Soal berhitung, Rudi memang jago. Sebelum sekolah pun, dia sangat fasih menghitung jumlah ekarnya*. Dia juga tahu betul bagaimana supaya ekarnya tak berkurang. Sehingga di kalangan teman-temannya dia dipanggil si kancil.
Tubuhnya memang kecil dibanding umurnya. Tapi ternyata seperti kata tetangganya, orang yang kecil itu memang biasanya seperti Rudi. ”Contohnya saja, orang Jepang. Soalnya antara otak dan pantatnya dekat. Atau Pak Habibie, orangnya kecil ternyata bisa menjadi orang besar,” kata tetangga Rudi saat berbincang di pos ronda ketika si kancil lewat membawa sekantong ekar hasil permainannya.
Selain bisa menambah, Rudi memang pandai mengurang, mengali sekaligus membagi. Tidak seperti orang kebanyakan, yang biasanya sulit ketika diminta untuk membagi. Itulah pula yang membuat Rudi selalu diajak bermain ekar, meskipun teman-temannya selalu kalah dan kehabisan modal. Rudi tak segan-segan memberi pinjaman bahkan terkadang memberi modal kepada temannya yang kalah.
Atau terkadang teman yang ingin main tapi tak punya ekar pun diberinya modal.”Nanti juga kan baliknya ke saya juga. Saya ada hitung-hitungan. Tak bisa mengembalikan dengan ekar juga, pake uang juga bisa. Atau dengan bayaran lain, bersedia disuruh-suruh juga tak apa,” pikir Rudi bergumam ketika sedang berada di kamar kecil rumahnya yang ukurannya cukup luas.
Ayahnya yang berada memang tak kekurangan untuk memberikan apapun bagi anaknya. Termasuk makanan bergizi dan enak.Mungkin karena faktor tertentu saja, Rudi pun tumbuh lamban secara fisik.Meskipun ternyata pertumbuhan akalnya justru berbanding terbalik.
Ketika sudah sekolah, warga di kampung itu bersyukur karena ternyata Rudi cukup pintar. Masih kelas I, dia sudah bisa membaca. Diminta gurunya menghitung, lebih dari seribu dia sudah bisa.Apalagi, kalau menghitung uang kembalian di warung, dia sering diminta bantuan kala kalkulator Wak Lam, warung laris di kampungnya ngadat. Juga, kalau ada Wak Lintai, penjual pempek keliling yang agak sulit menghitung kembalian kalau uang yang disodorkan di atas 20 ribuan.Pun, waktu Ketua RT menghitung uang hasil pumpunan warga untuk merayakan peringatan kemerdekaan. Kecuali menghitung uang penjualan beras untuk rakyat miskin, Pak RT paling takut kalau ada Rudi. Soalnya, takut ketahuan kalau ada tilep-tilep dikitnya ketahuan.
Hingga beberapa tahun kemudian Rudi yang cukup aktif berorganisasi akhirnya nyantol di sebuah partai baru. Meski jumlah partai lebih dari 40, tak susah baginya menghitung-hitung kemungkinan perolehan angka. Ketua partai di daerahnya pun meletakkan nama Rudi bukan di nomor sepatu. Dia ditarok dinomor jadi. Biar mudah menghitung perolehan suara nanti.
Hanya saja, kasak-kasak kusuk yang beredar di internal partai baru itu, ada faktor lain yang membuat nama Rudi di atas. “Biasalah,” ujar Darmawan, seorang tokoh yang tak sedikit jasanya dalam perkembangan partai tersebut yang kemudian justru berada di bawah nama Rudi. Dia tak berani terlalu sinis, namun dalam berbagai kesempatan dia selalu menaburkan kata-kata beracunnya. Sekedar memuaskan hati.
Soal kampanye, Rudi memang jago. Apalagi timnya juga tak sedikit. Laporan dari tim suksesnya, 80 persen suara bisa diperoleh, dan diyakini dia bisa menempati salah satu ruangan di gedung perwakilan nanti. Semakin bagus laporan, semuanya semakin lancar. Apalagi, itu semakin mempermudah Rudi memperhitungkan prediksi perolehan suara.
”Kita lihat saja nanti, politik tak bisa disamakan dengan matematika. Jangan khawatir, belum tentu dia jadi,” ujar calon separtai Rudi yang merupakan rekan sekaligus rival.Apalagi, ternyata dia sudah terlalu sering dikadali Rudi sejak kecil dalam berbagai permainan. Meski, kemudian dengan licinnya, Boim yang juga teman sekelas Rudi ini, tak selalu kalah di akhir permainan. ”Kita boleh kalah berhitung, tapi jangan kalah bertanding,” begitu motto Boim, yang selalu disampaikan usai permainan ekar.Sayangnya, Rudi tak pernah mendengar gumaman ini.
Diprediksi, politikus muda ini bisa menghimpun suara. Apalagi, hitungan dana yang mengalir uangnya tak berseri lagi. Tim sukses pun memberikan jaminan dengan mengangkat jempol. Sehingga makin ramai saja rumah besar itu dihampiri orang-orang. Dari yang sekedar mampir, ikut berjuang, sampai mereka yang memancing di kolam berikan. Ambil ikannya, tanpa perlu punya kolam.
Bagi Rudi, bayangan gedung dewan sudah di pelupuk mata. Dia sudah menghitung banyaknya tiang gedung itu. Lalu jumlah gentengnya, dan berapa banyak rakyat yang nantinya bisa diperjuangkan. Jumlah bendera, leaflet, iklan, spanduk, reklame yang memancangkan foto berwarnanya tak terhitung lagi. Tapi, dia sungguh hapal. Prinsipnya memang cucok dengan partainya. Calon dari partainya memang tak banyak-banyak, cuma 4 orang. Sehingga, terbayanglah, dia yakin terunggul dalam perolehan suara di partainya.
”Tapi dia lupa, saingannya bukan calon separtai. Tetapi calon dari partai lain. Kalau perolehan suara partainya saja kurang, tak bakal ada yang jadi calonnya. Karena yang dihitung terlebih dahulu adalah perolehan partai,” kata anggota KPU yang menguasai teknis penghitungan dan meragukan Rudi bakal gagal merealisasikan keinginannnya.Sebulan setelah pesta rakyat.
Kala suara perolehan sudah dihitung, Rudi semakin jago menghitung. Tanpa kalkulator di tangan, dia mengitari rumahnya. Seolah memegang mesin hitung, dia menambah, mengurang, mengali, dan terkadang membagi. Lalu menjumlah. Hasilnya, dia tertawa.Itu dilakukannya setiap pagi dan siang. Bahkan terkadang sampai malam. Yang dihitungnya, mulai dari kasbon-kasbon laporan tim sukses hingga jumlah keramik di lantai rumahnya. Juga, jumlah genteng atap rumahnya. Termasuk, jumlah jas dan saparinya yang sudah disiapkan untuk dipakai saat menghadiri rapat di fraksi ataupun di komisi seandainya dia bisa jadi.
Tuntas semua benda di rumah dan sekitar rumahnya dihitung, dia pun meluas ke tetangganya. Pun, rumah Pak RT. Bahkan, mesjid pun tak lupa dihampirinya. Jumlah celengan, berapa isinya, berapa total sumbangan yang diterima, dan untuk apa dana itu digunakan. Pembukuan di papan pengumuman mesjid juga dilalapnya.Pak RT bahkan sedikit grogi ketika Rudi menghitung jumlah raskin yang diterima dan warga yang berhak menerimanya. Namun, bisa sedikit tersenyum ketika mengetahui pandangan mata Rudi, kosong. Hampa dan tak memberikan respon ketika bertatapan dengan orang-orang yang dikenalinya.
Ketika televisi menyiarkan hasil perolehan suara para calon legislatif, Rudi justru menghitung uban seorang nenek yang mampir ke rumahnya dan menyorongkan karung minta diisi beras.Tinggal kini, ayahnya yang sibuk mengupayakan agar anaknya berhenti menghitung.
Disarankan, agar Rudi dimintai tolong untuk menghitung perawat dan dokter di rumah sakit. Kalau saja, hitungannya tak meleset.
Masih pagi tadi, seorang bocah dikejar orang tuanya. Karena berani menyebutnya gila. Saat melihat Rudi sibuk menghitung dengan suara yang keras dan seperti mencari sesuatu, dia bertanya kepada ayahnya. ”Lagi ngapain sih Om Rudi itu,” tanya Romlah yang selama ini kenal baik dengan Rudi karena sering dibagi duit dan kaos partai. Ayahnya menjawab, ”Menghitung dan mencari suaranya yang hilang.”Mendengar itu, Romlan yang tak mengerti spontan menyebut ayahnya gila.
”Ye, ayah gila ya, kan Om Rudi itu suaranya gak ilang. Tuh, dia masih bisa berhitung. Gila nih ayah,” katanya polos.Mendengar itu, ayahnya memerah dan sigap melepas sendal. Melihat itu, Romlan sadar dia melakukan kesalahan. Biasa, kalau dia ketahuan mengambil uang receh, ayahnya akan melepas sendal jepitnya dan memukulkan ke pantatnya.Supaya aman, jurusnya cuma satu. Berlari. Romlan bingung, kenapa ayahnya marahnya sama seperti ketika mengetahui ia mencuri simpanannya. Padahal, dia tak salah.
Palembang, Oktober 2009
Muhamad Nasir
Jalan Lomba Jaya Gang Jaya, Sekip Palembang.
Selasa, 20 Oktober 2009
Cinta Tak Berbumbu
Cinta Tak Berbumbu
Ruang kuliah yang dipadati puluhan mahasiswa itu terlihat tenang. Hanya sekitar lima orang dari 35 mahasiswa di ruang itu yang bercengkerama dalam bahasa lisan yang sesekali ditimpali komunikasi nonverbal. Selebihnya, sibuk memindahkan catatan rekannya yang memang memiliki tulisan rapi di papan tulis.
Sebuah buku ilmiah sedang dipindahkan ke papan tulis. Lalu mahasiswa dengan semangat memindahkannya ke buku mereka masing-masing. Sementara sang dosen terlihat sibuk mengutak-atik Iphone-nya. Bersilancar di dunia maya. Tampaknya mencari kutipan dari Google search engine.
Sesekali dia membalas sms melalui HP lainnya. Selintas, penampilan sang dosen memang cukup trendy. Dengan tas kulit keluaran terbaru, dia memadankannya dengan stelan yang dibelinya dari butik. Memang dalam sebulan, setidaknya dia dua kali mengunjungi butik membelanjakan uang honornya dari beberapa universitas ternama di Palembang.
Ditambah pula, terkadang uang dari hasil menjual buku terbitan teman-temannya waktu kuliah dulu.
Tak pernah ada protes dari para mahasiswanya. Mereka justru sepertinya menyenangi. Karena terkadang, kalaupun ada dosen yang mengajar dengan banyak lisan, sering obrolannya pun memang membosankan. Karena hanya menceritakannya pengalaman pribadinya. Cerita yang itu-itu saja.
Sebagai dosen bergelar doktor, di kalangan koleganya ibu yang tak berjilbab itu dikenal masih cukup muda. Karenanya, dia dipanggil ibu dosen muda. Meskipun, di bidang pengalamanan berkeluarga, dia ternyata masih sangat minim.
Karena di banding teman-temanya yang umumnya sudah punya pacar, dia memang tidak ada seujung jarinya. Apalagi dibanding dengan mereka yang sudah bersuami, atau sudah punya momongan. Dia memang bahkan belum punya pacar. Dulu memang pernah punya pacar. Tetapi karena dia sibuk melanjutkan pendidikan, sang pacar pun berpaling ke wanita lain.
Mereka sempat beradu argumen. Dengan sistematis dan logis dia menceramahi sang pacarnya yang selisih usianya cukup jauh, sekitar lima tahun dibawahnya. Ketika itu mereka sembari menikmati pempek lenggang* di depan Mesjid Agung.
Di tempat ramai, lelaki itu hanya manggut-manggut. Hanya sesekali dia menyeka bibirnya yang dirasa menebal didera cuka yang dihirupnya menemani lenggang. Penawarnya, diapun menceruput es jeruk yang dipesannya. Tak ada lagi, segelas berdua. Apalagi, mereka berdua memesan es berbeda. Yang satu es jeruk, satunya lagi es belimbing. Telinganya pun seperti ikut menebal.
Merasa bersalah, lelaki itu tak berani membantah. Jangankan mengeluarkan kata-kata, mengangkat kepalanya pun tak mampu. Selain itu, memang wanita idaman lainnya, ternyata jauh lebih segar, lincah dan sama-sama masih berjiwa muda.
Karenanya, kala gembira dan bersenang seperti di bioskop Ordeon di 7 Ulu atau Rosida
di Jalan Temon lelaki ini selalu bersama pacarnya yang jauh lebih muda tadi. Begitupun ketika beramai-ramai bersama teman-temannya menghabiskan waktu di pasir putih yang tak berpantai di Km 14.
”Kalau saja kamu tidak seperti ini, aku mungkin rela meninggalkannya. Emang aku ini adikmu, diceramahi seperti ini,” dalam hati saja lelaki yang sesungguhnya memang masih ingin bersenang-senang itu menggerutu. Tanpa kata, dia menghilang. Tak ada komunikasi lagi. Perang besar hanya terjadi sekali dan semuanya hancur. Tak seperti perang konvensional yang biasanya masih diwarnai gerilya.
Sejak itu, dia menjadi dingin terhadap laki-laki. Kecuali kepada ayahnya yang kini sudah sendirian ditinggal ibunya. Kesibukannya bertambah, kalau di rumah dia dengan telaten mengurusi ayahnya. Apalagi, di antara lima bersaudarana, hanya dia yang kini menempati rumah keluarga di kawasan elite.
Dia memang punya prinsip tak mau menitipkan ayahnya ke panti jompo. Baginya, pensiunan PNS itu memang telah memberikan modal bagi masa depannya. Karenanya, di usianya yang telah renta itu dia tak mau menyia-nyiakanya. Bahkan dia merasa harus membalas kebaikannya. Sementara untuk ibunya yang almarhumah, dia selalu mengiriminya doa usai salat lima waktunya.
Ibu Rum, demikian dia dipanggil, memang sangat perhatian kepada orang tuanya. Lelaki itu baginya ibarat matahari. Dari pagi hingga senja telah memberikan cahayanya. Dan menjelang malam, dia harus menjaganya.
Cukup sulit baginya memang untuk bersibuk ria kini. Apalagi, selama dua tahun terakhir, dia pun telah berutang kembali ketika dia menyelesaikan studinya di kota lain. Beruntung ada keponakannya yang juga dapat dipercaya menjaga ayahnya tiu. Tetapi, di sela-sela studinya, dalam sebulan setidaknya dua kali dia pun menyempatkan untuk mengontrol orang tuanya itu.
Sehingga, memang sangat minim waktu 24 jam dalam sehari semalam untuk kepentingan masa mudanya. Karenanya wajar dia pun tak sempat mencicipi hubungan khusus dengan lelaki dengan serius.
Kalaupun ada, para lelaki itupun sepertinya satu per satu mengundurkan diri melihat kesibukannya. Selama ini, memang ada juga yang mengenal pribadinya lalu berusaha lebih mengenal.
Di usia berkepala empat, kini dia termasuk langka. Doktor di usianya yang belum mendapat jodoh, tentunya bisa dihitung dengan jari.
Apapun yang terjadi, paling tidak dia sudah mengabdikan dirinya bagi profesi dan dunia keilmuan. Juga, bagi orangtuanya. Bagi dirinya sendiri, memang sepertinya belum ada kesempatan untuk itu.
Meski demikian, soal menjaga penampilan, para mahasiswa sering mendapatinya merawat diri di salon-salon kecantikan. Juga berbelanja di butik-butik ternama. Jarum jam selalu berputar ke kanan. Waktu terus bertambah, usia terus berkurang. Ilmu terus berkembang. Sampai kapan harus hidup sendirian, suatu ketika jarus jam akan terhenti ketika jantung berdegup kencang saat mata bertatapan. Namun entah kapan.
Palembang, April 2009
Muhamad Nasir
Jalan Lomba Jaya Gang Jaya, Sekip Palembang.
081368184211
* makanan khas Palembang yang terbuat dari tepung terigu dan ikan yang dipanggang dengan telur bebek dibungkus daun pisang.
Ruang kuliah yang dipadati puluhan mahasiswa itu terlihat tenang. Hanya sekitar lima orang dari 35 mahasiswa di ruang itu yang bercengkerama dalam bahasa lisan yang sesekali ditimpali komunikasi nonverbal. Selebihnya, sibuk memindahkan catatan rekannya yang memang memiliki tulisan rapi di papan tulis.
Sebuah buku ilmiah sedang dipindahkan ke papan tulis. Lalu mahasiswa dengan semangat memindahkannya ke buku mereka masing-masing. Sementara sang dosen terlihat sibuk mengutak-atik Iphone-nya. Bersilancar di dunia maya. Tampaknya mencari kutipan dari Google search engine.
Sesekali dia membalas sms melalui HP lainnya. Selintas, penampilan sang dosen memang cukup trendy. Dengan tas kulit keluaran terbaru, dia memadankannya dengan stelan yang dibelinya dari butik. Memang dalam sebulan, setidaknya dia dua kali mengunjungi butik membelanjakan uang honornya dari beberapa universitas ternama di Palembang.
Ditambah pula, terkadang uang dari hasil menjual buku terbitan teman-temannya waktu kuliah dulu.
Tak pernah ada protes dari para mahasiswanya. Mereka justru sepertinya menyenangi. Karena terkadang, kalaupun ada dosen yang mengajar dengan banyak lisan, sering obrolannya pun memang membosankan. Karena hanya menceritakannya pengalaman pribadinya. Cerita yang itu-itu saja.
Sebagai dosen bergelar doktor, di kalangan koleganya ibu yang tak berjilbab itu dikenal masih cukup muda. Karenanya, dia dipanggil ibu dosen muda. Meskipun, di bidang pengalamanan berkeluarga, dia ternyata masih sangat minim.
Karena di banding teman-temanya yang umumnya sudah punya pacar, dia memang tidak ada seujung jarinya. Apalagi dibanding dengan mereka yang sudah bersuami, atau sudah punya momongan. Dia memang bahkan belum punya pacar. Dulu memang pernah punya pacar. Tetapi karena dia sibuk melanjutkan pendidikan, sang pacar pun berpaling ke wanita lain.
Mereka sempat beradu argumen. Dengan sistematis dan logis dia menceramahi sang pacarnya yang selisih usianya cukup jauh, sekitar lima tahun dibawahnya. Ketika itu mereka sembari menikmati pempek lenggang* di depan Mesjid Agung.
Di tempat ramai, lelaki itu hanya manggut-manggut. Hanya sesekali dia menyeka bibirnya yang dirasa menebal didera cuka yang dihirupnya menemani lenggang. Penawarnya, diapun menceruput es jeruk yang dipesannya. Tak ada lagi, segelas berdua. Apalagi, mereka berdua memesan es berbeda. Yang satu es jeruk, satunya lagi es belimbing. Telinganya pun seperti ikut menebal.
Merasa bersalah, lelaki itu tak berani membantah. Jangankan mengeluarkan kata-kata, mengangkat kepalanya pun tak mampu. Selain itu, memang wanita idaman lainnya, ternyata jauh lebih segar, lincah dan sama-sama masih berjiwa muda.
Karenanya, kala gembira dan bersenang seperti di bioskop Ordeon di 7 Ulu atau Rosida
di Jalan Temon lelaki ini selalu bersama pacarnya yang jauh lebih muda tadi. Begitupun ketika beramai-ramai bersama teman-temannya menghabiskan waktu di pasir putih yang tak berpantai di Km 14.
”Kalau saja kamu tidak seperti ini, aku mungkin rela meninggalkannya. Emang aku ini adikmu, diceramahi seperti ini,” dalam hati saja lelaki yang sesungguhnya memang masih ingin bersenang-senang itu menggerutu. Tanpa kata, dia menghilang. Tak ada komunikasi lagi. Perang besar hanya terjadi sekali dan semuanya hancur. Tak seperti perang konvensional yang biasanya masih diwarnai gerilya.
Sejak itu, dia menjadi dingin terhadap laki-laki. Kecuali kepada ayahnya yang kini sudah sendirian ditinggal ibunya. Kesibukannya bertambah, kalau di rumah dia dengan telaten mengurusi ayahnya. Apalagi, di antara lima bersaudarana, hanya dia yang kini menempati rumah keluarga di kawasan elite.
Dia memang punya prinsip tak mau menitipkan ayahnya ke panti jompo. Baginya, pensiunan PNS itu memang telah memberikan modal bagi masa depannya. Karenanya, di usianya yang telah renta itu dia tak mau menyia-nyiakanya. Bahkan dia merasa harus membalas kebaikannya. Sementara untuk ibunya yang almarhumah, dia selalu mengiriminya doa usai salat lima waktunya.
Ibu Rum, demikian dia dipanggil, memang sangat perhatian kepada orang tuanya. Lelaki itu baginya ibarat matahari. Dari pagi hingga senja telah memberikan cahayanya. Dan menjelang malam, dia harus menjaganya.
Cukup sulit baginya memang untuk bersibuk ria kini. Apalagi, selama dua tahun terakhir, dia pun telah berutang kembali ketika dia menyelesaikan studinya di kota lain. Beruntung ada keponakannya yang juga dapat dipercaya menjaga ayahnya tiu. Tetapi, di sela-sela studinya, dalam sebulan setidaknya dua kali dia pun menyempatkan untuk mengontrol orang tuanya itu.
Sehingga, memang sangat minim waktu 24 jam dalam sehari semalam untuk kepentingan masa mudanya. Karenanya wajar dia pun tak sempat mencicipi hubungan khusus dengan lelaki dengan serius.
Kalaupun ada, para lelaki itupun sepertinya satu per satu mengundurkan diri melihat kesibukannya. Selama ini, memang ada juga yang mengenal pribadinya lalu berusaha lebih mengenal.
Di usia berkepala empat, kini dia termasuk langka. Doktor di usianya yang belum mendapat jodoh, tentunya bisa dihitung dengan jari.
Apapun yang terjadi, paling tidak dia sudah mengabdikan dirinya bagi profesi dan dunia keilmuan. Juga, bagi orangtuanya. Bagi dirinya sendiri, memang sepertinya belum ada kesempatan untuk itu.
Meski demikian, soal menjaga penampilan, para mahasiswa sering mendapatinya merawat diri di salon-salon kecantikan. Juga berbelanja di butik-butik ternama. Jarum jam selalu berputar ke kanan. Waktu terus bertambah, usia terus berkurang. Ilmu terus berkembang. Sampai kapan harus hidup sendirian, suatu ketika jarus jam akan terhenti ketika jantung berdegup kencang saat mata bertatapan. Namun entah kapan.
Palembang, April 2009
Muhamad Nasir
Jalan Lomba Jaya Gang Jaya, Sekip Palembang.
081368184211
* makanan khas Palembang yang terbuat dari tepung terigu dan ikan yang dipanggang dengan telur bebek dibungkus daun pisang.
Label:cerita fiksi
cerpen
Langganan:
Postingan (Atom)