex resmi menjadi karyawan RRI, tanpa meninggalkan pekerjaan terdahulu. Pada siang hari, Alex bekerja di Balai Pustaka. Sementara itu, dia bekerja di RRI pada malam hari.
Setelah beberapa tahun bekerja sebagai reporter pada RRI Jakarta, Alex Leo Zulkarnaen mengikuti seleksi pegawai di TVRI Jakarta. Ia diterima sebagai reporter di TVRI dan mulai bekerja di sana pada tahun 1962. Pada tahun yang sama dilaksanakan SEA Games dan Alex berkesempatan menjadi reporter pertama di TVRI yang meliput kegiatan tersebut.
Pada tahun 1964, Alex mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmu penyiaran di Jerman Barat. Ia belajar di sana sampai tahun 1967. Sepulang dari Jerman, Alex dipromosikan menjadi Kepala Pemberitaan TVRI. Kariernya terus meningkat sehingga menjadi Kepala TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Jabatan Kepala TVRI diembannya sampai tahun 1987. Selepas menjabat Kepala TVRI, Alex Leo Zulkarnaen dipromosikan menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film pada Departemen Penerangan RI.

. Latar Belakang Kesastraan
Alex Leo Zulkarnaen mulai mengeluti sastra semenjak duduk di bangku SMA (1952). Pada saat itu, dia memimpin sebuah teater yang anggotanya antara lain Titi Said, Titik Maljati, dan Widiasuria. Di samping tetesan darah seni yang mengalir dari orang tuanya, dunia karang-mengarang semakin "menggeliat" di tubuhnya setelah aktif di perkumpulan teater tersebut.
Sebagai pengarang, Alex Leo Zulkarnaen mulai dikenal setelah kehadiran cerpennya yang berjudul Pantai, yang dimuat dalam majalah Kisah. H.B. Jassin menggarisbawahi cerpen tersebut sebagai karya yang bernilai sehingga merekomendasikan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, bersama beberapa cerpen karya penulis Indonesia lainnya. Selanjutnya, cerpen Pantai dimuat dalam antologi Perlen im Reisfled yang disunting oleh Hilgers Hesse. Di samping menulis cerpen, Alex Leo Zulkarnaen juga menulis novel dan naskah drama. Ia pernah menulis naskah serial darma yang merupakan terjemahan dari karya Sherlock Holmes. Ia juga pernah menulis naskah drama untuk televisi. Sampai tahun 1985, Alex aktif menulis sastra. Selepas itu, dia hanya memumpunkan perhatian pada penulisan naskah drama untuk TVRI.

Daftar Karya
Berikut diterakan karya-karya Alex Leo Zulkarnaen:
• "Keluarga Kapujutjin" (Kisah dari Negara Kambing), dimuat dalam majalah Sastra No. 1-10, Januari-Oktober 1969,
• Orang Yang Kembali (Kumpulan Cerita Pendek), diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1956.
• "Papa Pergi ke Gereja" (dindonesiakan dari karya Carlos Bulosan), dimuat dalam Pustaka dan Budaya No. 2, Tahun I, Juni 1959.
• Hakim Kecil (CV Munibaru, 1962).
• Mendung (Bukittinggi: Nusantara, 1963).
• "Periode Cinta Kasih" dimuat dalam Bahana Mahasiswa Pekanbaru No. 4888, tahun V, 1987.
• "Pantai" dimuat dalam majalah Kisah edisi Juni 1954, No. 6, Tahun II.
• "Maafkan Nenekku" dimuat dalam Roman No. 4, tahun III, 1956
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=4

Tokoh

Anwar Putra Bayu

1. Latar Belakang keluarga
Anwar Putra Bayu merupakan salah seorang penulis sastra yang ikut menyemarakkan kehidupan sastra di Sumatera Selatan. Sepanjang karier kepengarangannya, Anwar Putra Bayu telah menghasilkan beragam karya sastra, seperti naskah drama, cerita pendek, puisi, serta esai sastra dan budaya. Di samping aktif menulis, Anwar Putra Bayu juga ikurt menyutradarai dan bermain teater. Beberapa pementasan pernah disutradarainya dan beberapa pertunjukan pernah dilibatinya. Sebagai penulis, karya-karya Anwar Putra Bayu tersebar di berbagai media, baik lokal (Sumatera Selatan) maupun nasional.
Anwar Putra Bayu dilahirkan di Medan pada tanggal 14 Juni 1960 dari pasangan Drs. Bahauddin dan Sitti Aminah. Drs. Bahauddin, ayah Anwar Putra Bayu, adalah seorang karyawan pada Bank Eksim Medan.
2. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan dasar dan menengah pertama di tempuh Anwar Putra Bayu di kota kelahirannya, Medan. Sementara itu, pendidikan menengah atas ditempuh di Medan dan Palembang. Anwar Putra Bayu tercatat sebagai siswa SMA Negeri 6 Medan sebelum hijrah ke Palembang guna mengikuti kakaknya. Setelah pindah ke Palembang pada tahun 1979, Anwar Putra Bayu masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam pada SMA Swadaya Palembang.
Setamat dari SMA, Anwar Putra Bayu berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke Institut Kesenian Jakarta. Sementara itu, kakaknya menyarankan agar Anwar Putra Bayu masuk ke fakultas hukum. Perbedaan keinginan antara Anwar Putra Bayu dan kakaknya itu bermuara pada ketidakpastian. Anwar Putra Bayu akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Mulai saat itu, dia memutuskan untuk bertahan dengan kehidupan seni.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Anwar Putra Bayu merupakan sosok yang gigih dengan pendiriannya meskipun kadangkala harus ada yang dikorbankannya. Hal itu terlihat dari perjalanan panjang hidupnya. Berbagai bidang pernah digarapnya, baik yang susah maupun yang senang. Anwar Putra Bayu pernah bekerja serabutan untuk menyambung hidupnya. Selama dua tahun (1981-1982), dia bekerja sebagai kenek mobil angkutan umum di korta Palembang. Ia pernah berjualan telur di Pasar 16 Palembang. Di samping itu, dia juga pernah menjadi kuli bangunan.
Semua pekerjaan yang digelutinya itu juga didasarkan kecintaannya pada seni. Uang yang dihasilkan dari pekerjaan-pekerjaaan tersebut tidak digunakan untuk "mempercantik" dirinya, tetapi dihabiskannya untuk membeli buku. Kebiasaan seperti itu dilakoninya terus.
Oleh karena lama bekerja sebagai kuli bangunan, Anwar Putra Bayu pernah menderita sakit. Pada waktu sakit itu pun, uang yang dimilikinya masih dihabiskan untuk membeli beragam bacaan. Kakaknya sampai marah karena Bayu tidak menggunakan uang tersebut untuk berobat.
Di samping pekerjaan-pekerjaan yang disebutkan terdahulu, Anwar Putra Bayu ikut membidani kelahiran beberapa lembaga swadaya masyarakat di Palembang. Ia mendirikan dan aktif di LSM Forum Studi Kebudayaan Orde Palembang (1991-1995), Yayasan Kuala Merdeka (1995), Yayasan Orde Indonesia (1999). Ia pernah juga menjadi Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu Sumatera Selatan (KIPP-DA) pada tahun 1999. Ia juga pernah aktif di Dewan Daerah wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan pada tahun 1996. Ia juga termasuk pendiri Yayasan Pustaka Indonesia pada tahun 2000.
Selain itu, Anwar Putra Bayu juga pernah berkiprah sebagai wartawan dan redaktur budaya pada Tabloid Media Guru (1989-1991), Redaktur majalah Veto (2001), Staf Redaksi Majalah Asosiasi Tradisi Lisan (sejak 1999).
4. Latar Belakang Kesastraan
Berkesenian bagi Anwar Putra Bayu merupakan sebuah pilihan jalan hidup meskipun harus berhadapan dengan berbagai tantangan. Sebagai sebuah pilihan, dia mengabdikan diri sepenuhnya pada pilihannya itu. Salah satu konsekwensi pilihan yang ditetapkannya itu, Anwar Putra Bayu harus berseberangan pemikiran dengan ayah kandungnya sendiri.
Ayahnya, Drs. Bahauddin, menginginkan anak bungsunya itu melanjutkan pendidikan ke jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Akan tetapi, Anwar Putra Bayu berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jurusan Ilmu Pengetahuan Budaya. Keinginannya itu dilandaskan oleh adanya pemahaman dan keakrabannya dengan dunia tulis-menulis. Pada saat itu, Anwar Putra Bayu sudah mulai berkiprah di gelanggang seni dengan menjadi anggota Teater Profesi Medan asuhan AS Atmadi, seorang penggiat teater di Sumatera Utara.
Anwar Putra Bayu dianggap "membangkang" oleh ayahndanya. Sang ayah memberi ultimatum kepada Anwar Putra Bayu. Ia disuruh memilih dua alternatif, yaitu memilih sekolah atau berteater. Anwar Putra Bayu menganggap keduanya penting, tetapi teater merupakan pilihan hidupnya. Oleh karena itu, dia bertekad untuk meninggal salah satu pilihan penting itu demi kesetiaannya pada pilihan hidupnya.
Anwar Putra Bayu meninggalkan Medan untuk menuju Palembang pada tahun 1979. Kepergiannya ke Palembang dalam rangkan mengunjungi dan mengikuti kakaknya yang tinggal di kota itu. Tekadnya untuk bertahan dengan berkesenian tetap membara di tempatnya yang baru itu. Untuk itu, Anwar Putra Bayu tetap berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di jurusan Ilmu Pengetahuan Budaya. Namun, dia terpaksa memendam keinginannya itu karena tidak menemukan sekolah yang membuka jurusan IPB di kota Palembang. Akhirnya, Anwar Putra Bayu masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam pada SMA Swadaya Palembang.
Perbedaan pandangan antara Putra Bayu dengan keluarganya bermuara pada ketidakinginan Bayu melanjutkan studinya. Selepas dari SMA, Anwar Putra Bayu memutuskan untuk sepenuhnya mengabdikan dirinya pada kesenian. Pada tahun 1980, Anwar Putra Bayu-bersama Wahid Chantoro-mendirikan Teater SAS (Study Art System) yang bermarkas di Kertapati, Palembang. Anggotta yang dibinan Anwar Putra Bayu adalah remaja-remaja putus sekolah di Kota Palembang.
Pada tahun 1984, Anwar Putra Bayu mendirikan Teater Potlot. Semenjak itu, nama Anwar Putra Bayu mulai dikenal di lingkungan komunitas sastra lokal dan nasional. Seiring dengan itu, semangat berkarya Anwar Putra Bayu menjadi semakin meningkat. Kemudian, dia menulis beberapa naskah drama yang dipentaskan di Palembang dan beberapa kota lain.
Di samping menulis naskah dan menjadi pemain teater, Anwar Putra Bayu juga menggeluti dunia penyutradaraan. Ada beberapa pementassan yang pernah disutradarainya, yaitu (1) Dokter gadungan karya Mollier pada tahun 1983, (2) Jaka tarub karya Akhudiat pada tahun 1988, (3) raden Fatah karya Robin Surawijaya pada tahun 1988, dan Lisistrata karya Aristhopanes pada tahun 1990 dan 1993. Sementara itu, lakonnya yang pernah dipentaskan antara lain Wong-Wong, Patung di Taman, Cahaya dan Ruang Kosong, Mimikri, dan Kursi. Naskah lakonnya yang berjudul Wong-Wong mendapat penghargaan sebagai naskah terbaik se-Sumatera Selatan dalam Festival Teater BKTSS tahun 1987, di Lubuklinggau.

5. Daftar Karya
a. Drama
• Wong-Wong
• Patung di Taman
• Cahaya dan Ruang Kosong
• Mimikri
• Kursi
b. Puisi
Karya Anwar Putra Bayu yang berupa puisi terhimpun di berbagai antologi, baik mandiri maupun bersama.
• Antologi Mandiri
o Catatan Bagi Orang-Orang Berziarah, 1994. Palembang: Yayasan Izma.
• Antologi Bersama
o Refleksi Indonesia. 1995. Solo: Taman Budaya.
o 45 Penyair Indonesia dari Negeri Poci 2. 1996. Jakarta: Pustaka Sastra.
o Dari Negeri Poci 3. 1996. Jakarta: Tiara.
o Negeri Bayang-Bayang. 1996. Surabaya: Yayasan Seni.
o Kumpulan Puisi Se-Sumatera. 1996. jambi: Taman Budaya.
o Dari Bumi Lada. 1996. Lampung: Dewan Kesenian.
o Mimbar Penyair Abad 21. 1996. Jakarta: balai Pustaka.
o Dari Bumi Andalas. 1999. Lampung: Depdikbud.
o Pada Akhirnya. 1999. Palembang: Yayasan Orde.
o Empat Wajah. 2000. Palembang: Balai Bahasa.
o Purnama Kata. 2002. Bengkalis: Dewan Kesenian.
o Galanggang. 2003. Padang: Dewan Kesenian Padang.
• Antologi Cerpen
o Sang Paduka Raja. 1997. Palembang: Yayasan Orde.
c. Biografi
• Biografi H.M. Hatta Ismail, S.H., 2001. Palembang: Unanti Press.
• Biografi Drs. H.M. Husni. M.M., 2003. Palembang: Yayasan Pustaka Indonesia.
• Biografi Dr (HC) Adjis Saip. 2002. Palembang: Yayasan Pustaka Indonesia.
d. Pembicaraan Karya
• Nurmansyah Putra. 1988. Stilistika Puisi-Puisi Anwar Putra Bayu (Tesis S1 pada program studi bahasa dan seni, FKIP Unsri).
• Erika Idmar. 1995. Nilai-Nilai Budaya Puisi Asnwar Putra Bayu (Tesis S1 pada Program Studi Bahasa dan Seni, FKIP Unsri).
• Heni Setiawati. 2002. Intedrtekstualitas Puisi-Puisi Anwar Putra Bayu dengan Alquran (Tesis S1 pada Program Studi bahasa dan Seni, FKIP Unsri)
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=5

Tokoh Sastra Sumsel B

B. YASS (Baharuddin Yassin Simbolon)


1. Latar Belakang Keluarga
Baharuddin Yassin Simbolon atau yang lebih dikenal dengan B. Yass dilahirkan pada tahun 1929, di Kampung Huta Padang, Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Ia terlahir dari pasangan Mohammad Yassin Simbolon dan Siti Mian Boru Manurung. Kedua orang tua B. Yass yang berasal dari Huta Padang, Kisaran, Sumatera Utara.
B. Yass menikah dengan seorang wanita Palembang dan dikarunia 6 orang putra dan putri. Atas jasanya atas bangsa dan negara, B. Yass dianugrahi Pemerintah RI Satya Lencana Peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II serta pernah menerima Tanda Jasa Pahlawan Geriliya.
2. Latar Belakang Pendidikan.
Pendidikan dasar dan menengah ditempuh B. Yass di tanah kelahirannya. Setelah Sekolah Rakyat Huta Padang pada tahun 1939, B. Yass melanjutkan ke Sekolah Rakyat Sambungan Tanjung Balai. Asahan, dan tamat pada tahun 1942. Selanjutnya, dia melanjutkan pendidikannya ke sekolah Jepang Nitti Go Gakko (setingkat SMP) pada tahun 1945, di Tanjung Balai, Asahan. Ia belajar sekolah tersebut sampai kelas dua karena sekolah tersebut ditutup. Penutupan sekolah Nitti Go Gakko berkaitan dengan kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Setelah keluar dari sekolah Nitti Go Gakko, B. Yass bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR( hingga tahun 1950). Dalam karier kemiliterannya, B. Yass sempat mencapai pangkat terakhir Sersan Kelas I TNI, dengan jabatan Wakil Kepala Siasat Perang Komando Batalion I Resimen III Brigade XII Komando Sumatera. Jabatan tersebut diemban B. Yass selama bertahun-tahun. Ia pun sempat bertugas di beberapa kota pulau Sumatera. Pada tahun 1950, B. Yass mengakhiri karier kemiliterannya.
Pada waktu aktif di TKR, B. Yass ikut berjuang bersama rakyat dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Ia sempat tertembak musuh dalam suatu pertemupran dengan Belanda di front Titi Bambu, Tanjungmorawa, Medan. B. Yass mendapat luka pada tangan kiri dan kepala bagian atas. Semenjak berhenti dari dinas kemimiliteran, B. Yass berobat guna menyembuhkan luka-luka yang dialaminya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, akhirnya B. Yass memutuskan untuk pergi merantau dengan meniggalkan kampung halamannya.
Daerah tujuan perantauannya antara lain Palembang, Sumatera Selatan. Bakat dan kemampuan menulis B. Yass membawanya terjun ke dunia jurnalistik. Ia bekerja sebagai wartawan di beberapa media di kota Palembang. Kemampuan B. Yass dalam tulis menulis akhirnya membawa pada posisi yang sangat bagus dala perusahaannya. Baru beberapa saat menggeluti dunia jurnalis, B.Yass diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Ria Palembang. Jabatan ini diemban B. Yass selam tiga tahun, yaitu 1956-1958). Di samping itu, dia tetap bekerja sebagai wartawan pada PIA Sumatera Selatan. Di samping itu, B. Yass juga pernah menjadi wartawan harian Batang Hari Sembilan (1958) dan Lampung Post (1959).
Pada tahun 1966-1984, B. Yass menjadi wartawan dan Kepala Cabang Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Cabang Palembang. Kemudian. B. Yass juag pernah mejadi Pemimpin Redaksi Mingguan Angkatan 45 Palembang pada tahun 1985-1990.
Di samping pernah berkeja sebagai tentara dan wartawan, B. Yass juga pernah terjun ke dunia politik. Dalam karier politiknya, B. Yass pernah menjadi anggota DPRD Kotamadya Palembang.
4. Latar Belakang Kesastraan
Aktivitas menulis mulai digeluti B. Yass pada tahun tahun 1950-an. Pada era 1950-an itu, nama B. Yass sudah mulai menghiasi khazanah sastra Indonesia modern. Karya-karya B. Yass ikut mewarnai beberapa lembar Koran dan majalah, seperti Duta Masyarakat dan Minggu Pagi. Novelnya yang berjudul Asan, Datangnya Sang Ayah, dan Diantara Suhada pernash dimuat dalam Minggu Pagi. Di amping ityu, banyak juga karya-karya B. Yass yang dimuat dalam Kisah.
Salah satu cerpen B. Yass yang berjudul "Harapannya di Air Laut" dimuat oleh H.B. Jassin dalam antologi Angkatan 66: Prosa dan Puisi setelah terlebih dahulu dimuat dalam Kisah edisi nomor 6, 1963.
Kreativitas B.Yass semakin terlihat ketika dia bekerja sebagai wartawan di Palembang. Ia menulis beragam genre sastra seperti cerita pendek, drama, novel, cerita sejarah, dan dongeng. Karya-karya B.Yass banyak dimuart di berbagai media massa anatra lain Gembira, Sastra, Horison, Roman, Konco, Indonesia, Gelanggang, dan Gema Islam. Akan tetapi, B. Yass tidak ingat lagi berapa jumlah karya yang telah dihasilkannya. Tentang hal ini, ada dua pemberitaan tentang dunia kretaif B. Yass yang dimuat dalam dua media dari dua kurun yang berbeda. Koran Minggu Pagi, edisi 7 Agustus 1966 memaparkan kreativitas B. Yass dengan menggambarkan sosok B.Yass sebagai penulis produktif. Menurut media itu, B.Yass telah menghasilkan puluhan, bahkan ratusan cerita pendek yang dimuat di media massa.
Selanjutnya, Kompas edisi Januari 1996 mengemukakan jumlah karya B. Yass lebih spesifik. Menurut Koran itu, hingga penghujung tahun 1980-an, B. Yass telah menghasilkan 252 dan 5 novel yang telah dipublikasikan. Menarik menyimak alasan kecintaan B. Yass dalam menulis. B.Yass menulis semata-mata karena himbauan jiwa. Bagi dia, menulis merupakan panggilan jiwa yang digelutinya dengan perasaan cinta. Akan tetapi, menulis juga dapat memberikan sesuatu pada kehidupan B. Yass.
Ruang kerja B.Yass ada di alam terbuka. Pengarang yang satu ini mampu menulis di sembarang tempat dan di segala waktu. Ia akan menulis di warung kopi, di trotoar jalan, di bangku taman kota, di kamar kontrakannya jika mendapat ilham di tempat-tempat tersebut. Yang menarik juga disimak bahwa B. Yass langsung mengirimkan naskah tulisan tangannya itu ke media massa. Ia baru tahu naskahnya jika sudah menerima wesel dari pemuat. Honorarium yang diterimanya itu kemudian digunakan untuk penyambung hidup dan pembeli alat tulis guna menghasilkan karya-karya selanjutnya. Sampai pada penghujung tahun 1995, B. Yass sudah menerima kiriman 232 wesel dari surat kabar yang memuat karya-karyanya.
a. Cerita Pendek
o Halimah Srikandi (1962)
o Minah Gadis Peladang (1964)
o Di Lereng Bukit (1994)

b. Novel
o Kelok Lima. 2002. Jakarta: Grasindo
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=7


BUR RASUANTO

Pada tahun 1960-an, bangsa Indonesia mengalami goncangan politik yang begitu keras. Sebagai akibatnya, semua elemen masyarakat terpecah menjadi berkeping-keping. Seniman, sebagai penyebar gagasan, juga mengalami ketercabikan yang sama. Puncaknya, kalangan seniman yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia dengan membentuk Lembaga kebudayaan rakyat (Lekra). Sementara itu, Seniman yang menentang Lekra membuat kesepakatan yang tertuang dalam Manifes Kebudayaan. Salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan itu adalah Bur Rasuanto, pengarang Indonesia kelahiran Palembang..
1. Latar Belakang Keluarga
Bur Rasuanto lahir pada tanggal 6 April 1937 di Palembang, Sumatera Selatan. Dari buah perkawinannya dengan Masnun, Bur Rasuanto dikaruniai tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki.
2. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan dasar sampai pendidikan menengah ditempuh Bur Rasuanto di kota kelahirannya, Palembang. Bur Rasuanto menamatkan SMA Bagian B pada tahun 1957. Berbagai aktivitas dilaksanakannya setamat dari SMA tersebut. Ia melanjutkan pendidikan ke jurusan Filsafat, Universitas Indonesia. Pada tahun 1960. dia pun pernah bekerja sebagai buruh kilang minyak di PT Stanvac, Sungai Gerong.
Meskipun sibuk dengan berbagai aktivitas, Bur Rasuanto tampaknya sangat mengutamakan pendidikan. Hal itu terbukti dari keteguhannya menyelesaikan pendidikan. Pendidikan teraakhir yang ditempuh Bur Rasuanto adalah Program Magister Tingkat Doktor. Bur Rasuanto meraih gelar Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia pada tahun 2000.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Bur Rasuanto pernah bekerja pada perusahaan tambang minyak Stanvac Palembang 1957-1960. Pada waktu menjadi buruh di tambang minyak itu, Bur Rasuanto memulai menggeluti sastra dengan menulis cerita pendek. Selepas itu, dia beralih profesi menjadi penulis dengan bekerja sebagai wartawan pada Harian Kami (1966). Dalam karier jurnalistiknya, Bur Rasuanto pernah menduduki jabatan sebagai redaktur harian Indonesia Raya (sampai tahun 1974). Pada tahun 1947, dia ditugaskan untuk meliput Perang Vietnam. Pengalaman selama meliput perang Vietnam tersebut kemudian dituangkannya secara krretatif dalam novelnya yang berjudul Tuyet.
Kemudian, dia bekerja sebagai editor pada majalah Tempo (1974-1977). Bur Rasuanto pernah menjadi koordinator yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta. Di samping itu, Bur Rasuanto juga pernah menjabat sebagai Direktur Taman Ismail Marzuki.
4. Latar Belakang Kesastraan
Dunia tulis-menulis mulai digeluti Bur Rasuanto mulai dari bangku SMA. Akan tetapi, dia menggeluti sastra secara serius semenjak menjadi buruh tambang minyak di PT Stanvac, Palembang. Persoalan yang menjadi perhatian Bur Rasuanto ketika itu adalah sekitar persoalan buruh. Ia melihat dan menyaksikan berbagai peristiwa dan suasana yang penuh rasa iri, dendam, dan persaingan di kalangan buruh senior, tetapi bergaji kecil.
Intensitas menulis karya sastra mulai terlihat tinggi ketika bekerja sebagai jurnalis. Pada tahun 1960, Bur Rasuanto giat menghasilkan karya-karya dalam bentuk cerpen. Banyak cerpen Beberapa cerita Pendek Bur Rasuanto dimuat dalam majalah Sastra pada saat itu. Di bawah asuhan Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, Bur Rasuanto berupaya berkreasi sebaik mungkin. Bur Rasuanto memberikan karya-karyanya kepada H.B. Jassin sebelum dipublikakasikan. Biasanya, Jassin mengkritik, memuji, bahkan merekomendasikan agar karya-karya Bur Rasuanto dimuat dalam majalah Sastra atau Mimbar Indonesia.
Dalam kahzanah sastra Indonesia, nama Bur Rasuanto akrab dengan berbagai hadiah. Cerpennya yang berjudul Discharge mendapat hadiah kedua majalah Sastra pada tahun 1961. Pada tahun 1962, dua cerpen Bur Rasuanto Pertunjukan dan Ethyl Plant mendapat Hadiah Pertama majalah Sastra. Pada tahun 1963, ketiga cerpen tersebut ditambah dengan beberapa cerita pendek karya Bur Rasuanto yang tersebar di beberapa majalah dihimpun dalam dua kumpulan cerita pendek, yaitu Bumi Yang Berpeluh dan Mereka Akan Bangkit.
Kehadiran kedua kumpulan cerita pendeknya itu mengukuhkan Bur Rasuanto sebagai salah seorang cerpenis Indonesia. Ciri khas yang mewarnai karya-karya Bur Rasuanto adalah kehidupan kaum buruh di industri perminyakan. Latar seperti itu, menurut H.B. Jassin, merupakan sesuatau yang bari dalam khazanah sastra Indonesia. Bur mengungkapkan secara "gamblang" karena pernah bekerja sebagai buruh di pertambangan minyak.
Pada tahun 1963, kedua kumpulan cerita pendek Bur Rasuanto itu dipilih sebagai penerima Hadiah Sastra Yayasan Yamin. Akan tetapi, pilihan itu dibatalkan panitia karena persoalan politik. Selanjutnya, Novel karya Bur Rasuanto yang berjudul Tuyet (1978) memperoleh hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Meskipun dikenal sebagai seorang cerpenis, Bur Rasuanto juga menulis beberapa bnovel. Novelnya yang berjudul Manusia Tanah Air pernah dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Sinar Harapan pada tahun 1969. Di samping itu, Bur rasuanto menulis novel Sang Ayah (1969), Tambang Emas Bagi Wan Muda (1979), dan Tuyet (1978).
Pada waktu Indonesia dilandwa krisis pada tahun 1966, Bur Rasuanto bergabung dalam demnontrasi yang dilakukan kelompok mahasiswa guna menuntut keadilan dan kebenaran
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=8


Tokoh Sastra Sumsel H

HAMIDAH


1. Latar Belakang Keluarga
Penggunaan nama samaran merupakan salah satu siasat penulis dalam "memasarkan" karyanya. Meskipun tidak selama alasan penggunaan nama samaran seperti itu, yang jelas pelauang menggunakan nama samaran tersebut melegakan hati kalangan penulis. Minimal, mereka dapat menyembunyikan identitas dirinya dari publik. Akan tetapi, kadangkala nama samaran seorang penulis itu lebih populer dari nama asli. Kesan seperti itu terlihat jelas pada pengarang Hamidah.
Hamidah adalah nama samaran dari Fatimah Hasan Delais. Wanita pengarang ini berasal dari daerah Munto, Bangka (sekarang Prov. Babel). Ia menikah dengan seorang laki-laki bernama Hasan Delais. Jadi, Hasan Delais di belakang nama Fatimah adalah nama suaminya. Ia meninggal di Palembang pada tanggal 8 Mei 12953 dalam usia sangat muda, 38 tahun.
2. Latar Belakang Pendidikan
Jenjang pendidikan dasar dan menengah ditempuh Hamidah di kampung halamannya. Selepas dari sekolah lanjutan pertama, Hamidah melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru Putri Padangpanjang.
3. Latar Belakang Pendidikan
Selepas dari Sekolah Guru Putri Padangpanjang, Hamidah pulang ke kampungnya, Muntok, Bangka. Ia mengajar di sekolah gadis di kampung halamannya. Di samping itu, Hamidah giat pula dalam organisasi wanita di Muntok. Tidak lama mengabdi di kampung halamannya, Hamidah kemudian pindah ke Palembang.
4. Latar Belakang Kesastraan
Tidak banyak informasi yang dapat dikumpulkan tentang wanita pengarang yang berasala dari Sumatera Selatan ini. Namanya dikenal dalam khazanah sastra Indonesia karena karya yang berjudul Kehilangan Mestika. Novel ini ditulis Hamidah pada waktu Hamidah masih berusia 19 tahun. Artinya, Hamidah masih dalam lingkungan sekolah atau masih uduk di bangku sekolah guru.
Kegemaran Hamidah terhadap sastra tampaknya didasari oleh kebersinggungannya dengan bacaan-bacaan. Perhatian yang tinggi terhadap kehidupan dikoolabrasi dengan kreativitas menuangkannya dalam bentuk tulisan membuahkan sebuah karya yang bernas pada zamannya.
Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah diterbitkan pertama kali pada tahun 1935. Kemudian, novel ini dicetak ulang pada tahun 1937 (cetakan kedua), 1949 (cetakan ketiga), 1954 (cetakan keempat), 1957 (cetaka kelima), dan 1963 (cetakan keenam). Pada cetakan kelima dan keenam, novel Kehilangan Mestika dicetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar.
Cetakan keempat habis dalam waktu satu tahun, sedangkan cetakan keenam habis dalam waktu dua tahun. Berdasdarkan kenyataan sepwerti itu, H.B. Jassin berpendapat bahwa novel karya Hamidah tersebut termasuk salah satu buku yang disukai kala itu.
Menjelang akhir hayatnya, Hamidah berniat untuk menghadirkan karya novel lagi ke dal;am belantara khazanah sastra Indoesia. Akan tetapi, keinginannya itu ternyarta hanya sebatas hasrat dari seorang penulis. Ia dipanggil menghadap Tuhan Yang Mahakuasa sebelum keinginan tersebut diwujudkannya.

Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=9


Tokoh Sastra Sumsel I
IMRON SUPRIYADI


1. Latar Belakang Keluarga
Imron bernama lengkap Muhammad Imron Supriyadi. Ia dilahirkan di desa Sabrangrowo, Borobudur Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Mei 1973.
2. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan terakhir Imron Supriyadi adalah Sarjana Agama dari Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah, Palembang.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Ketika duduk di bangku kuliah, Imron aktif di Lembaga Penerbitan Majalah Ukhuwah IAIN Raden Fatah, Palembang. Ia juga pernah menjadi wartawan di SKH Sumatera Ekspres. Selain itu ia juga terlibat aktif di Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Kota Palembang, dan di lembaga budaya, APEK (Aliansi Pekerja Kebudayaan Sumsel).
Selain sebagai jurnalis, Imron juga aktif di LSM Jaringan Advokasi Masyarakat Urban (JAMUR) dan Lembaga Pemantau Korupsi Sumsel, SSCW (South Sumatera Corruptions Watch). Sejak tahun 1998, ia bekerja sebagai reporter radio Smart FM Palembang dan kontributor Kantor Berita Radio 68H Jakarta. Ia juga tercatat sebagai salah seorang penggagas dan pendiri Majelis Seniman Sumsel, salah satu organisasi seniman di Palembang.
4. Latar Belakang Kesastraan
Imron mulai menulis sejak ia duduk di bangku kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang. Baik cerpen maupun esainya banyak dimuat di surat kabar Palembang, antara lain Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Tabloid Semesta, Tabloid Alternatif, Tabloid Media Sumatera, Majalah Sindang Merdeka, dan lain-lain. Selain di itu, karya-karya Imron Supriyadi juga dapat ditemui di beberapa laman (situs internet) seperti cybersastra.com, detik.com, dan lain-lain.
Cerpen Imron banyak bertema sosial, politik, dan budaya. Kritiknya pada situasi lingkungan yang tidak menyenangkannya tercermin di beberapa karyanya seperti cerpen Bangkai dan Nyanyian Hutan Perawan
5. Karya-Karya Imron Supriyadi
Beberapa cerpen Imron Supriyadi adalah sebagai berikut.
o Bangkai
o Izinkan Aku Sekolah di dalam WC
o Bumi Ketiga
o Dalam Perjalanan Pulang
o Kerbau Desa Peralihan
o Negeri Iwak Tempalo
o Saat Anakku Lahir Kembali
o Ketika Iblis Membentangkan Sajadah
o Negeri Kelelawar
o Neo-Lysistrata
o Parodi Surat Pembaca
o Sedang Tuhan pun Bisa Mati
o Selamat Mr. Gagu
o Nyanyain Hutan Perawan, dll.

Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=10



Tokoh Sastra Sumsel J

J. J. Polong


1. Latar Belakang Keluarga
J. J. Polong terlahir dengan nama Yulian Junaidi. Ia dilahirkan di Baturaja pada tanggal 1 Juli 1965. Bapaknya, Jasuan Amron, dan ibunya, Rusminah, adalah guru SMP yang berasal dari Ogan (Ogan Komering Ulu).
Pada tanggal 20 November 1994, J. J. Polong menikah dengan Ade Indriani. Buah pernikahan mereka adalah dua putri cantik, yaitu Ayu Redihar Rafa dan Della Rosa Salsabila.
2. Latar Belakang Pendidikan
J. J. Polong melewati masa kecilnya di Baturaja, OKU. Di sana ia bersekolah di SD Negeri 1 Baturaja dan menamatkannya pada tahun 1976. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 2 Baturaja hingga tamat pada tahun 1980.
Masa sekolah menengah atas dilewati J. J. Polong di kota Palembang. Pada tahun 1983, ia menamatkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Palembang. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memilih Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya sebagai tempat ia meraih gelar insinyur paada tahun 1988.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Sekarang J. J. Polong tercatat sebagai salah satu dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Palembang. Sebelumnya, ia sempat bekerja sebagai wartawan dan penulis lepas di beberapa media cetak di kota Palembang.
4. Latar Belakang Kesastraan
J. J. Polong mulai menulis pada tahun 1983, saat ia duduk di sekolah menengah atas. Karya pertamanya adalah ‘Potret Petani Gurem', sebuah puisi yang menyuarakan penderitaan petani. Karya ini menjadi inspirasi bagi J. J. Polong dalam menelurkan karya-karya berikutnya. Sejak itulah, tema-tema sosial, politik, dan budaya mewarnai puisi karya J. J. Polong yang beberapa di antaranya merupakan kritik terhadap apa yang sedang terjadi di sekitarnya.
Sampai sekarang J. J. Polong, yang dulu pernah tergabung dalam PMP (Penyair Muda Palembang) ini, telah menelurkan sekitar 30 puisi dan 5 cerpen. Karya-karyanya banyak dimuat di media lokal Sumatera Selatan dan nasional. Beberapa di antaranya diterbitkan di Jambi dan Palembang.
5. Daftar Karya
Puluhan puisi dan cerpen Polong tersebar di berbagai media di Sumatera Selatan, beberapa yang telah dibukukan adalah sebagai berikut.
1. Antologi Puisi Bersama Bahasa Angin. 1994. Palembang: Forum Kebudayaan Orde
2. Antologi Bersama Refleksi Indonesia 50 tahun . 1995. Solo: Taman Budaya.
Sumber data: Angket dan wawancara
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=11



Tokoh

JAJANG R. KAWENTAR


1. Latar Belakang Keluarga
Jajang R. Kawentar dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 9 Oktober 1970. Pemuda yang bernama asli Jajang Rusmayadi ini terlahir dari pasangan Oyon Martadipura dan Titin Kartini yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat.
Jajang menikahi Soufie Retorika di Tasikmalaya pada tahun 1995. Sampai sekarang mereka telah dikaruniai dua orang anak perempuan bernama Shaumi Nur Cipta Sari dan Amrita Rooh Hyang Terang.
2. Latar Belakang Pendidikan
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya di Tasikmalaya, Jajang R. Kawentar menempuh pendidikan tingginya di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Program studi yang kala itu ditekuninya adalah Kriya Logam. Pada tahun 1997, ia meraih gelar Sarjana Seninya.
Jajang yang memiliki ketertarikan besar di dunia seni rupa ini kemudian juga menimba ilmu di SMIKN Tasikmalaya, Jurusan Ukir Kayu, dan menyelesaikannya pada tahun 1990.
Karena berkeinginan menjadi guru, pada tahun 2000, Jajang mengambil program Kemampuan Mengajar di Universitas Sriwijaya di Palembang. Ia pun mengantongi ijazah Akta IV Pengajaran pada tahun berikutnya.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Pada masa kuliahnya di ISI Yogyakarta, tahun 1993, Jajang pernah bekerja paruh waktu dengan memberikan bimbingan tes masuk bagi calon mahasiswa ISI. Ia juga pernah selama sebulan bekerja di sebuah perusahaan advertising di Yogyakarta sebagai desainer huruf dan gambar pada tahun 1995. Di samping itu, ia juga mencari penghasilan tambahan dengan merestorasi barang-barang kuno, khususnya logam.
Jajang memang seorang pekerja yang tidak bisa diam. Kegiatannya yang padat pada saat kuliah di ISI itu tidak menghalangi niatnya untuk lulus dan meraih gelar sarjana tepat waktu pada tahun 1997.
Setelah menamatkan kuliah di ISI dan menambah ilmu ukir kayu di SMIKN Tasikmalaya, Jajang R. Kawentar berkeinginan untuk dapat menyebarluaskan pengetahuannya dengan menjadi seorang guru. Pada tahun ajaran 2000/2001, ia pernah menjadi guru di Sekolah Menengah Industri Kerajinan Kayuagung. Kemudian ia pindah ke Palembang dan sekarang ia tercatat sebagai guru kesenian di SMU Pusri Palembang.
4. Latar Belakang Kesastraan
Jajang R. Kawentar sudah mulai menulis sejak duduk di sekolah menengah. Pada tahun 1990, ia sudah mulai mengirim puisi-puisinya ke berbagai media massa. Beberapa media yang tercatat pernah memuat puisi Jajang adalah koran Mitra Desa, majalah Sani, SKH Solo Pos, SKH Suara Pembaruan, dan sebagainya.
Menulis cerpen baru dimulai Jajang sekitar tahun 90-an ketika ia duduk di bangku kuliah. Tema cerpen yang banyak ditulisnya adalah tema sosial. Hal ini muncul dari idealisme remajanya yang peka terhadap lingkungan sekitar.
Jajang yang ketika duduk di perguruan tinggi dulu banyak membantu beberapa temannya dalam membuat skripsi dan tugas akhir ini, ternyata tidak hanya menghasilkan puisi dan cerpen saja. Karya Jajang yang lain berupa esai budaya dan cerpen juga banyak dijumpai di media cetak Sumatera Selatan.
Pada tahun 2000, Jajang mendirikan sanggar sastra yang diberi nama Sanggar Air Seni. Sanggar ini adalah wujud keinginannya untuk bisa menampung dan mengembangkan kreatifitasnya dalam bersastra. Di sanggar ini pulalah Jajang mengembangkan bakat sastra anak didiknya di SMU Pusri Palembang.
5. Karya-karya Jajang R. Kawentar
Karya-karya Jajang R. Kawentar berupa puisi, esai, dan cerpen banyak dimuat di berbagai media, antara lain SKH Solo Pos, Suara Pembaruan, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres dan lain-lain.
Sampai sekarang, Jajang telah menghasilkan ±50 cerpen, 100 puisi, dan dua cerbung yang pernah dimuat di Buletin Terompet Rakyat, Yogyakarta. Berikut adalah beberapa karya Jajang R. Kawentar.
1. Puisi
a. Kumpulan Puisi "Martil", 2002, Sanggar Air Seni, Palembang
b. "Peler Negeriku", 2003, Sanggar Air Seni, Palembang
c. Untukmu, 1995
d. Silat Lidah, 2002
e. Teh Tubruk Kopi Tubruk, 2003
f. Penjara, 2003
g. Pelacur, 2003
h. Tungku, 2003, dll.
2. Cerpen
a. Antologi Cerpen Bersama "Tak Ada Pilihan Lain". 2001. Forum Pencinta Sastra Bulaksumur
b. Kumpulan Cerpen "Warung Kopi". 2003. Sanggar Air Seni, Palembang
c. Semut Hitam. 1999. Solo Pos, Solo
d. Gelandangan. 1999. Suara Pembaruan, Jakarta
e. Kereta. 1999. Suara Pembaruan, Jakarta
f. Rokayah. 2000. Sriwijaya Post, Palembang
g. Karcis Merah. 2000. Sriwijaya Post, Palembang
h. Perintah Ibu Nyonya. 2000. Sumatera Ekspres, Palembang
i. Sam. 2000. Sriwijaya Post, Palembang
j. Marni Cina. 2001. Sumatera Ekspres, Palembang
k. Musikalisasi Puisi. 2001. Sriwijaya Post, Palembang
l. Astana Panjang. 2003. Sumatera Ekspres, Palembang, dl
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=12


Tokoh Sastra Sumsel K

KOKO BAE (1958�2002)


1. Latar Belakang Keluarga
Surya Gunawan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Koko Bae lahir di Palembang pada tanggal 8 Oktober 1956 dalam lingkungan keluarga keturunan Tiong Hoa. Sebagai seorang Cina peranakan, ia tumbuh besar di keluarga yang cukup berada dan ulet dalam berbisnis. Tiada yang menyangka, seorang WNI keturunan seperti Koko Bae akan menjadi seorang pekerja seni yang menggetarkan hati warga Palembang pada masanya nanti.
Koko Bae meninggal dunia pada tanggal 27 Februari 2002 karena komplikasi berbagai penyakit yang dideritanya. Ia pergi meninggalkan seorang istri yang setia menemaninya dari tahun 1987, Emmy, dan seorang putri bernama Legit Liberty Larassari.
2. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan dasar hingga menengahnya ditempuh Koko Bae di Xaverius, suatu sekolah yang pada waktu itu banyak diminati warga keturunan seperti Koko. Kemudian, pendidikan tingginya ditempuh Koko di FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Setelah lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unsri, Koko Bae mengajar di fakultas tersebut hingga tahun 1986. Kemudian ia bergabung dengan perusahaan farmasi Kalbe Farma di bagian Pemasaran sampai tahun 1992
Dengan berbekalkan pengalaman di dunia pemasaran obat-obatan, Koko kemudian bekerja di PT. Bintang Toedjoe dan menjabat sebagai Manejer Distrik untuk wilayah Sumbagsel, yang meliputi Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan Padang. Prestasinya sebagai seorang pemasar yang tangguh membawa dia sebagai pegawai terbaik selama lima tahun berturut-turut. Perusahaan memberinya bonus berupa sebuah mobil Kijang sebagai penghargaan atas jasa-jasa Koko.
Koko yang ulet tidak hanya mengandalkan gaji ataupun bonus yang diberikan PT. Bintang Toedjoe kepadanya. Untuk menyalurkan hobinya memelihara burung dan sekaligus menambah pendapatan, Koko Bae mempunyai sebuah los penjualan burung di pasar. Pagi hari sebelum berangkat ke kantor, Koko menyempatkan diri berdagang burung di Pasar Burung Palembang. Ia juga bekerja sebagai guru ekstrakurikuler seni rupa dan teater di SMU Kusuma Bangsa Palembang.
Dengan bekerja sebagai seorang manejer pada sebuah perusahaan yang cukup ternama, pada masa itu, kehidupan ekonomi Koko bagus sekali. Rumahnya yang di Jalan Perikanan 10 Ulu dijadikan sebagai sanggar seni dan tempat berkumpul bagi para seniman Palembang. Koko pun dianggap ‘dewa' dan ‘tempat bergantung' bagi seniman-seniman yang membutuhkannya, bukan hanya untuk kebutuhan berkesenian melainkan juga untuk kebutuhan hidup yang sesungguhnya. Beberapa sahabat Koko yang sekarang telah menjadi seniman terkenal, dosen, birokrat, ataupun pengusaha tidak akan pernah melupakan kedermawanan bapak satu putri ini.
4. Latar Belakang Kesastraan
Etos kerja yang ulet, gigih, dan tak kenal menyerah terlihat jelas pada perjalanan hidup seorang Koko Bae. Dengan pekerjaannya di bidang pemasaran yang kadang membuatnya harus kembali ke rumah pada malam hari, Koko masih menyempatkan diri untuk berkarya di bidang sastra dan seni rupa. Menulis dan melukis dilakukan Koko pada tengah malam di sela-sela waktu istirahatnya. Tak jarang Koko tidak tidur sama sekali demi terselesaikannya sebuah cerita pendek karyanya, lukisan, ataupun sebuah artikel sastra.
Koko Bae mulai terjun ke dunia seni pada tahun 1976. Ketika ia masih remaja ia sering melakukan pementasan teater bersama Teater Gembel Palembang dan teater di almamaternya, FKIP Unsri. Koko juga beberapa kali menggelar pembacaan puisi tunggal dan penerbitan antologi puisi. Salah satu yang banyak dibicarakan adalah kumpulan puisinya yang berjudul ‘Aku adalah Ikanmu' (1992).
Tahun 1997, secara tiba-tiba Koko Bae jatuh sakit. Ternyata, penyakit yang dideritanya cukup banyak dan parah, yaitu kanker otak, perapuhan tulang, liver, jantung, ginjal, dan penyakit getah bening. Meskipun perusahaan tempatnya bekerja, PT. Bintang Toedjoe, masih berusaha mempertahankan, Koko merasa tidak layak lagi bekerja dan meminta pensiun dini.
Sejak itulah, Koko bertahan hidup dengan obat-obatan yang dikonsumsinya setiap hari. Karena besarnya biaya pengobatan, Koko terpaksa menjual salah satu rumahnya, mobil bonus, dan 250 burung koleksinya.
Walaupun dalam kondisi ‘tidak ada apa-apa lagi', Koko tetap berkarya. Tulisannya yang sering merupakan sebuah kritik sosial dimuat secara berkala di sebuah surat kabar Palembang, Sriwijaya Post. Mulai 20 Juni 1999, di sana Koko Bae mendapat satu kolom khusus bernama ‘Sanjo'. Di kolom itulah ia menulis tentang berbagai hal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan budaya Tionghoa di Palembang.
Pada hari Rabu, 27 Februari 2002, Koko Bae meninggal dunia dengan tenang di rumahnya di Kompleks Kedamaian Permai, Palembang.
5. Karya-karya Koko Bae
Puisi-puisi karya Koko Bae tergabung dalam beberapa antologi sebagai berikut.
o Gado-gado Koko Bae (1976)
o Resah (1978)
o Petuah (1980)
o Sajak Calon Presiden 2100 (1982)
o Aku Koko Bae (1991)
o Aku adalah Ikanmu (1992)
o Cap Jempol (1993)
o Jejak (1993)
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=13


Tokoh Sastra Sumsel M

M. IQBAL J. PERMANA

1. latar Belakang Keluarga
M. Iqbal, bernama lengkap Muhammad Iqbal Jauhar Ganda Permana, dilahirkan di Manna (Bengkulu Selatan) pada 17 Juni 1964 dari pasangan Moch. Da'i Sulaiman dan Zumratul Kabatiah. Masa kecilnya dihabiskan di dua tempat, yaitu Manna (Bengkulu) dan Palembang Sumbel) guna mengikuti orang tuanya yang dipindahkantugaskan ke KE Palembang dari Bengkulu. Orang tua Iqbal adalah guru yang dipindahtugaskan ke Palembang pada tahun 1970. Sosok Iqbal kecil dianggap aneh oleh anggota keluarganya karena kesukaannya menyendiri, melakukan eksperimen, dan berkeluyuran. Semenjak duduk di bangku sekolah dasar, Iqbal sudah mulai menggeluti seni dengan melukis, menulis puisi, dan membaca buku. Puisi pertama karya Iqbal berjudul Pengemis yang ditulis berdasarkan pengalam kesehariannya melihat para pengemis mengais sampah di Pasar Cinde.
Intensitas Iqbal menggeluti seni terlihat meningkat ketika duduk di bangku SLTP. Pada waktu itu, Iqbal sudah membuat buku puisi yang ilustrasinya diciptakannya sendiri. Cara seperti itu dilakukannya sejalan dengan kesukaannya yang setiap saat bereksperimen di bidang lukis dan bidang patung. Pada masa awal di SLTA, M. Iqbal sudah mengenal teater guna mengikuti jejak abangnya Toton). Bahkan di kelas 1 SMA Iqbal pernah menyutradarai pagelaran teater di sekolahnya. Memasuki masa kuliah, Iqbal aktif di Teater 707 Palembang. Ia sering bermain sinetron dan pantomim di TVRI ketika itu. Disamping itu, sejak SMP dia juga ikut berbagai lomba lawak dan menari melayu pada Festival Tari melayu tingkat mahasiswa. Meskipun banyak sekali melakukan aktivitas kesenian, Iqbal tetap menulis puisi.
M. Iqbal menikah dengan gadis pujaannya yang sering menjadi sumber inspirasi puisi-puisi cintanya, Ella Herawati pada tahun 1993. dari pernikahannya itu, M. Iqbal dikaruniani tiga orang putrid, yaitu Elbananda Permana Putri (9), Annisa Utami Permana Putri (7), dan Rahmadini Noveliq Permana Putri (5). Iqbal dan keluarganya tinggal di Perumahan Bank Sumsel, Jalan Rajawali No 7, Palembang. Kesukaan lain yang diakrabi Iqbal menyangkut dengan kelujarganya adalah mengikuti perkembangan ketiga putrinya yang juga menyukai seni, terutama melukis. Ungkapan yang tidak akan pernah terlupakan oleh Iqbal terlontar dari putri sulungnya adalah "Nanda sekarang sudah bisa nulis puisi, judul puisinya Kupu-kupu," ujar sang pujaan hati di suatu hari.
2. Latar Belakang Pendidikan
Iqbal menamatakan pendidikan tingkat dasar dari SDN 27 Palembang. Kemudian, pendidikan tingkat menengah diselesaikannya dari SMPN 6 Palembang. Sementara itu, pendidikan tingkat atas diselsaikannya dari SMAN 1 Palembang.
Selepas dari SMA, Iqbal melanjutkan pendidikan ke pergurun tinggi. Ia memilih Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya sebagai tempat menimba ilmu lanjutan. Kemudian, Iqbal juga mengikuti S2 pada Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Unsri.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Setelah menyelesaikan pendidikan S1, bersama abangnya (Toton), Iqbal bekerja pada di harian Sumatra Ekspress. Akan tetapi, kemudian dia menyadari wartawan bukanlah jalan hidupnya. Dia banting setir dan pindah ke lembaga penelitian Universitas IBA. Ia mengabdi di sana selama kurang lebih setahun. Di sana, Iqbal sempat menerbitkan bulletin Mandiri Universitas IBA sambil terus menyebarkan surat lamaran kerja dan mengikuti ujian masuk di berbagai instansi. Pada tahun 1993, Iqbal diterima bekerja di Bank Sumsel. Kini, ia menjabat sebagai Asisten Vice President pada Bagian Promosi dan Pemasaran. Di tengah kesibukannya di di Bank Sumsel tersebut, Iqbal masih sempat menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Kinerja Bank Sumsel. Ia juga menulis lirik lagu mars dan himne Bank Sumsel bersama A.N. Alkaff (alm).
4. Latar Belakang Kesastraan
Darah seni yang mengalir di tubuh Iqbal ditularkan dari oaring tuanya. Semenjak duduk di bangku SLTP, Iqbal sudah menuliskan puisi-puisinya di buku yang ditambahkannya dengan sketsa-sketsa ilustrasi. Buku-buku itu masih disimpan Iqbal secara rapi.. Berbeda dengan Toton dan Arif yang juga menulis naskah dan cerpen, Iqbal tampaknya hanya tertarik menulis puisi, artikel ilmiah popular, dan artikel budaya. Sewaktu masih aktif di Teater 707, Iqbal memang pernah menulis naskah televisi berjudul Selamat Datang Wiraswasta Muda, tetapi hanya sekali itu saja. Puisi-puisinya diminta untuk dipublikasikan di beberapa media lokal seperti Media Guru, Sriwijaya Post, Suara Rakyat Semesta, majalah kebudayaan yang diterbitkan oleh KSKKM (Kelompok Studi Kebudayaan Kali Musi).
M. Iqbal tidak pernah secara khusus mengirimkan puisi-puisinya ke media penerbitan karena pandangannya yang menganggap bahwa puisi merupakan terapi psikis. Pandangannya itu pernah diungkapkannya dalam kredo yang dia tulis ketika membacakan puisi-puisinya di Taman Budaya Sriwijaya pada tahun 1990, bersama T. Wijaya dan Tommy 3 A. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak tertarik "menjadi penyair". Namun, puisi-puisi karya M. Iqbal sering dipilih untuk diperlombakan ketika di Palembang kehidupan kesenian sedang marak-maraknya. Di awal tahun 1990, bersama Toton dia menerbitkan kumpulan puisi berdua Kekasihku Musi Kekasihku Mimpi.
Kini bersama segenap keluarga Permana--Toton dan Arif-M. Iqbal turut menyusun buku antologi puisi Keluarga Permana yang merewka beri berjudul Akad Cinta Seniman. Judul tersebut mereka angkat dari salah satu judul puyisi karya Abah tercinta. Antologi bersama itu direncanakan terbit pada awal tahun 2004.
Sumber:
o Wawancara dengan Nurhayat Atrif Permana pada tanggal 10 November 2003, di balai bahasa Provinsi Sumatera Selatan.
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=14

Tokoh

MOCHAMAD DA'I SULAIMAN (MOCHDAS ABAH PERMANA)


1. Latar Belakang Keluarga
Mochamad Da'i Sulaiman atau yang dikenal juga sebagai Mochdas Abah Permana dilahirkan di Tanjungkarang, Lampung, pada tanggal 10 November 1936 dari pasangan Sulaiman dan a'ah. Kedua orang tua Mochdas berasal dari Serang, Jawa Barat (sekarang Banten). Masa kecil dileawarti Mochdas di Tanjungkarang. Salah seorang teman bermainnya adalah Montinggo Boesye.
Masalah rezeki, pertemuan, dan maut menjadi hak yang Kuasa. Ketentuan itu juga dialami oleh Mochdas, terutama dalam berkeluarga. Mochdas berjumpa dengan gadis pujannya, Zumratul Kabatiah, ketika bertugas di Manna Bengkulu. Ia menikah dengan Zumratul Kabatiah pada tahun 1959. Dari perkawinannya itu, Mochdas dikarunia 3 orang putra dan seorang putri, yaitu Thontowi Herijun Eka Permana (Toton), Muhammad Iqbal Jauhar Ganda Permana (Cecep), Herlinda Dian Permana Ningsih (Enden), dan Nurhayat Arif Permana (Alik).
2. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan dasar dan menengah pertama ditempuh Mochdas do kota Tanjungkarang. Setelah selesai sekolah dasar, dia melanjutkan ke sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Tanjungkarang. Kemudian, dia menlanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di kota Solo. Dia menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 1958. Pada waktu mengajar di Bengkulu, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana muda. Mochdas menyelesaikan pendidikan sarjana muda pada tahun 1967. Kemudian, pendidikan saran penuh diselesaikannya pada tahun 1980.
Pada tahun 1982, Mochdas mendapat tawaran sebagai penerima beasiswa untuk programn pascasarja di Amerika. Akan tetapi, dia tidak menerima tawaran tersebut atas pertimbangan keluarga. Kala itu, semua anaknya sedang membutuhkan perhatian yang kuat dari Mochdas. Jika melanjutkan pendidikan ke luar negeri, dia khawatir anak-anaknya akan menjadi korban. Oleh karena itu, dia memilih untuk mengorbankan cita-citanya demi anak-anaknya. Pengorbanan Mochdas tersebut belakang hari baru disadari oleh anak-anaknya. Putra-putri Mochdas berhasil menebus pengorbanan orang tuanya dengan keberhasilan lain dalam kehidupan mereka.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Selepas dari SMEA, Mochdas bertugas ke Bengkulu sebagai seorang guru SMEP Negeri Manna, Bengkulu. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah selama bertugas di Manna, Bengkulu. Setelah itu, dia mendapat tugas belajar ke FKIP Universitas Sriwijaya untuk memperoleh gelar sarjana muda. Pada tahun 1967, Mochdas merampung pendidikan sarjana mudanya. Pada tahun 1969, Mochdas dipindahkan ke Palembang. Ia mengajara di SMEA Negeri 1 Palembang sampai tahun 1976. Kemudian, dia dipromosikan menjadi kepala SMEPNegeri palembang. Selanjutnya, Mochdas menjabat Kepala Sekolah SMP Negeri 14 Palembang dan SMP Negeri 7 Palembang. Pada tahun 1986, Mochdas bekerja pada Kanwil Depdikbud Provinsi Simatera Selatan. Dia memasuki masa purnabakti pada tahun 1995.
Kepindahan dari Bengkulu ke Palembang membawa berkah tersendiri bagi Mochdas. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk melanjutkan pendidikannya. Setelah itu, dia lelanjutkan pendidikannya pada jenjang saerjana lengkap (sarjana penuh). Ia menamatklan pendidikan sarjana penuh pada jurusan Ekonomi Perusahaan, FKIP Univeerritas Sriwijaya pada tahun 1980 dengan predikat sebgai lulusan terbaik.
4. Latar Belakang Kesastraan
Mochdas Abah Permana mulai menulis ketika masih duduk di Bangku sekolah lanjutan. Pada waktu belajar di Solo, dia banyak menulis sajak, cerita pendek, dan cerita anak. Ketertarikannya pada sastra antara lain dipengaruhi oleh atmosfir Solo kala itu. Ia banyak mengenal sastrawan Indonesia seperti W.S. Rendra, Hartojo Andangjaya, serta beberapa penyair Solo lainnya kala itu. Pemahamannya tentang penyair-penyairi Solo tersebut memicu kreativitasnya dalam menulis. Bagaikan air mengalir, Mochdas menghasilkan cerita pendek, puisi, cerita anak, dan esai yang kemudian dipublikasikan di media massa setempat dan Yogyakarta. Dia sering menggunakan nama samaran. Sulmochda dan Mochdaisul antara lain nama samaran yang digunakan oleh Mochdas dalam menulis. Akan tetapi, faktor lain yang mebuat Mochdas banyak menulis adalah alasan keuangan. Sebagai anak rantau, dia membutuhkan penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Melalui tulisan, dia dapat honor yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Pada tahun 1969, Mochdas mengikuti lomba menulis puisi yang diselenggarakan dalam rangka Hari Radio ke-2. Meskipun mengirim karya dalam sebuah perlombaan tidak biasa dilakukan Mochdas, dia beruntung dalam perlombaan ini. Mochdas berhasil memperoleh juara ke-2 dan berhak atas hadiah yang berupa 2 jilid buku Puisi Dunia karya taslim Ali. Buku hadiah penulisan puisi itulah yang akhirnya menjadi warisan paling berharga dari Mochdas terhadap anak-anaknya.
Setelah memasuki masa purnabakti, Mochdas berupaya mengumpulkan kembalai karya-karya yang tersebar di berbagai media. Karya-karyanya itu kemudian diterbuitkan dalam bentuk antologi yang kemudian diberi tajuk Lagu Canda Bagi Orang-Orang Terlupa. Antologi ini dibagi-bagikan kepada teman-temannya sebagai kenang-kenangan bagi mereka.
5. Daftar Karya
Berikut diterakan beberapa karya judul karya Mochdas yang masih bias ditemukan.
o Sebuah Pernyataan (puisi), 1969.
o Sekapur Sirih (puisi), 1992.
o Dalam Puisi Ada Canda (Puisi), 1992.
o Kalau Kau Jadi (puisi), 1992.
o Tali Biola Putus (puisi), 1992.
o Andaikata Saja (puisi), 1992.
o Lagu Canda (puisi), 1991.
o Tangis bayi Pertama (puisi), 1992.
o Pantun Musi Kota Bari (puisi), 1992.
o Balada Cinta Lelaki Tua (puisi), 1992.
o Dosa? (puisi), 1992.
o Persetan Penantian (puisi), 1992.
o Nelayan Sungai Ogan Dini Hari (puisi), 1992.
o Para Jalang (puisi), 1992.
o Alkisah (puisi), 1992.
o Kalau Kau Mau (puisi), 1992.
o Dilema (puisi), 1992.
o Antara Dua Ketika (puisi), 1999.
o Pergilah Mati (puisi), 1992.
o Hujan 1 (puisi), 1992.
o Hujan 2 (puisi), 1992.
o Lagu Buah Semangka (puisi), 1992.
o Akad Cinta Senima (puisi), 1992.
o Silogisma (puisi), 1992.
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=15


Tokoh Sastra Sumsel N

NURHAYAT ARIF PERMANA


1. Latar Belakang Keluarga
Nurhayat Arif Permana atau yang lebih dikenal dengan panggilan Alik dilahirkan di Palembang pada tanggal 23 Oktober 1969. Anak bungsu dari empat bersaudara ini merupakan putra dari pasangan Moch Da'i Sulaiman dan Zumratul Kabatiah. Panggilan itu berawal dari ketidakcakapannya melafalkan namanya "Arif" sehingga kedengarannya "Alik". Sebetulnya, kedua orang tua Nurhayat memberi nama Putra bungsunya itu Nurprihatin. Nama itu mengandung muatan makna yang dalam tentang liku-liku kehidupan keluarga Moch Da'I Pertmana ketika putra bungsunya itu lahir. Namun, Nurprihatin kemudian diganti menjadi Nurhayat karena putra bungsunya itu selalu sakit-sakitan. Penggantian nama dari Nurprihatin menjadi Nurhayat mengandung harapan agar putra bungsunya itu dapat bertahan hidup.
Masa kecil Nurhayat dihabiskan dalam lingkungan keluarganya. Keluarga Nurhayat menempati sebuah rumah bedeng yang dihuni oleh sepuluh orang anggota keluarga. Lokasi tempat tinggalnya opun swering digenangi banjir dikala kota Palembang diguyur hujan. Namun, Arif kecil sangat menyukai keadaan seperti itu karena terbuka kesempatan baginya untuk melakukan "ritual", yaitu bermain hujan. Setelah bermain dalam hujan, biasanya ibundanya akan memandikan Nurhayat. Kemudian, Nurhayat kecil disuapi makanan sembari sang ibu menyanyikan lagu dakocan.
Sebagai anak bungsu, Nurhayat merupakan buah hati semua anggota keluarganya. Nurhayat mendapatkan limpahan kasih sayang dari orang tua dan kakak-kakaknya.
Citraan tentang hujan amat berpengaruh terhasdap kreativitas Nurhayat dalam menulis. Di samping imaji hujan, Nurhayat-seperti anak-anak seusianya-melewatkan masa kecilnya dengan bermian laying-layang, bermain kelereng, bermain ambulans, dan bermain permainan anak Sumatera Selatan lainnya. Nurhayat sering lupa waktu jika sudah bermain. Ia sering telat mandai karena keasyikannya bermain dengan teman-temannya. Selain itu, Nurhayat suka berangan-angan. Dia mengneal seni lukis semenjak dari masa anak-anaknya. Ia menfggambar lantai dan dinding rumahnya sdengan kapur tulis yang disediakan oleh bapaknya. Kenangan masa kecil itu tidak pernah luput dari ingatan Nurhayat Arif Permana.
Satu opweristiwa diikuti oleh peristiwa lain dalam hidup Nurhayat. Setelah menginjak remaja, Nurhayat mulai meninggalkan masa bermainnya. Kemudian, dia memulai kebiasaan lain, yaitu keluyuran bersama dengan teman-temannya. Pada waktu itu, dia sering "nongkrong" dengan teman-teman sebayanya di pasar sembari menonton tukang jual obat kaki lima dan nonton di bioskop-bioskop kelas bawah. Pada saat itu pula, hobi melukisnya merambat kedunia tulis-menulis. Ada sebuah ruang yang tgiba-tiba menarik hatinya, yaitu perpustakaan. Kecintaannya pada bacaan kemudian mendaulatkannya sebagai Pengunjung Terbaik Perpustakaan Daerah Sumatera Selatan pada tahun 1998.
Nurhayat menikah dengan gadis pujaannya, Sulityah Kreshna Murti, pada tahun 2001.
2. Latar Belakang Pendidikan
Nurhayat menempuh pendidikan dasar sampai pergurun tinggi di kota Palembang. Ia menamatkan pendidikan dasar di Sekolah dasar Negeri 27 Palembang, kawasan-menurut Nurhayat-padat penduduk di salah satu sudut kota Palembang. Selepas itu, Nurhayat melanjutkan pendidikan pada SMP Negeri 2 Palembang. Setelah tamat dari SMP, dia meneuskan pendidikannya ke SMA Negeri 1Palembang. Bakat menulis Nurhayat mulai tersalurkan ketika belajar disekolah ttersebut. Pihak sekolah memberi Nurhayat kesempatan mengembangkan bakat menulis melalui kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Selain menulis, dia juga mulai merambah dunia teater. Semasa di SMA itu pula Nurhayat mulai mengikuti berbagai lomba sastra. Nurhayat beberapa kali memenangkan perlombaan baca puisi sehingga teman-temannya menjulkinya sebagai "penyair I 8, sebagaimana nama kelasnya.
Selepas dari SMA, Nurhayat berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau Institut Kesenian Jakarta. Akan tetapi, hasratnya itu tidak kesampaian karena orang tuanya menyarankan Nurhayat untuk berkuliah di Palembang saja. Oleh karena memahami alasan orang tuanya, Nurhayat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Fakultas Humum Universitas Sriwijaya. Ia terdaftara sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya pada tahun 1988. Akvitas berkesenian tetap diteruskannya di kampus. Dia aktif menulis sastra, bermain teater, bermain sinetron, dan melukis selama berstatus sebagai mahasiswa. Ia pun aktif di berbagai organisasi kepemudaan dan kemahasiwaan selama menjadi bahagian dari kehidupan kampus. Nurhayat menyelesaikan pendidikan dengan meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya pada tahun 1994.
3. Latar Belakang Pekerjaan
Bakat menulis ternyata juga mewarnai kehidupan Nurhayat. Setelah menamatkan Fakultas Hukum, Nurhayat memilih jalur menulis sebagai pilihan hidupnya. Ia bekerja sebagai wartawan pada Harian Sriwijaya Post Palembang selama dua tahun. Kemudian, dia pindah ke Harian Bangka Post.
Selama menggeluti dunia jurnalistik, Nurhayat terus memupuk kemampuan menulisnya, termasuk teknis menulis yang benar, padat, singkat, dan mengena menurut standar bahasa jurnalistik. Pada bulan Juli 2002, Nurhayat membuat keputusan penting dalam hidupnya, yaitu mengundurkan diri dari tempat bekerja. Kemudian,dia memilih menjadi peneliti lepas di berbagai lembaga penelitian. Ada sebuah pengalaman yang menarik yang diungkapkannya selama berada dalam dunia jurnalistik. Ia menyadari bahwa minatnya terhadap ilmu sosial, budaya, kemasyarakatan sangat besar dan beragam. Ia berupaya mengembangkan minatnya itu setiap saat.
Selama bekerja di Bangka Post, Nurhayat-bersama-sama penulis Bangka Belitung-menggiatkan kehidupan sastra dengan membentuk Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KSPB).
4. Latar Belakang Kesastraan
Darah seni yang mengalir di tubuh Nurhayat ditulari dari ayahnya. Nurhayat dilahirkan dalam keluarga yang amat mencintai kesenian, kususnya kesusastraan. Ayahnya, seorang guru yang menyukai sastra, memiliki banyak buku tentang kesusastraan. Beliau juga banyak menulis karya sastra.
Warisan berharga dari ayahnya adalah dua buah buku, yaitu Puisi Dunia I dan II karya Taslim, yang merupakan hadiah yang diperoleh sang ayah ketika mengikuti lomba penulisan puisi pada tahun 1969. Bersumber informasi dari kedua buku itulah Nurhayat dan kakak-kakanya mengenal penyair-penyair besar dunia. Pada saat kakak-kakanya giat menulis sastra (puisi dan cerpen), Nurhayat pun mencoba menulis sastra. Ia mengirimkan karyanya itu ke majalah Bobo. Tulisannya itu tidak dimuat. Akan tetapi, redaksi Bobo mengembalikan karya Nurhayat tersebut dengan beberapa catatan.
Catatan redaksi Bobo itu mambangun keyakinan luar biasa pada diri Nurhayat. Pada waktu duduk di bangku kelas II SMA, Nurhayat mengirim satu naskah cerita pendek dalam Sayembara Penulisan Cerita Pnedek se-Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh tabloid Media Guru, salah satu media yang berpengaruh di Sumatera Selatan kala itu. Cerita pendek karya Nurhayat menjadi pemenang I dalam sayembara tersebut. Selanjutnya, puisi-puisi Nurhayat dimuat dalam media tersebut.
Nurhayat juga mengirimkan empat cerita pendek ke majalah remaja Fantasi dan Aneka ketika masih duduk di bangku SMA. Tiga karyanya langsung dimuat, sedangkan satunya lagi dipertimbangkan redaksi untuk dimuat dalam media tersebut. Pada tahun 1990, Nurhayat bersama T. Wijaya membacakan puisi-puisinya di hadapan publik sastra di Ruang Dempo Raya, Taman Budaya Sriwijaya. Puisi-puisi Nurhayat juga sering diperlombakan dalam kegiatan-kegiatan lomba di Sumatera Selatan.
Dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional yang dilaksanakan di Denpasar pada tahun 1993, karya-karya Nurhayat-cerpen, puisi, dan lakon-lolos dalam seleksi daerah. Nurhayat pun lolos sebagai peserta puisi tingkat daerah kala itu. Dalam ajang kretivitas mahasiswa tingkat nasional itiu, lakon drama karya Nurhayat "Kerudung baying-Bayang Bulan" meraih juara kedua. Pada tahun 1992, pusis karya Nurhayat bersama-sama puisi penyair Palembang lainnya dimuat dalam antologi Ghirah. Di samp[ing menulis pusim, cerpen, dan naskah lakon, Nurhayat juga menulis novel. Salah satu naskah novel yang belum sempat diterbitkan berjudul "Kering".
Di samp;ing aktif berkarya, Nurhayat juga sering diundang untuk mengikutii pertemuan-pertemuan sastra. Pada tahun 1992, dia diundang Dewan Kesenian Lampung dalam pertemuan Penyair Sumatera, Jawa, dan Bali di Bandarlampung. Pada tahun yang sama, Nurhayat ditunjuk oleh Pusat Bahasa, Depdiknas, mewakili penulis muda Indonesia untuk mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggra (Mastera): Puisi, yang diikuti oleh penulis-penulis muda dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Karya-karya Nurhayat diterbitkan oleh berbagai media. Pada tahun 1997, puisi-puisi Nurhayat dimuat dalam antologi Puisi Indonesia dan Penyair Empat Kota yang diternbitkan oleh Dewan Kesenian Jambi. Selain itu, Nama Nurhayat juga tercatat dalam Direktori Penulis di Indobnesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidiikan Nasional pada tahun 1997. Di samping itu, nama Nurhayat juga tercatat dalam Buku Pintar Kesusastraan yang diterbitkan Kompas pada tahun 2002.
Nurhayat diundang menghadiri Kongres Cerita Pendek III yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Lampung pada tahun 2003. Sampai penghujung 2003, Nurhayat sedang memilah-milah beberapa puisinya yang akan dimuat dalam antologi mandiriyang diberi tajuk "Stanza Air Mata" dan antologi bersama keluarga para Permana yang diberi tajuk "Akad Cinta Seniman". Pada tahun 2003 pula, Nurhayat didaulatkankan rekan-rekan yang tergabung dalam Majelis Seniman Sumatera Selatan sebagai pemimpin organisasi tersebut
Sumber: http://www.balaibahasasumsel.org/?act=tokoh_detil&id=6