Minggu, 03 Agustus 2008

Ketika Gadis Bisu Berlipstik

Waktu mencoblos, aku pun mencoblos. Meski aku tak keluar dari lingkungan kerangkenganku di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pakjo Palembang. Aku hanya tersenyum ketika sipir mengangkat kedua tangannya lalu menggerakkan jari kirinya ke dalam lingkaran jari kanannya. Sembari mulutnya berkata, “mencoblos?”
“Ih… hi hi,” aku tertawa sembari berlari. Saat itu aku baru keluar dari bilik suara. Mencoblos kertas bergambar empat calon pemimpin. Aku tusuk sepasang diantaranya dengan paku yang tersedia.
Gerakan itu mengingatkanku ketika aku masih bebas. Orang-orang yang ingin menikmatiku pun melakukan hal serupa. Bedanya, mereka umumnya serius sembari menarik koceknya dan mengeluarkan lembaran uang Kalau aku setuju, maka kami pun mencari tempat. Bisa di kamar hotel, atau salah satu kamar di rumah susun.
Bedanya, pertanyaan sipir tentu soal coblosan pemilihan presiden yang baru aku lakukan. Tetapi, aku rasa maksudnya juga tetap mengadung arti coblosan lainnya.
Sebagai manusia aku punya keinginan. Juga memiliki perasaan. Tetapi keinginan dan perasaanku sama-sama sulit terpenuhi. Sama seperti suaraku yang tak pernah bisa keluar. Sehingga orang pun sulit memahamiku. Aku memang bisu. Tetapi aku tidak buta dan tidak tuli.
Sejak lahir, aku telah menerima kenyataan. Bahwa ibu yang melahirkan diriku harus menanggung malu. Ayah kandung, jangankan aku, ibuku pun tak tahu dimana rimbanya. Sampai akhirnya, di usianya yang masih muda ibuku mengakhiri hidupnya secara terpaksa. Dia ditabrak mobil ketika sedang bertugas. Ibuku memang pekerjaannya di pinggir jalan. Dengan sapu di tangan, dia membersihkan jalan.
Dengan gaji yang dihitung harian dan diterima mingguan, ibuku berjuang menghidupi aku. Tetapi, dia akhirnya tak bisa terus menghidupi dirinya ketika sebuah mobil sedan menabraknya. Dan ajal pun seketika menjemput.
Aku tak tahu bagaimana nasib si penabrak. Karena memang aku ketika itu hanya bisa diam. Menangis pun aku tak bisa. Karena memang lidah ku pendek. Hanya air mata ku menetes ketika orang-orang kulihat membawa ibuku di atas kasur. Dia membisu sama seperti ku.
Bedanya, aku basah karena ngompol sejak sehari semalam ditinggal ibu kerja. Sementara ibuku kata orang basah karena dimandikan soalnya tak bisa lagi mandi sendiri.
Biasanya sih, dia akan pulang ketika matahari menjelang terbit. Lalu menyusuiku. Taklama kemudian memandikan aku. Terdengarlah nyanyian tak bersyair dari mulutnya. Bagiku, lagu yang dinyanyikan itu begitu indah. Mendayu-dayu. Entah bagi orang lain.
Buktinya, pernah suatu ketika ibu dimarahi tetangga karena mungkin kesal mendengar senandung ibu yang itu-itu juga. Sampai akhirnya, kemudian ibu mengecilkan volume lagunya sejak keributan dengan tetangga yang kemudian kuketahui seorang janda. Yang akhirnya justru dia yang merawatku menggantikan ibuku.
Tempat tinggal kami bukanlah kompleks perumahan. Tetapi ada sedikitnya 20 pondok yang tak bisa diketegorikan tempat tinggal. Masing-masing pondok, tidak ada kamar, tidak tersedia kamar mandi, tidak ada tempat tidur. Tetapi kompor ada. Panci-panci ada. Juga piring dan gelas. Semuanya sering digunakan.
Di lingkungan yang tak jauh dari Jembatan Ampera itulah aku kemudian tumbuh. Sejak dilahirkan tanpa ayah oleh ibuku. Diasuh tetangga yang kemudian sekarang pun kupanggil ibu, sejak ibuku yang kini tak kukenal lagi wajahnya dikebumikan.
Aku dipanggil Yanti. Setiap panggilan Yanti terdengar aku akan menoleh. Aku memang sempat sekolah. Karena ibu angkatku tak sanggup lagi membiayaiku, akhirnya berhenti di kelas II.
Berhentinya aku dari sekolah sangat aku syukuri. Teman-teman sering menertawaiku. Seragamku tak sama dengan lain. Katanya sih, bau lah. Buruk lah. Buku tulisku pun kumal. Karenanya, wajar saja kalau nilai-nilai ku tak ada yang bagus.

Tetapi syukur alhamdulillah, aku sedikit-sedikit bisa berhitung dan membaca serta menulis. Hanya saja, jangan aku disuruh menulis surat atau membaca koran. Tetapi kalau hanya menulis nama, aku bisa. Begitupun menghitung, aku sangat pandai.
Itulah kemudian yang menjadi modalku. Setiap tamuku kucatat namanya. Jumlah bayarannya pun aku ingat.
Tarifku memang tak begitu mahal. Itu sudah termasuk untuk bayar tempat di rumah susun. Biasanya, Ibu Cicih, demikian aku biasa panggil akan meminta bayaran dariku setiap aku mengajak lelaki ke kamar di rumahnya yang terletak di lantai III.
Atau, aku akan menerima uang dari lelaki yang membawaku. Tetapi sewa kamar short time dibayar olehnya. Berapa bayarannya terserah.
Aku tak pernah berpikir apakah perbuatan aku salah atau benar. Yang aku tahu, lelaki teman ibu keduaku yang janda lah yang mengajariku. Awalnya, aku melihat mereka berdua dalam posisi aneh di dalam gubukku tengah malam. Bukan sekali dua, aku melihatnya. Lalu mereka kudengar seperti merasakan sesuatu yang aneh. Sehingga dari mulutnya terdengar seperti orang makan nasi dengan sambal.
Aku merasakan sesuatu yang aneh juga ketika itu. Sampai akhirnya, ketika ibuku itu pergi entah kemana, aku tinggal bersama lelaki yang kemudian aku panggil Udin. Kalau dulu aku melihat Udin dan Ibuku, kini aku merasakan sendiri apa yang mereka rasakan. Sebelum ibuku pergi, aku sempat dua lima kali selama lima bulan mengalami peristiwa yang membingungkan. Setiap bulan, dari tempat aku buang air kecil keluar darah. Sama seperti ketika aku terluka saat aku berlari dikejar kucing. Bedanya, kalau dulu dari dengkul kini dari tempat di atas dengkul.
Tanpa penjelasan, ibuku memberiku kain bekas yang bersih untuk diletakkan di dalam celana dalamku. Pesannya, “Kau sudah gadis. Jaga jangan sampai darah itu tercecer dimana-mana,” ujarnya.
Aku sungguh tak mengerti ketika Udin mendekati aku yang sedang mau tidur. Tetapi aku bisa mengerti bahwa aku mesti menolak perlakuan itu. Aku berontak. Tetapi aku tak bisa menjerit. Karenanya, malam itu aku pun menjadi wanita seutuhnya. Tetapi tak utuh lagi.
Berkali-kali aku melakoni itu Udin pun sangat baik dengan ku. Aku dibelikan bedak. Abang bibir (lipstik). Baju baru. Sendal baru. Aku pun bisa berpenampilan seperti gadis lainnya. Lalu setiap senja datang aku diajak Udin berdiri di pinggir jalan dekat Kambang Iwak.
Udin memang selalu mengawasiku. Tetapi dia tak bisa menghalangiku untuk dekat dengan seorang lelaki yang menurutku ganteng. Dia baik pula. Selalu tersenyum denganku. Dengan Andi, itulah namanya, aku kemudian merasa sangat dekat. Terlebih ketika Udin kudengar ditangkap polisi. Dia katanya sih ditembak karena ternyata dia itulah yang menghabisi ibu.
Menurut orang, ibuku ditemukan sudah menjadi mayat. Dan akhirnya diketahui pembunuhnya adalah Udin. Aku kemudian diajak Andi.
Andi memang baik. Umurnya juga tidak setua Udin. Aku tak tahu rumahnya Tetapi, dia sering main ke gubukku. Bahkan terkadang tidur di gubukku.
Awal-awal hubunganku dengan Andi beberapa kali aku ditangkap orang berseragam. Dinaikkan ke mobil. Begitu juga dengan rekan-rekan wanita ku yang lainnya. Mulanya aku sempat lepas. Melihat teman-teman pada berlari, aku ikut berlari.
Tetapi kemudian, aku tak bisa menghindar. Meskipun sudah berlari, aku tetap bisa ditangkap. Penangkapan pertama, Andi kulihat selalu ada di sekitarku. Aku dihadapkan kepada seorang ibu yangmengenakan baju hitam. Lalu ibu itu, yang beberapa bulan kemudian kuketahui sebutannya adalah hakim, mengetukkan palu. Kulihat, kemudian Andi membayar. Aku lalu dilepas.
Yang kedua, saat aku sedang hamil tua, aku kembali tertangkap. Aku dibawa ke sebuah gedung. Kali ini bukan ibu-ibu yang mengetukkan palu, tetapi seorang laki-laki yang juga mengenakan baju hitam. Saat itu, Andi tak ada. Aku juga tak mengantongi uang.
Ketika aku ditanya bisa tidak membayar Rp 50.000, karena menurut mereka aku sudah dua kali tertangkap, aku menggelengkan kepala. Akupun digiring ke sebuah bangunan berkerangkeng. Aku tak bisa kemana-mana. Tapi setiap hari aku dapat makan. Setelah tiga hari di sana aku baru tahu kalau aku dipenjara.
Saat itu, perutku mules. Terasa sakit diperutku yang memang membuncit. Sampai akhirnya aku tak sadar. Ketika aku sadar aku sudah terguling di kasur. Perutku sudah kempis. Ketika aku bingung, kulihat seorang wanita berpakaian putih memberikan kode bahwa isi perutku sudah keluar. Dia menunjuk gambar di dinding seorang ibu menggendong bayi. Tetapi, bayiku katanya meninggal.
Sebulan aku dipenjara, aku kemudian pulang. Aku dijemput Andi. Dia memelukku. Aku kembali ke rumah. Lebih sering aku tak makan. Karena aku tak bisa mencari uang. Beruntung, Andi sering datang. Aku masih bisa menyambung hidup. Kuhitung-hitung hampir dua bulan aku nganggur.
Sampai akhirnya aku kembali ke jalan. Rutin, kemudian aku dapat lelaki. Terkadang empat sampai lima. Yang paling ramai kalau malam minggu.
Berkali-kali pula aku terkena razia. Dengan yang lainnya, aku didenda lebih besar. Katanya sih karena aku sudah sering ditangkap. Itu tak soal, karena aku punya uang.
Terakhir, ketika Andi juga menghilang. Yang menurut temanku ditangkap polisi karena mencopet di pasar, aku kembali terkena razia. Aku hanya bisa menangis, ketika ibu yang mengenakan baju hakim mengetukkan palu dan menyebut angka 1 juta rupiah.
Aku hanya sanggup menggeleng ketika seorang petugas yang bisa berkomunikasi denganku menanyakan apakah aku anggup membayar 1 juta rupiah Hakim sudah pergi ketika petugas menggiringku masuk penjara karena itulah pilihan yang ada.

Palembang, Oktober 2005

(Dimuat di Sumatera Ekspres, edisi Minggu, 19 November 2006)

Di Ujung Hari

Berat senjata dengan ransel di punggung memang tak pernah dirasakan Nurdin. Tetapi menembakkan senjata atau melemparkan geranat hasil sitaan dari Belanda pernah dilakoninya dulu. Dia sangat bangga kalau berhasil menewaskan tentara musuh. Entah itu Belanda maupun Jepang.
Masih terngiang di telinga Nurdin yang kini ditambah alat bantu dengar karena fungsinya sudah berkurang, dia begitu disambut saat masuk kampung. Seragamnya memang tidak berpangkat. Tidak ada papan nama di dadanya. Hanya ada bendera merah putih, itupun warnanya sudah pudar. Hanya merahnya yang semakin merah. Mungkin terkena percikan darah musuh.
Suasana tempat tinggal Nurdin kini, memang tenang. Hanya sesekali terdengar bunyi radio. Itu pun sayup-sayup, dari kantor yang terletak di bagian depan. Sementara Nurdin menempati bagian belakang, terdiri dari kamar-kamar. Ada kursi malasnya.
Selama ini, tak pernah ada kenangan masa lalu. Yang ada, hanyalah suara-suara yang masuk ke telinga Nurdin terdengar antara ada dan tiada. Terlebih kalau alat berwarna putih yang diselipkan ke lubang telinganya terkadang terlepas kala dia tiba-tiba tertidur di kursi malas.
Atau, kalau alat itu habis baterenya, maka Nurdin tak bisa mendengar apa-apa. Termasuk nyamuk yang terbang di sekitar kupingnya. Dia hanya bisa melihat, bagaimana teman sekamarnya juga sedang tertidur.
Kulitnya keriput. Kalau berjalan memakai tongkat. Ketika tertawa, giginya ternyata ibarat bayi. Tinggal gusinya saja. Sama seperti Nurdin, teman satu kamarnya itu punya menu istimewa, bubur nasi. Dengan kecap asin, plus telor setengah matang.
Dari sepuluh kamar tempat Nurdin tinggal sekarang, penghuninya kondisinya sama. Nurdin memang tinggal di panti wreda. Tak banyak yang bisa dibuatnya.
Juga teman-teman wanitanya yang kamarnya berada di ujung sebelah kiri. Mereka biasanya hanya duduk sembari merenda. Namun pekerjaan itu tak selesai-selesai.
Ada lagi sebagian, cuma duduk-duduk. Sembari menonton televisi di ruang tengah. Menuju ke ruang tengah, ada yang naik kursi roda. Tetapi, ada juga yang merangkak.
Mereka tertawa-tawa melihat anggota DPR sidang. Menangis saat ada iklan susu bayi. Kontras sekali dengan kondisi yang sebenarnya. Karena memang mereka sudah sulit mengartikan apa yang dilihat dan didengar.
Di kalangan orang-orang tua, Nurdin merasa paling jagoan. Dia selalu ingin memimpin. Tak boleh ada yang mendahului saat makan.
Nurdin tetap merasa dia adalah komandan di lapangan. Yang selalu memberi komando. Perintahnya, selalu dikumandangkan. Entah ada atau tidak yang melaksanakan. Karena dia sendiri tak bisa mengontrolnya lagi.
Berbeda dengan ketika dia masih muda dulu. Dengan dada bidang, kulit hitam terbakar matahari, Nurdin memang jantan. Pandangannya tajam. Kakinya kuat berjalan berkilo-kilo, menembus hutan, naik gunung, mnenyeberangi sungai.
Hidungnya tajam mencium bau musuh. Karenanya, dia selalu memang dalam pertempuran.
Sayang, Nurdin tak sempat menikah. Karena ketika Indonesia sudah merdeka, justru dirinya tak menemukan lagi keluarga. Pendengarannya yang rusak karena ledakan granat di dekatnya membuatnya tak bisa berkomunikasi dengan sempurna.
Sampai tua pun, Nurdin tak mempunyai pendamping. Kalaupun ada, bekas anak buahnya yang juga mendaftarkan dirinya sebagai anggota veteran.
Pagi ini, ketika batere alat pendengarnya baru diganti, dia mendengar pengumuman diadakan perlombaan tarik tambang memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.
Sontak, dia mengembangkan dada. Terlebih ketika terdengar lagu-lagu perjuangan. Mulailah Nurdin menghitung-hitung musuh yang dibunuhnya. Juga teman-temannya yang menjadi korban. Dia mau ikut tarik tambang.
Di lapangan bola tak jauh dari panti, memang ada gelaran memperingati hari kemerdekaan RI. Panitia setempat menggelar acara dengan engajukan propsal ke berbagai pihak. Ditambah bantuan sponsor, teriakan peserta yang menjadi pemenang sampai ke telingan Nurdin.
Bukan hanya lari karung. Ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, main gaple yang cukup ramai pesertanya.
Bantuan yang didapat, lumayan besar. Tetapi, hadiah yang dibagikan tak seberapa. Itu yang membuat bisik-bisik warga. Bahkan, ada yang nyaris berkelahi. ”Kamu jangan bicara seperti itu. Jangan bicara di belakang, kemaren waktu rapat, tak ada protes,” ujar Roni, anak Ketua RT yang menjadi ketua panitia menuding rekannya yang sebelumnya ikut sibuk mengantarkan proposal.
Teriakan-teriakan panitia mempertengkarkan bantuan untuk perayaan hari kemerdekaa kemudian reda. Itu tak terdengar oleh Nurdin. Dia hanya ingin ikut meramaikan. Apalagi, di depan panti dia melihat anak-anak berlompatan membawa hadiah kemenangannya.
“Saya pahlawan. Apa pahlawan tidak boleh ikut lomba tarik tambang? Saya mau ikut. Allah akbar,” teriaknya.
Nurdin berlari. Napasnya terengah-engah. Di belakangnya, dilihatnya pasukan musuh terus memburunya. Di depan, ada sungai membentang. Airnya deras. Ketika dia membalik, senjatanya tak berpeluru. Hanya ada geranat di pinggang. Dicabutnya geranat, lalu ditariknya picu. Sayang, geranat itu meledak di tangan. Nurdin sempat tersentak. Dia sadar itu adalah bayangan.
Dia kembali berteriak, “Allah akbar.”
Sayang, teriakannya sangkut di tenggorokan. Tak ada suara yang keluar. Nurdin hanya terhenyak. Seorang perawat mendekat. Diusapnya dada sang pahlawan dengan lembut. Tak biasanya, kali ini tak ada denyut nadi. Pas 17 Agustus 2004, Nurdin menghembuskan napas. Dia sudah menghitung jasa-jasanya. Tuhan juga pasti.

Palembang, 17 Agustus 2006
(Dimuat di Tabloid Desa Edisi 91/1-15 Juli 2008)

Mimpi pun Usai

Djakfar, seorang wartawan muda yang sangat aktif dan sangat menghargai waktu, mestinya memilih pendamping hidup dari kalangan perempuan yang mampu menerimanya apa adanya beserta keidealismeannya dalam menjalankan pekerjaan.
Sayang, jodohnya ternyata wanita yang gemar bermimpi dan selalu berkhayal menjadi orang yang serba berkecukupan dalam kehidupan. Akibatnya, suaminya dipaksa memenuhi keinginan-keinginannya. Tak peduli termasuk pelanggaran kode etik atau bukan. Karena dalam benak sang istri, kode etik wartawan itu untuk suaminya. Bukan untuknya. Maka, tak salah kalau dia melakukan apa yang diperaninya sekarang. Untung sang suami bisa bertahan, meski harus banyak melalap hatinya. Bukan sekadar makan hati.
Terkadang, sambil menulis berita di kantornya, Djakfar sering menggerutu dan berteriak. Setahu teman-temannya itu karena dikejar deadline. Padahal, dia sesungguhnya menyesali mengapa dulu terlalu buru-buru melamar wanita yang baru dikenalnya sekitar lima bulan. Sayang , sekarang semuanya diangapnya telah terlambat. Apalagi, seorang putri telah hadir di tengah mereka.
Yang sering menangis tengah malam saat dia pulang ke rumah. Baru akan memelekkan mata, tangisan putrinya membuatnya terbangun. Setengah terpejam, dia menjawil istrinya agar mengelus kepala sang putri.
Terkadang jawilan itu justru membuat suasana menjadi lain. Karena sesungguhnya tak ada waktu di siang hari untuk bermesraan. Nah, waktu itulah merupakan kesempatan untuk menikmati rasa memiliki istri.
Terkadang pekerjaan belum selesai, sang putri terbangun kembali. Terpaksa pekerjaan suami-istri itu dihentikan terlebih dahulu. Sambil memandang sang istri yang menyusui pewarisnya, Djakfar tersenyum sendiri.

Dan, kenangan pun berlabuh pada masa lalu saat pacaran. Ketika perempuan yang dia nikahi itu masih memiliki pandangan sama dengan dirinya dalam melihat kehidupan rumah tangga. Ketika Djakfar mengajaknya menikah, itu terjadi dua tahun lalu, jurnalis ini sudah menjelaskan bahwa ia berbeda dengan rekan-rekannya yang lain yang tampak lebih mewah kehidupannya.
Ia ceritakan apa-apa yang tidak dia sukai termasuk rekan-rekannya seprofesi yang memanfaatkan kesempatan dari orang-orang yang gila publikasi ataupun mereka-mereka yang punya jabatan dan kekayaan namun takut kalau belangnya diketahui umum.
”Saya tidak bisa menikmati hidup dengan memanfaatkan ketakutan orang-orang. Atau mengambil manfaat dari orang yang ingin dipuji-puji dengan tulisan yang manis-manis dan mampu membubung ke langit,” kata Djakfar. Masih banyak hal yang dijelaskan Djakfar sebelum perempuan itu dia nikahi, dan semuanya diungkapkan agar perempuan itu memahami orang seperti apa yang akan menjadi suaminya kelak. Selain tak mungkin kaya, juga sangat sedikit punya waktu untuk keluarga.
Selayaknya para gadis muda yang selalu terlihat lugu dan terkesan sangat memaklumi Djakfar, perempuan itu mengangguk-angguk. Dari caranya mengangguk, Djakfar menarik kesimpulan bahwa perempuan itu mengerti dan paham kehidupan seperti apa yang akan dilakoni jika menjadi istri seorang wartawan.
Tapi, setelah berjalan dua tahun dan seorang anak hadir di antara mereka, segalanya berubah termasuk cara perempuan itu berpikir dan memandang kehidupan ini. Tiap sebentar ia selalu mengeluhkan perabotan-perabotan yang kurang lengkap dan tidak seperti milik teman-teman seprofesinya suaminya yang lain.
”Soal pekerjaan sama, tetapi perabotannya lebih komplit. Ada tv, kulkas, VCD, handphonenya bagus, sepeda motor, bahkan mobil. Kita apa, makan saja susah,” itu yang kerap menjejali telinga Djakfar.
Mula-mula Djakfar mengingatkan istrinya tentang komitmen mereka saat berpacaran, teapi istrinya selalu mematahkan kalimat-kalimatnya dengan mengatakan, ”Itu dulu, sekarang lain.” Terkadang ketus, seringkali sedikit manja. Istrinya juga membuat perbandingan-perbandingan sehingga Djakfar sangat terpukul, kecewa, dan tak bisa berkata apa pun.
Perubahan istrinya yang drastis membuat Djakfar tidak bisa menerimanya dan menjadi sangat terpukul, tetapi tidak membuat wartawan itu kehilangan akal sehat. Di luar rumah, dalam menjalankan pekerjaannya, tetap saja sebagai wartawan yang baik dan jujur. Kejujurannya itu sudah diketahui teman-teman seprofesinya, dan mereka menyebutnya sebagai wartawan yang idealis dan tak kenal kompromi. Alias bodoh. Meskipun ia sering mendengar julukan itu ditujukan kepadanya, tidak membuatnya tersinggung karena ia berpikiran sebaliknya, rekan-rekannyalah yang keliru.
Kekeliruan mereka adalah kekeliruan seorang manusia yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya, sehingga semua yang mereka lakukan dikerjakan tanpa memedulikan hati nurani. Sikap seperti itu membuat Djakfar tetap bertahan meskipun rekan-rekan seprofesinya mengucilkannya, memperlakukannya seperti orang yang memiliki banyak kesalahan dalam hidup dan seolah-olah kesalahan-kesalahan itu tidak bisa lagi dimaafkan.
Sungguh, kalau bukan Djakfar, pastilah perlakuan-perlakuan seperti itu sudah lama menimbulkan persoalan besar. Djakfar sadar betul soal itu meskipun tidak pernah mempersoalkannya, dan tetap berlaku seperti biasanya karena ia yakin tidak ada kesalahan dari apa yang pernah dilakukannya selama ia masih berada dalam jalur yang sudah digariskan profesinya. Satu-satunya kesalahan yang disadari betul adalah membiarkan rekan-rekannya menganggapnya selalu melakukan kekeliruan dalam hidup.
Bukan berarti ia tidak pernah berusaha meyakinkan mereka bahwa anggapan mereka itulah yang keliru, tetapi setiap ia berupaya menjelaskan hal itu mereka langsung menunjukkan sikap tidak senang. Tidak jarang mereka langsung marah-marah, mengajak Djakfar berkelahi seperti anak kecil yang cepat naik darah karena mainannya direbut. Kalau sudah begitu, Djakfar biasanya memilih diam, membiarkan seribu caci-maki ditujukan kepadanya. Karena sudah terbiasa, ia tidak akan gampang tersinggung, malah tersenyum lebar sambil mengerjakan pekerjaannya yang tak habis-habisnya. Mengetik di keyboard komputer. Kalau saja menggunakan mesin tik, pastilah tuts huruf akan ditekannya keras-keras.
Karena komputer, ia takut rusak. Kalau rusak, biasanya dibebankan kepada pengguna komputer. Dipotong gaji. Karenanya, dia tetap pelan-pelan menekan huruf dan angka di keyboard komputernya. Pelariannya, cuma sekadar main game sambil maling-maling waktu. Karena main game pun kalau ketahun akan dipersoalkan saat rapat bulanan. Apalagi, kalau saat tiba deadline ternyata masih ada berita yang masih diketik. Kambing hitamnya pastilah karena ada yang sering main game saat jam kerja.
Djakfar tidak pernah berubah. Ia tegar dan kuat mempertahankan prinsip-prinsipnya. Ia tidak memosisikan diri untuk selalu mendukung kerja pemerintah dan menginformasikannya kepada masyarakat. Ia lebih mendengarkan dan memedulikan kepentingan rakyat banyak karena itu memang tuntutan profesinya. Ia lebih banyak melakukan kontrol sosial terhadap segala bentuk penyimpangan.
Kebutuhan anak dan istri terpenuhi, itu lebih dari cukup. Djakfar sadar ia cuma seorang wartawan yang terkadang bisa memperjuangkan orang lain tetapi tidak bias memperjuangkan diri sendiri. Terbukti, banyak rekan-rekannya yang begitu gagah memberitakan kekerasan ataupun penindasan bawahan oleh atasanya, tak mampu membela diri ketika di kantor mendapat perlakuan yang sama dari atasan.
Gaji kecil dan kebutuhan keluarga banyak. Istrinya, karena ia istri seorang wartawan, selalu ingin kelihatan seperti istri seorang pemilik koran.
Ia sudah memakluminya. Istrinya selalu membandingkan isi rumah mereka dengan isi rumah rekan-rekan yang biasanya dikunjungi saat arisan bulanan. Memang, kalau soal jam terbang, Djakfar tidak berbeda dengan rekan-rekannya. Tapi, soal kemewahan, jelas sangat menonjol perbedaannya. Rata-rata kawan-kawan seprofesinya, yang memulai profesinya sama, sudah punya berbagai macam harta benda mewah.
Djakfar tidak bisa seperti itu. Karena dia memang tak sanggup untuk itu. Ketidak-sanggupan inilah yang selalu menjadi alasan istrinya untuk memulai pertengkaran. Tentu saja Djakfar tidak suka istrinya bersikap begitu. Itu sebabnya ia tidak pernah meladeni dan membiarkan saja istrinya mengomel. Terkadang ia pikir, kalau sehari saja tidak mengomel, istrinya merasa belum lengkap sebagai istri. Makanya, ia biarkan saja sampai seluruh kata yang ada di kamus dia keluarkan, sampai ia muntah sekalian.
Djakfar tidak peduli. Ia kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Kalau tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, ia akan mengajak anaknya bercanda meskipun hal ini sering membuat istrinya bertambah marah. Ia akan menarik anak mereka dari tangannya, lalu kembali mengomel yang intinya menyuruh Djakfar keluar rumah melakukan apa saja yang bisa dilakukan agar ada uang tambahan.
Djakfar tidak bodoh, meskipun ia keluar juga akhirnya tapi dia tidak melakukan seperti yang diharapkan istrinya. Dia keluar ya mencari informasi. Lalu ke kantor menulis berita. Dan selama ini memang waktunya sangat padat.
Ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sambilan, takut justru nanti dia kebobolan berita. Media lain dapat berita dia justru tidak dapat. Bisa jadi, selain akan disemporot saat rapat redaksi dia juga bisa-bisa kena sanksi yang beragam. Dan itu sudah dilihatnya dierima rekan-rekannya sekantor.
Sebagai wartawan lapangan, Djakfar sudah ditugaskan di berbagai desk. Pernah di polisi, di rumah sakti, perbankan, pendidikan, kriminal, atau khusus membuat tulisan ringan.
Telah berkeringat darah rasanya dilakukan Djakfar. Dia pun telah beristri dua. Istri pertama, yang selalu ngomel dengan berbagai tuntutan, dan istri kedua adalah profesinya yang menuntut harus siap 24 jam dengan mata dan telinga terbuka maupun kaki dan tangan yang dalam kondisi siap. Dia telah berusaha untuk bersikap adil kepada kedua istrinya itu.
Namun darahnya itu rasanya tak cukup bagi kantornya. Apalagi, semakin hari ternyata, Djakfar seolah lesu darah. Liputan dan laporannya tidak bernas dan menarik lagi. Dari kuantitas, tak memenuhi target. Sampai akhirnya berdasarkan evaluasi terakhir, dia dinyatakan tak layak.
Percuma juga protes. Dengan status karyawan kontrak, akhirnya setelah kontrak terakhir lewat masanya, tak ada kekuatan untuk menahan GM di korannya untuk memutus kontrak.
Djakfar pun sesungguhnya masih bernasib lebih baik. Masih banyak rekannya yang lain ternyata justru bekerja tanpa sehelai kontrak pun. ”Masih mending saya, ternyata ada tiga kontrak kerja yang sempat saya pegang,” ujar Djakfar dalam hati menghibur dirinya dalam perjalanan ke rumah membawa berita pemecatannya.
Kini, tak ada lagi kata konfirmasi, cek dan ricek dalam kesehariannya. Justru yang melakukan konfirmasi adalah pihak kepolisian dan rumah sakit yang menanyakan ke kantor apakah benar sesosok mayat yang ditemukan menjadi korban tabrak lari masih wartawan dari media tersebut. Lalu kantor pun menginformasikan berita itu ke istri Djakfar, sebelum akhirnya berita naas itu pun dibaca banyak orang melalui surat kabar.

Palembang, 10 Mei 2008

(Dimuat di Agung Post, Juni 2008)

cerpen Topeng Bergincu

Tubuhnya memang lumayan ramping. Putih dengan sedikit bakat*. Itu pun hanya di tulang kering, kenangan masa kecil yang nakal, dan sedikit tomboy. Saat mandi hujan bersama anak seumuran, terjatuh. Terus berlari dan tak terasa kalau ada pecahan beling menyentuh tulang keringnya. Ketika hujan berhenti, barulah diketahui banyak darah mengucur dari lukanya. Akibat nakal, luka itu terus menganga dan bernanah akhirnya menjadi koreng.
Bekas nanah mengering sering terlihat mengerubungi borok itu yang terkadang ditutupi dengan kertas yang diikat dengan karet. Bocah itu tak peduli dengan sakit ngenyut-ngenyut di kakinya. Saat hujan turun, dia tetap basah-basahan. Waktu pelajaran olahraga, dia ikut main bola dan menjebol gawang lawan. Luka itu pun kembali berdarah.
Orang tuanya yang Ketua RT tidak tahu kalau anaknya, Lia atau nama lengkapnya Sri Meliawati terluka saat mandi hujan. Sepengetahuannya, anak nomor duanya itu tidur siang ketika petir dan kilat begitu ramai sebelum hujan turun.
Begitupun ibunya, yang berjualan ikan di pasar pagi Pasar 16 yang kini menganggur karena lokasi berjualannya telah digusur, sementara untuk pindah di Jakabaring, rasanya tak mampu karena sepi pembeli. Yang banyak justru pedagang yang termangu menunggu pembeli. Jangankan menawar, batang hidungnya pun sangat jarang terlihat. Ibunya tak tahu kalau anaknya yang berhidung mancung dengan alis lebat itu punya luka di tulang keringnya.
Apalagi, memang meski masih kelas I sekolah dasar, Lia tergolong mandiri. Mulai dari mandi sampai mencuci dia lakukan. Bahkan, pakaian kakaknya yang sulung dan adiknya yang belum sekolah pun terkadang dia yang mencuci. Karenanya, wajar kalau kedua orang tuanya tak begitu memperhatikan jalannya yang sedikit pincang. Karena selama ini ditegarkan ketika melewati ayahnya yang sedang menerima tamu yang mengurusi soal jual beli beras untuk rakyat miskin, saat mau pergi sekolah.

Luka itu memang lumayan besar. Terkadang nanah meleleh dari luka itu. Lalat tampak mengerubungi nanah yang menembus kaos kaki putih yang membungkus luka itu. Kalau saja, tidak ditutup kaos kaki yang mengakibatkan lengket dan saat melepas kaos kaki kembali koreng itu menganga, mungkin tidak akan membusuk. Begitupun kalau diberi obat salep atau antibiotik, mungkin hanya seminggu sudah sembuh.
Tetapi, Lia bisa menyimpan luka itu hampir tiga bulan. Dan orang tuanya tak tahu. Kalaupun akhirnya sembuh, itu lebih karena tubuhnya yang kecil masih memiliki antibody dan sekolahnya libur. Hingga ahirnya luka itu mengering karena dia tak perlu lagi mengenakan kaos kaki. Alih-alih, dia mengenakan celana panjang terus biar tidak dilihat orang tuanya. Melhat dia sering mengenakan celana panjang, ibunya tampak senang karena berpikir anaknya sudah besar. Sayang dia tidak berjualan lagi sehingga tidak bias membelikan celana panjang baru.
Prestasi belajar Lia sesungguhnya biasa saja. Yang menarik mungkin hanya kepandaiannya membuat topeng. Saat pelajaran keterampilan, dia dinilai sangat bagus oleh gurunya. Karena karya topeng kertasnya lumayan bagus. Dan topeng itu pun dikenakannya.
Dia tampak lebih dewasa menganakan topeng itu. Apalagi, dengan gincu** milik ibunya, gambaran bibir di kertas itu tampak sangat menyala. Merahnya memang sangat merah. Lia tidak tahu kalau gincu itu dikenakan ibunya setahun sekali. Dan olehnya, ketika membuat topeng, gincu yang dibalut plastik warna biru itupun tinggal separo.
Ibunya yang baru pulang berjualan sempat terkejut ketika masuk rumah melihat orang yang mengenakan topeng. Dia mengira anak kecil yang duduk di ruang tamu itu anak tetangganya yang kemarinnya mencuri uang di dompetnya.
Hampir saja dia beraksi. Kalau saja Lia tidak membuka topeng, mungkin cubitan sudah mampir di pinggangnya.
Begitu juga dengan ayahnya, yang sedang sibuk menghitung angka fiktif penyaluran beras untuk rakyat miskin, sempat mengelus dada ketika menoleh ada orang mengenakan topeng.

Dikiranya anak tetangga yang dua hari sebelumnya menangis minta bagian beras yang memang hak mereka. Namun, dijawabnya bahwa beras sudah habis disalurkan. Padahal, sebagian besar dijualnya ke warung langganan.
Tangan kirinya yang memegang rokok kretek yang hampir habis, sempat tersentak dan jatuhlah potongan rokok yang sebenarnya masih sangat nikmat untuk diisap. Tangan kanannya menutupi angka-angka jumlah beras. Kesalnya seperti sudah di ubun-ubun, ingin mengambil puntungan rokok yang masih dua hisapan lagi jelas tak bisa karena kedua tangannya difungsikan untuk pekerjaan lain.
Memastikan itu anaknya, dia pun hanya menggelengkan kepala sembari mengambil puntungan rokok yang masih menyala dan jatuh di sendal jepitnya. Sayang, puntungan rokok itu membakar sendal dan apinya telah padam. Tak bisa dirokok lagi karena lelehan karet melekat kuat di atas bekas bara api di ujung rokok yang ukurannya sudah sangat pendek.
Dia pun menarik topeng yang dikenakan Lia. Karetnya putus. Topengnya robek. “Anak nakal mengagetkan orang tua saja. Nih belikan bapak rokok,” ujarnya sedikit geram.
Lia langsung memerah matanya. Entah karena disuruh membei rokok atau topengnya yang dirusak. Yang jelas, dia mengambil uang lalu berlari. Dan taklama kemudian kembali dengan setengah bungkus rokok di tangannya.
Di tangannya masih tersisa robekan topeng. Tampak tanda tangan gurunya dan coretan nilai 9 di topeng itu juga ikut terkoyak. “Yah,” gumamnya lemah.
Sampai menamatkan SMA, Lia memang tergolong anak yang penurut. Tak diberi ongkos untuk sekolah, dia berjalan kaki ke sekolahnya yang lumayan jauh. Untung memang teman-temannya banyak juga yang berjalan kaki.
Tubuhnya berkembang bagus. Meski sering berjalan kaki ke sekolah, betisnya tidak besar. Ramping dan tetap mulus. Soalnya, di bawah rok seragamnya, dia rajin menutupinya dengan kaos kaki.
Di kelas tiga, dia mulai mengenal perasaan menyenangi lawan jenis. Beruntung, sang cowok, Gandi ternyata juga memang sering meliriknya. Jadilah mereka pun sering belajar bersama. Kalau ada pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Kalau tidak di rumahnya, ya di kosannya Gandi.
Saling senyum, saling lirik dan saling bantu memecahkan sulitnya pekerjaan rumah ataupun tugas dari guru, membuat keduanya tanpa disadari mengenal ciuman. Lalu raba-rabaan. Sampai akhirnya, tak sengaja keduanya pun melakukan hal yang sebenarnya tak boleh dilakukan.
Itu semua berlangsung tanpa rencana. Lia pun tak menyesal. Karena dia merasa Gandi selalu meperhatikannya. Hingga pengumuman kelulusan, keduanya masih terlihat berduaan. Sampai akhirnya, Gandi yang merantau dipanggil orang tuanya untuk kembali ke kotanya di Tanjungkarang, Lampung.
Hubungan melalui surat masih berlangsung hingga bulan ketiga keduanya berpisah,. Sampai akhirnya, mulai jarang dan tak ada sama sekali komunikasi.
ia sendiri tak lagi mempersoalkan Gandi. Apalagi kini dia telah sibuk dengan pekerjaan barunya, di counter hand pone. Gajinya lumayan kecil. Untuk kebutuhannya sebenarnya tidak cukup. Tapi tepas saja dilakoninya.
Di kesibukannya dia berkenalan dengan seorang pegawai negeri yang cukup royal. Yang selalu memberi uang lebih saat membeli pulsa. Kembali Lia tersentuh dan dia pun tak menampik bantuan dan harapan sang PNS, Imam.
Ternyata gaung bersambut. Seiring memngalirnya bantuan berupa uang maupun hadiah lainnya, rayuan Imam pun semakin maut. Bisa ditebak, keduanya pun berpagutan.
Lia tak serius lagi bekerja, waktunya lebih banyak untukImam. Dia pun akhirnya memilih berhenti bekerja. Setiap hari dia masih pergi kerja. Tetapi kakinya kini engarah ke rumah yang disewa Imam.
Kedunya ibarat pengantin baru. Lingkungan di rumah susun tempat keduanya menyewa, termasuk tak pedulian.
Sampai akhirnya terjadi ribut besar di rumah sewa mereka. Ketika seorang wanita datang diam-diam dan bersuara lantang beberapa menit kemudian. Yang mengejutkan para tetangga dan Ketua RT setempat. Baik Lia maupun Imam tak bisa lagi berkata-kata.
Pak RT pun mendamaikan. Mereka tak menyangka kalau keduanya belum menikah. “Saya kira mereka sudah menikah. Abis kayak pengantin baru,” ujar Pak RT lemah.
Lia pucat. Apalagi kemudian orang tuanya diminta didatangkan untuk menyelesaikan persoalan itu di kantor polisi. Ternyata tak cukup hanya di tangan Pak RT.
Sebagai istri Imam, ternyata wanita itu tak menerima perbuatan sang suaminya. Dia bahkan telah melapor polisi.
Di hadapan orang tuanya, Lia hanya terdiam di sudut ruangan. Dia tak berani menatap mata ibunya. Apalagi memeluknya untuk mencurahkan perasaan. Terlebih kepada ayahnya yang ternyata saling kenal dengan Ketua RT. Karena mereka sering ketemu saat demo menuntut tunjangan ketua RT di kantor Walikota.
Ayah dan ibunya diam dalam geram. Tak bisa menerima kenyataan yang ada. “Habis saya, kalau begini. Aku tak bisa menerima,” hanya itu yang terdengar dari mulut ayah Lia.
Dia sempat bersitegang dengan istrinya ketika pulang tanpa Lia. Tetapi, sang istri hanya menurut.
“Ayo pakai gincu dan bedakmu. Masak polos begitu. Ada job tu,” ujar seorang wanita yang menjabat GM*** di kosan mentereng tak jauh dari kampus perguruan swasta di Palembang.
Lia pun terkejut. Lamunannya lepas. Kini dia telah siap mengenakan topengnya, ditambah gincu. Apapun yang dialaminya dia harus tersenyum. Suka atau tak suka. Nanti lembaran uang pun akan mengalir ke kantongnya setelah dipotong oleh GM untuk ongkos taksi dan biaya tetek-bengek lainnya.
Topeng itu telah menyatu dengan dirinya. Saat dia berbelanja di mal menghambur-hamburkan uang, orang pun tak menyangka dia mengenakan topeng.
Kecuali lelaki yang pernah tidur dengannya. Jelas sekali, kepolosan di tubuhnya sekalipun. Apalagi, ketika memorinya terbayang ke kamar hotel tempat mereka pernah bergumul.
Hanya ketika di kamar sendirian, Lia terkadang menangis. Dia masih berpikir untuk sujud ke kaki orang tuanya. Lalu sujud di sejadah meminta ampun di hadapan Allah SWT. Namun entah kapan. Meskipun dia masih pandai mengaji dan fasih bacaan salat. Serta hapal jalan ke rumahnya.

Palembang, November 2007

*Bekas luka yang membekas di kulit.
**Lipstik
***Istilah di kalangan wanita panggilan untuk menyebut germo.
(Dimuat di Tabloid Desa Edisi 92/16-31 Juli 2008)