oke.jpg)

Cerpen Koran
Muhamad Nasir
Kaos Politik
Editor: Arif Ardiansyah
Halaman: 116 + xxi
ISBN:979-25-0880-5
Penerbit: CV Anugerah Pena Presindo
Terbit: September 2008
Desain Grafis: Habibullah
Percetakan: AKK
Dari Penulis

Cerpen-cerpen dalam buku ini terserak dan tersebar di berbagai media dalam rentang 1991 hingga 2008. Kelemahan yang saya miliki, kurang rajin mendokumentasikan karya yang telah dipublikasikan. Sehingga tak semuanya bisa diseleksi. Dari sekian cerpen yang bisa diselamatkan, terpilih sebelas cerpen yang kemudian dihimpun. Melalui antologi ini, semoga karya-karya tersebut bisa memberikan manfaat tersendiri bagi masyarakat sastra kita.
Kritik dan saran sungguh saya harapkan. Semoga ke depan bisa menjadi pijakan untuk bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Inspirasi dan diskusi dengan beberapa rekan jurnalis maupun pendidik telah membuat tekad saya semakin bulat untuk membukukan karya-karya saya, dan itu ternyata terealisasi dalam ”Cerpen Koran Muhamad Nasir, Kaos Politik”.
Kalau saya boleh berpantun: Makan permen di atas Ampera, Kulitnya jangan dibuang ke Musi, Muatan cerpen hanyalah ceritera, Dijadikan buku moga jadi insiprasi.
Tanpa dukungan dan peran serta dari berbagai pihak, tentunya tidak akan mungkin karya-karya saya bisa dihimpun menjadi sebuah buku. Untuk itu, pada kesempatan ini, saya ucapkan terimakasih kepada:
Arif Ardiansyah, SS, SH yang telah merelakan waktu dan tenaganya menjadi editor. Semoga kerjasamanya bisa terus berlanjut, Bung;
Dr. Rita Inderawati Rudi, M.Pd, Dosen Pascasarjana Unsri dan Asisten Direktur Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, yang telah menyempatkan di sela-sela kesibukannya membaca cerpen saya. Terima kasih komentarnya, Bu;
Drs. B. Trisman, M.Hum, Kepala Balai Bahasa Palembang, yang juga telah membela-bela menyisihkan waktunya di saat kesibukannya mempersiapkan kegiatan bulan bahasa untuk membaca cerpen saya dan memberikan kritikan. Semoga, ini bukan buku fiksi yang terakhir, Pak;
Bang Bangun Paruhuman Lubis, wartawan Suara Pembaruan, senior yang telah membangkitkan semangat saya untuk menerbitkan buku. Akhirnya, semangat itu membuahkan hasil, Bang;
Teman-teman di Program Bahasa Indonesia, Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, yang telah memberikan inspirasi dan dukungan saat saya hampir patah arang. Mudah-mudahan, kita semua semakin bersemangat;
Media massa yang telah memuat dan mempublikasikan cerpen-cerpen saya: Sumatera Ekspres, Sriwijaya Post, Sinar Harapan, Agung Post, Tabloid Desa, dan Media Publik.
Rekan-rekan di AKK, Eddi Boy, Habibullah, dan lainnya yang rela lembur dan begadang hingga malam buta. Insya Allah, Allah SWT akan memberikan imbalan untuk kebaikan umat-Nya.
Serta berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Hormat,
Penulis
Cerpen koran, Wartawan dan Ideologi

Ketika dimintai menjadi editorial buku ini, sulit untuk memulainya dari mana, maklum bukunya cukup berat menyangkut karya sastra walaupun hanya kumpulan cerita pendek. Sebab karya sastra menyangkut aspek kebudayaan dan karya sastra bukanlah aspek kebudayaan yang sederhana. Ia merupakan suatu organisasi atau susunan yang sangat majemuk dari suatu wujud yang berlapis-lapis serta beraneka ragam makna dan sifat sangkut-pautnya. Oleh karena itu, secara definitif pengertian sastra sulit dirumuskan, namun secara intuitif dapat dipahami gejalanya.
Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek. Cerita pendek atau cerpen merupakan suatu karya sastra yang mulai berkembang dalam dunia sastra Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya media cetak yang menempatkan kolomnya untuk cerpen, banyak buku-buku cerpen terbit baik yang ditulis oleh beberapa penulis maupun seorang penulis.
Cerita pendek dicirikan dengan beberapa hal, secara fisik pendek, adanya sifat rekaan (fiction), dan adanya sifat naratif atau penceritaan (Sunarto dalam Sumarlan dkk:2003). Bentuk fisik pendek bukan dengan kualifikasi halaman tertentu, tetapi mengarah pada pemadatan isi. Sifat rekaan mengandaikan adanya suatu peristiwa, apakah benar-benar terjadi atau hanya rekaan yang dijadikan dasar penulisan cerita, sedangkan sifat naratif mengharuskan cerpen tampil secara utuh sebagai sebuah cerita namun singkat yang membedakan dari sebuah berita jurnalistik yang informatif, feature yang argumentatif atau laporan-laporan perjalanan yang bersifat ekspresif.
Bentuk sastra koran mengacu pada semua bentuk karya sastra yang diterbitkan di koran. Istilah sastra koran mengacu pada prosa (novel, cerpen), puisi, atau drama yang dimuat dalam koran.
Perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan surat kabar. Sebagian besar karya para sastrawan kita terlebih dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan baik berupa kumpulan puisi atau kumpulan cerpen biasanya berasal dari puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Novel biasanya berasal dari cerita bersambung. (Jassin; 1994).
Selain karya yang bersifat rekaan pengarang, koran juga menyediakan ruangan untuk karya berupa esai dan kritik sastra .Berita atau tulisan tentang sastra dan aktifitasnya.
Jassin (1994) mengemukakan ruangan sastra dan budaya yang kadang-kadang disediakan khusus di berbagai surat kabar ini, memunculkan karya sastra yang cukup bermutu. Sering karya-karya itu kurang diperhatikan oleh para pengamat sastra. Mereka cenderung meneliti karya-karya yang sudah dibukukan, padahal tidak semua karya yang baik mendapat kesempatan untuk dibukukan.
Surat kabar umum yang mapan dan memiliki tiras yang cukup baik biasanya mempunyai rubrik seni dan budaya . Rubrik ini biasanya terbit setiap hari Minggu, atau akhir pekan dengan jumlah satu sampai dua halaman koran. Beragam artikel ditulis pada rubrik tersebut, seperti cerita pendek, cerita bersambung, puisi, hiburan pop, esai, kritik sastra, dan peristiwa-peristiwa budaya lainnya.
Penerbitan cerpen di koran berpengaruh pada frekuensi penerbitan, wilayah penyebaran cerpen dan frekuensi perbincangan mengenai cerpen dan berpengaruh pada struktur baik aspek bahasa maupun sastranya. Demikian pula halnya dengan pemilihan tema cerpen, kemungkinan besar dipengaruhi oleh prinsip aktualitas pemberitaan koran. Kemungkinan-kemungkinan ini menunjukkan bahwa sastra koran memiliki kemungkinan yang besar memiliki karakteristik yang khas.
Cerpen koran memberi peluang bagi pemahaman fenomena aktual sastra Indonesia secara lebih luas, karena pertimbangan nilai aktualitas berita dalam pemberitaan koran, kemungkinan besar mengakibatkan cerpen yang dipilih untuk diterbitkan juga mengandung unsur-unsur yang aktual. Dengan kata lain salah satu nilai khas dari cerpen koran adalah keaktualannya. Istilah sastra koran mengacu pada karya sastra dalam lingkup tertentu, yaitu dunia koran dan cerpen koran. Sastra koran merupakan bagian kehidupan sastra yang penting dan menarik untuk dijadikan objek studi, karena memuat hal-hal yang aktual, baik gaya pengungkapan, topik pembahasannya, maupun pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya.
Mahayana (2005) menyatakan karya sastra yang dimuat di berbagai surat kabar harus dilihat dalam konteks teori sastra makro. Teori ini beranggapan karya sastra sebagai hasil produksi tidak lepas sistem lain yang melingkarinya. Dalam hal itu, karya sastra diterima pembaca, tidak begitu saja datang dari langit yang dibawa para malaikat. Ia hadir melalui sebuah proses yang rumit yang sering lebih penting daripada karyanya sendiri.
Dalam teori sastra makro, dunia sastra diperlakukan sebagai sebuah sistem yang mencakup karya sastra sebagai hasil produksi, pengarang sebagai individu profesional yang menghasilkan karya sastra, dan penerbit sebagai lembaga yang memungkinkan karya sastra dapat direproduksi dan didistribusi. Selain itu adapula pembaca yang terdiri dari pembaca pasif (penikmat) dan pembaca aktif (pemberi makna) karya bersangkutan.
Sebagai sebuah sistem sastra makro, kedudukan pengarang sama pentingnya dengan pembaca atau penerbit. Tanpa pengarang, mustahil karya sastra ada. Tetapi bermaknakah karya sastra itu jika ia tidak dibaca sama sekali. Jadi, karya sastra, baru mempunyai makna jika ada yang membaca di luar diri pengarangnya sendiri. Dengan perkataan lain, fungsi sosial karya sastra, baru hadir jika ada pembacanya.
Penerbit dalam hal ini surat kabar sebagai lembaga yang mereproduksi dan mendistribusikan karya sastra (cerpen), menampakan fungsi sosialnya jika karya yang direproduksi dan didistribusikannya menjangkau jumlah pembaca yang banyak dan wilayah yang luas. Dengan itu, ia menjadi penyambung lidah pengarang, mengangkat harkat dan popularitasnya, serta secara ekonomi, memberikan penghidupan bagi pengarang (Mahayana, 2005).
Dari sudut pandang sosiolinguistik, media cetak khususnya surat kabar berhubungan erat dengan pemakaian variasi bahasa berdasarkan aspek pemakaiannya. Dalam aspek ini ragam jurnalistik mempunyai ciri tertentu, yaitu bersifat sederhana, komunikatif dan ringkas; bersifat ringkas karena keterbatasan ruang dan keterbatasan waktu (Chaer dan Agustina,2004).
Lantas, bagaimana jika penulis cerita pendek adalah juga seorang jurnalis atau wartawan yang notabene adalah orang yang sehari-hari bergelut dengan informasi yang membuncah. Apakah yang ditulis itu fakta atau fiksi. Dari sekian banyak jurnalis yang saya kenal hanya segelintir yang intens menulis cerita pendek, kalau mau menyebut diantaranya ada Taufik Wijaya (Detik.Com), Apan (Okezone.Com), Anto Narasoma (Sumatera Ekpress), Imron (eks jurnalis Radio). Bagi saya, jurnalis yang bisa menulis cerita pendek dan berani mempublikasikan karyanya ke media massa adalah jurnalis cum
Muhamad Nasir boleh jadi bukan bagian dari yang jurnalis yang ajek menulis cerita pendek, buktinya kumpulan cerita pendek ini dikumpulkan dengan rentang waktu yang cukup panjang dari tahun 1991 sampai sekarang. Lalu, apa penting kumpulan cerpen ini dibukukan, bagi saya teks adalah sesuatu yang mutlak, teks dalam bentuk buku bisa awet sampai kapan pun . Dari sisi akademik buku bisa menjadi satu referensi dan menjadi bahan kajian juga.
Dari rentang waktu yang panjang itu, begitu banyak tema yang ditulis Nasir dari persoalan remaja , perjuangan, pendidikan, sosial dan politik . Uniknya hanya satu cerpen yang membahas dan bercerita tentang profesi yang digeluti penulis yaitu ‘Mimpi Pun Usai’, bercerita tentang seorang tokoh jurnalis idealis miskin dan kere disebuah koran lokal. Dan berakhir tragis, sayang kematian itu bukan karena konflik pemberitaan tetapi ditabrak lari usai diputus kontrak dari koran dimana sang jurnalis Djakfar bekerja.
Selain itu juga tergambar ideologi dari penulis dan keberpihakannya kepada profesinya.
”Saya tidak bisa menikmati hidup dengan memanfaatkan ketakutan orang-orang. Atau mengambil manfaat dari orang yang ingin dipuji-puji dengan tulisan yang manis-manis dan mampu membubung ke langit,” kata Djakfar. (Mimpi Pun Usai)
Kutipan itu menyiratkan sebuah pilihan yang mesti dipilih oleh jurnalis di dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Dalam cerita pendek Mimpi Pun Usai terlihat jelas ideologi yang disampaikan pengarang melalui tokoh-tokohnya dan keberpihakan pengarang dalam profesinya.
Perubahan istrinya yang drastis membuat Djakfar tidak bisa menerimanya dan menjadi sangat terpukul, tetapi tidak membuat wartawan itu kehilangan akal sehat. Di luar rumah, dalam menjalankan pekerjaannya, tetap saja sebagai wartawan yang baik dan jujur. Kejujurannya itu sudah diketahui teman-teman seprofesinya, dan mereka menyebutnya sebagai wartawan yang idealis dan tak kenal kompromi. Alias bodoh. Meskipun ia sering mendengar julukan itu ditujukan kepadanya, tidak membuatnya tersinggung karena ia berpikiran sebaliknya, rekan-rekannyalah yang keliru.
Kekeliruan mereka adalah kekeliruan seorang manusia yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya, sehingga semua yang mereka lakukan dikerjakan tanpa memedulikan hati nurani.
Pada kutipan di atas, terlihat suasana batin dari tokoh Djakfar dalam memaknai profesi dan kehidupannya.
Pandangan-pandangan dan nilai-nilai yang terkandung dalam kumpulan cerpen itu bisa mengambarkan ideologi dari pengarang melalui karakter tokoh, latar, dan alur cerita. Sebab ideologi di sini akan lebih diperlakukan sebagai sistem kepercayaan, nilai-nilai, kategori-kategori yang menjadi acuan dalam memahami, menanggapi, dan menerangkan setiap masalah hidup. Ideologi merupakan pandangan dunia (world view) .
Akhirnya, kumpulan cerita pendek ini hadir untuk menambah sederet buku sastra khususnya genre cerpen di blantika buku sastra yang tidak begitu banyak diterbitkan di kota ini. Selamat membaca.
Arif Ardiansyah
editor
Cerpen Koran, Audiencenya SiApA SaJa

Sastra koran atau sastra cyber, duluan mana ya? Rasanya baru dua tahun terakhir ini berhembus angin segar sastra cyber, dapur sastra di dunia maya bercokol, media penyaluran bakat cerpenis yang karyanya ditolak redaktur media masa. Di hadapan saya tertata apik cerpen korannya Muhamad Nasir. Sama nggak ya esensinya dengan sastra Koran.
Ada rasa kuatir plus bangga menyeruak ketika penulis cerpen koran ini hadir di hadapan saya dan menyodorkan satu draft cerpen korannya yang tercecer di berbagai media masa antara tahun 1991 hingga kini. Kuatirnya, emangnya bisa ngomentari cerpen sang jurnalis? Saya bukan pekerja seni, sastrawan, jauh … tapi saya akademisi pencinta seni, nyanyi dan jadi polisi saat satu komunitas menjalankan aksinya, memreteli karya sastra. Bangganya, ya iyalah … profesi saya kan mengamati satu komunitas ngotak-ngatik dan memreteli karya sastra SESUKA HATI mereka (biasanya sih cerpen Inggris). Kadang komunitas sastra itu “bergaul intim” dengan cerpen yang sama, kadang juga mereka “bermesraan” dengan cerpen yang dikondisikan berbeda-beda. SESUKA HATI tapi tetap dalam koridor aturan yang baku namun BEBAS, suka-suka bicaranya atau nulisnya, bebas terikat.
Kalau saya boleh berkomentar (tapi cukup kamu saja yang tahu…) cerpen koran yang kamu bendel ini artinya cerpen yang pernah diterbitkan di media masa, yah … tiap akhir satu cerpen kamu tulis “mulung” dari mana cerpen itu. Tapi, saya kan akademisi, yang ngajarin mahasiswa apresiasi karya sastra Inggris dan pernah satu semester berbaur dengan mahasiswa Bahasa Indonesia, kawan senasib dan seperjuangan penulis cerpen koran ini. Sayangnya, saya hanya kebagian satu sesi akhir saja untuk berceloteh tentang apresiasi karya sastra yang meletakkan peran pembaca pada posisi puncak saat menggaulinya. Karena akademisi, saya ingin karya cerpen kamu bisa tuh… dipakai siswa SMA atau mahasiswa.
Setelah puas baca beberapa cerpen, jujur nih … belum “kebaca” semuanya saya mulai paham apa cerpen koran itu. Biasanya, temanya berkisar kehidupan sehari-hari, panjangnya sekitar 5-9 halaman, tokoh ceritanya irit/sedikit, dan ada yang lupa nih… ya diterbitkan di koran. Tapi … koran lokal yang saya beli nggak ada tuh cerpennya? Penasaran, saya telpon mantan mahasiswa saya yang hari-harinya ngelemparin koran ke rumah pelanggan. Katanya, kolom cerpen ada di hari Minggu. Angka nol kecil terbentuk, pantes … nggak pernah beli koran Minggu sih.
Sampe sini, saya melongo lagi. Kok wacana saya kayak gini, nggak terasa sedikitpun harum-harumnya akademis. Capek deh, nulis makalah terus. KAKU. Sekali-sekali “nyeleneh” gini, asyik. Ampun Tuhan, ini gaulnya komunitas sastra, bebas berbicara tapi terikat pada norma aturan dan moral, meninggikan derajat, mendekatkan diri pada sang Pencipta, dan mengeyahkan arogansi keilmuan yang terkadang bertengger kokoh dan sombong.
Tentang sastra koran, saya tidak berani berkomentar banyak. Masa remaja saya isi dengan membaca cerpen dalam majalah Gadis, saat dewasa saya membaca juga cerpen di majalah Kartini dan Femina, dua majalah yang berjaya cukup lama dan memberi peluang dan ruang yang cukup bagi cerpenis untuk berekspresi dan bereksplorasi. Ruang yang cukup besar membantu cerpenis untuk meronta-ronta liar, mengeksplorasi dan mengekspresikan cerpen majalah adalah tempat persemaian cerpen-cerpen sebelum mereka menjalar ke koran dan berakhirlah kedigjayaannya.
Niat cerpenis koran ini membukukan cerpen korannya bukan dengan tidak ada maksud terselubung di balik semua itu. Sang jurnalis, cerpenis juga memang sedang giat-giatnya di forum akademik. Akankah mungkin di masa mendatang iapun menulis karya-karya ilmiah populer di koran dan dibukukan sebagaimana Alwasilah, Guru Besar UPI yang kesohor dengan buku Pokoknya Menulis. Dan karya-karya itu dipakai sebagai bahan ajar di kampus. Ya, hanya di kampusnya, mahasiswanya sendiri. Kampus lain dengan alasan agoransi keilmuan, MUNGKIN tidak memakainya. Cerpen koran Nasir ini, siapa audiencenya? SiApA SaJa!
Cerpen koran Nasir ini dapat dimanfaatkan oleh pelajar dan mahasiswa. Karya sastra tidak cukup untuk dibaca. Ia juga tidak cukup untuk diapresiasi atau dipreteli satu-satu unsur-unsur pembangunnya. Lupakan paradigma lama itu. Awali apresiasi sastra dengan mengaplikasikan respons pembaca sebagai paradigma baru yang tidak hanya menajamkan aspek kognitif tetapi juga aspek afektif dengan cara merinci isi cerpen, menjelaskan perilaku tokoh cerita dan mengekspresikan sikap pembaca terhadap perilaku itu, memahami mengapa tokoh cerita berkelakuan seperti itu, menyertakan perasaan, pikiran, dan imajinasi pada tokoh cerita, menghubungkannya dengan pengalaman, cerita lain, film, budaya, kehidupan sosial, serta agama, menafsirkan isi cerita, dan menilai cerita, pengarang, serta membincangkan nilai-nilai moral yang dibangun lewat cerita. Dengan demikian critical thinking siswa/mahasiswa dan kesadaran budaya mereka dapat terbangun.
Bagi saya, karya tulis, fiksi atau non fiksi merupakan aset penulisnya. Karya tulis, Rusyana, Guru Besar UPI beranalogi, adalah bendera yang dikibarkan penulisnya. Kemanapun ia pergi maka masyarakat akan mengetahuinya lewat bendera itu. Tetaplah berkiprah di sastra koran dan membukukannya. Enyahkan rasa pesimis yang senantiasa bergelayut di pundak dan memiskinkan kreativitas berpikir. Enyahkan rasa bersalah saat koran dijadikan pembungkus pisang goreng, toh kolom yang berbasis politik, ekonomi, dan sebagainya juga bernasib sama. Yang paling penting, sastra koran itu ADA. Cari celah buku ini dapat menarik simpati kaum pendidik yang terdidik untuk memanfaatkannya mengembangkan nalar dan kreativitas siswa/mahasiswa serta turut menajamkan aspek afektif (emosionalnya).
Wassalam,
Rita Inderawati Rudy
Ketika Penulis Bersaksi:
Sekapur Sirih untuk Antologi Kaos Politik

Karya sastra –pada hakekatnya—merupakan ekspresi pengalaman manusia secara menyeluruh tentang hidup dan kehidupan atau tentang manusia dan kemanusiaan. Hakekat seperti itu memberi peluang kepada penulis memotret manusia dengan segala sisi kemanusiaan dan kemudian menuangkannya ke dalam buah ciptanya. Kelahiran karya sastra diilhami oleh berbagai kondisi manusia, seperti persaudaraan, penderitaan, cita-cita, perjuangan, dan sebagainya.Realitas kehidupan yang dialami manusia, lengkap dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya, direkam pengarang dan diolah sedemikian rupa. Kemudian, realitas tersebut diekspresikan pengarang dalam gaya dan bentuk khas yang kemudian disebut dengan karya sastra. Tentu saja setelah hadir dalam karya sastra, realitas-realitas itu hadir sebagai kenyataan fiktif karena berada dalam wadah yang disebut karya fiksi.
Menurut A. Teeuw, setelah sebuah karya sastra itu hadir-termasuk sajak-akan menjadi artefak (benda mati) yang baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik jikadiberi arti oleh pembaca, sebagaimana artefak peninggalan purba mempunyai arti bila diberi makna oleh seorang arkeolog. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak akan bermakna atau bernilai jika tidak diberikan arti atau diungkapkan maknanya oleh pembacanya. Dalam kaitan dengan itu, penulis dan pembaca sama-sama memiliki tanggung jawab yang bersinggungan makna. Pengarang menebarkan makna melalui untaian kata-kata, sedangkan pembaca menggali makna dari untaian kata-kata pengarang tersebut.
Menarik membaca cerpen-cerpen karya Muhamad Nasir yang terhimpun dalam antologi yang diberi tajuk Kaos Politik. Sebagai sebuah karya fiksi, kenyataan-kenataan yang dilukiskan dalam cerpen-cerpen ini adalah kenyataan fiktif. Namun, Muhamad Nasir –sebagai penulis—adalah bahagian dari komunitasnya dan bersinggungan langsung dengan kenyataan-kenyataan yang berlangsung di sekitar kehidupannya. Kenyataan-kenyataan inilah yang menjadi bahan renungan yang kemudian disublimasi sebelum dituangkan ke dalam karya ciptanya.
Sebelas cerpen dihimpun dalam antologi ini. Dalam daftar isi, pengarang sudah membantu pembaca dalam mengategorikan cerpen-cerpennya. Dari sebelas cerpennya, penulis mengategorikan empat cerpen sebagai karya demokrasim tiga cerpen merupakan gambaran sosial, satu cerpen tergolong bermuatan pendidikan dan satu cerpen bernuansa cinta. Terlepas dari penggolongan itu cerpen-cerpen Muhamad Nasir yang terhimpun dalam antologi ini menghadapkan pembaca pada penyuguhan akan pengenalan dan penghayatan terhadap atmosfer kehidupan yang pernah disaksikannya. Meskipun secara jelas penulis mengategorikan cerpen-cerpennya menurut isinya, muatan utama cerpen-cerpen itu lebih condong pada persoalan sosial. Situasi sosial akibat dari sebuah politik digambarkan dalam cerpen-cerpen yang berada pada payung demokrasi.
Selanjutnya, persoalan sosial masyarakat dilukiskan dalam tiga cerpen yang berjudul ”Di Bawah Jembatan”, Bertopeng Gincu”, dan Mimpi pun Usai”. Nasib tua mantan pejuang digambarkan dalam cerpen yang berjudul ”Di ujung Hari” dan Menutup Hari”. Sementara itu, nasib seorang guru bantu dilukiskan dalam cerpen berjudul ”Pilihan Sarjan”. Satu-satunya cerita yang ber nuansa cinta adalah cerpen ”Cinta Kingkong”. Dialog tokoh dalam cerpen ”Cinta Kingkong” mrnggunakan dialek Melayu Palembang.
Perenungan atas hidup dan kehidupan manusia digambarkan Muhamad Nasir dengan gaya yang khas. Persoalan yang menjadi pumpunan penceritaan sebetulnya sangat sederhana. Selajutnya, persoalan yang sederhana itu dikisahkan dengan cara bercerita ”diaan”sehingga memberi peluangan para tokoh untuk berkreasi lebih bebas. Cerita mengalir mengikuti alur cerita dengan penggunaan dialektika bahasa yang tidak sulit dimengerti.
”Bertopeng Gincu” merupakan salah satu cerpen Muhamad Nasir bernuansa sosial dengan menggunakan simbol. Banyak hal yang menyebabkan seseorang menyembunyikan keaslian dengan sebuah kepalsuan (topeng) itulah yang digarap Muhamad Nasir dalam cerpen ini dengan menghadirkan tokoh dan penokohan seorang gadis belia. Oleh karena dihimpit persoala sosial juga, sang gadis rela ”bertopeng” demia sebuah capaian keinginan.
Muhamad Nasir merupakan salah seorang penulis Sumatera Selatan yang turut memperkaya khazanah sastra Indonesia modern dengan karya-karya yang berbentuk cerpen. Cerpen-cerpen Muhamad Nasir yang terhimpun dalam antologi ”Kaos Guruku” ini sebelumnya pernah dimuat di beberapa surat kabar dan tabloid, baik lokal maupun nasional.
Kehadiran antologi ini yang jelas menambah semarak khazanah sastra Indonesia umumnya. Sumatera Selatan khususnya. Namun khalayak sastra berharap agar Muhamad Nasir terus berkarya dan menghadirkan nuansa-nuansa kehidupan melalui karya-karya selanjutnya.
Palembang, Agustus 2008
B. Trisman
Daftar Isi
Kaos yang Bisu ............................... 1
Kaus ini Milikku ................................................................................................ 2
Kaos .................................................................................................................... 10
Motor Tua ........................................................................................................... 16
Ketika Gadis Bisu Berlipstik ............................................................................... 22
Jembatan Bergincu ............................... 29
Di Bawah Jembatan ............................................................................................ 30
Bertopeng Gincu ................................................................................................ 40
Mimpi pun Usai .................................................................................................. 48
Menyulam Hari ........................... 56
Di Ujung Hari ...................................................................................................... 57
Menutup Hari ...................................................................................................... 62
Pilihan Terbaik ............................. 67
Pilihan Sarjan ....................................................................................................... 68
Cinta Pertama ..................................... 77
Cinta Kingkong .................................................................................................... 78
Penulis ...................................................................................................................... 84
Editor ...................................................................................................................... 85
Kaos Yang Bisu
Kaos Ini Milikku
Nang Ayu Ibrahim tinggal di tepi Sungai Musi. Rumahnya berapung di atas permukaan air. Berada di rumah, terasa menumpang kapal pesiar. Bedanya hanya fasilitasnya. Bangunan tempat tinggalnya di atas rakit, sama sekali juah dari sederhana. Terbuat dari kayu dan papan kelas, beratap genteng kodok serta perabotan yang tak murah.
Siang hari, di tengah terik matahari, rumah itu kini sepi. Sekeliling rumah itu, dipagari tiang dan tali jemuran yang telah kosong. Padahal, sebelumnya selalu penuh jemuran. Berbagai jenis pakaian, termasuk kaos.
Nah, kalau kaos, bahkan juga memadati lima kamar termasuk gudang di dalam rumah. Kini, seiring berlalunya waktu, kaos-kaos itu pun berpindah tangan. Karena kaos-kaos itu dipesan di tempat sablonnya memang untuk dibagikan. Terutama agar masyarakat mengenal gambar di kaos itu lalu saat pemilihan umum mencoblos gambar itu.
Rumah besar itu, kini memang lebih sering sepinya dibanding ramai. Padahal, sebelumnya selalu ramai. Maklum, sang pemilik rumah mencalon menjadi wakil rakyat. Tak tanggung-tanggung, bukan wakil rakyat di daerah. Tapi di pusat. Calon independen. Tak punya kendaraan partai. Gagahnya, Nang Ayu Ibrahim nantinya menyandang gelar senator kalau di Amerika sana. Atau Dewan Perwakilan Daerah kalau di negeri ini.
Upaya mencari dukungan memang bukan hanya melalui kaos. “Banyak yang saya lakukan. Juga banyak yang saya janjikan, dan saya yakin akan saya penuhi kalau saya terpilih. Itu harus nyambung ke masyarakat,” ujar Nang Ayu Ibrahim beberapa waktu lalu kepada tim suksesnya.
Sebagai pengusaha pempek sekaligus mantan pejabat, Nang Ayu sesungguhnya telah sukses. Tapi akankah, kesuksesan itu bisa diraihnya dalam perebutan kursi parlemen. Waktu lah yang dapat memberikan jaminan.
“Kita harus yakin. Kalau kita tidak yakin, bagaimana pemilih akan yakin,” tegas Nang Ayu kepada keluarganya juga.
Semua keluarga dan kerabat juga menjadi tim sukses internal yang bekerja sama dengan tim sukses eksternal yang bakal menggiring Nang Ayu ke ibukota. Sehingga, kalau terpilih bukan lagi level provinsi yang dimainkan. Tapi sudah level negara.
“Bukan tak mungkin, usaha pempek Palembang kita juga bisa mengembangkan sayap ke seluruh persada,” ujar istri Nang Ayu, Jeng Sri yang kelahiran Jawa dan tamatan universitas.
Sebagai mantan pejabat, sesungguhnya memang Nang Ayu punya kesempatan besar untuk menang. Tanpa diberi kaos pun, masyarakat Palembang pasti mengenal siapa dirinya. Terlebih ketika dia pun terjun ke dunia bisnis.
Tapi, bagaimanapun memang upaya harus dilakukan. Termasuk mencetak pamflet, spanduk. Semuanya menampilkan foto dirinya dalam berbagai gaya. Sehingga diharapkan bisa diterima berbagai golongan masyarakat.
“Paling tidak, 50% warga Sumsel harus mengenakan kaos Bapak,” ujar Amir, seorang tim sukses.
Target itu memang tercapai. Bahkan, lebih dari itu. Kaos-kaos itu telah diterima pemilih yang nantinya bakal mencoblos di tempat pemungutan suara. Tak sedikit anggaran yang dikeluarkan Nang Ayu.
Bahkan, usaha pempeknya pun lebih disibukkan soal kaos. Pelanggan menjadi urusan nomor dua. Sampai akhirnya, beberapa cabang pempeknya pun ditutup sementara. Istri dan keluarganya termasuk karyawan sibuk mengurus kampanye. Terlebih ketika memasuki hari-hari terakhir.
Di mana-mana, kaos bergambar Nang Ayu beredar. Bukan hanya di perkantoran. Tapi juga di sekolahan. Beberapa anak sekolah yang kaos olahraganya mungkin kotor, mengenakan kaos bergambar Nang Ayu ketika pelajaran olahraga.
Meski ada yang distrap gurunya karena mengenakan kaos olahraga resmi, yang penting bagi Nang Ayu, kaos bergambarnya telah mencapai sasaran.
Termasuk penjual koran di lampu-lampu merah banyak yang mengenakan kaos miliknya. Yakin lah Nang Ayu, dirinya bakal terpilih nanti.
Tak peduli usaha bisnis pempeknya telah macet sementara ataupun tabungan dan depositonya selama menjadi pejabat dulu pun kini telah menipis. Tak perlu khawatir, apalagi berbagai pihak juga sudah menawari bantuan dalam bentuk apapun kalau memang diperlukan.
Tak sulit memang, bagi Nang Ayu untuk berjuang. Kaosnyapun sangat diminati. Sampai-sampai, saat kampanye, kaos yang sedang dipakainya pun didaulat untuk dilepas agar diberikan. Terpaksalah, kaos itu lepas dan dilempar ke massa.
Bukan sekali dua, cetak ulang kaos dilakukan. Apalagi menjelang hari H pemilihan. Kaos milik Nang Ayu memang penuh variasi. Selain gambarnya aneka macam, kata-katanya juga menarik. Seakan bukan untuk kampanye. Sehingga, dipakai dimana-mana pun bisa.
Bukan saja jemuran di rumah-rumah rakit dekat kediaman Nang Ayu yang setiap harinya pasti ada kaos bergambar dirinya yang sedang dikeringkan pemiliknya. Tapi juga jemuran di rumah-rumah di pelosok desa dan perkotaan.
Cuma satu yang dilupakan. Karena banyaknya fose dan jenis foto di kaos yang dibagikan, saat memilih, pemilik kaos tak mengenali lagi Nang Ayu. Apalagi, ternyata fotonya di kaos dan kertas suara sangat berbeda jauh.
Perolehan suara Nang Ayu lumayan. Sayang, calon lain ternyata juga lebih lumayan. Memang, kaos-kaos telah dibagikan. “Tapi yang harus diingat, warga juga mendapat kaos-kaos dari calon lain. Jadi tak bisa disalahkan kalau mereka juga akhirnya bingung menentukan pilihan,” bela ketua tim sukses, Agus ketika disemprot saat diketahui perolehan suara Nang Ayu masih jauh dibanding calon lainnya.
Di rumah Nang Ayu kini tak satupun kaos bergambar dirinya. Yang ada justru surat tagihan atas cetak ulang kaos. Kalau saja bukan pasca pemilihan umum, surat tagihan itu bukan persoalan.
Tapi ini, lain. Persediaan anggaran telah menipis. Penawaran bantuan telah menyepi ketika perolehan suara dipastikan tak mendudukkan Nang Ayu sebagai senator. Hanya sesekali telepon berdering, entah itu di hand phone atau di telepon rumah. Ternyata ucapan dari koleganya pertanda ikut prihatin.
Dalam waktu singkat, jenggot dan kumis Nang Ayu yang dulu rajin digusur setiap dua minggu, kini telah merimbun. Rambutnya juga. Pakaiannya meski kusut, tetap perlente. Hanya agak kumal saja.
Bukan cuma istri atau anak-anaknya yang tak bisa diajak komunikasi lagi pascapemilihan umum karena sibuk dengan terawangan pikiran masing-masing. Sehingga, memang di rumah besar milik Nang Ayu, semuanya pada sibuk dengan pikiran masing-masing.
Usaha pempek tak jalan lagi. Gilingan ikan, yang biasa digunakan untuk menggiling ikan gabus yang dibeli di pasar Cinde sedikitnya 50 kg setiap hari kini tak terurus lagi. Kotoran tikus di mana-mana. Di lobang penggilingan bahkan di gagang penggilingan. Aroma kencing tikus dan kecoak sudah mendominasi meja tempat dipasangnya penggilingan ikan itu.
Nang Ayu sendiri, masih sibuk memantau perkembangan penghitungan suara. Sampai akhirnya, dirinya dipastikan tak termasuk dalam empat besar yang mendapat suara terbanyak.
Dari atas mobilnya, pandangannya tertumpu pada kaos bergambar dirnya yang terjemur di rumah susun. Rasa kangennya muncul. Ingin mengenakan kaos itu. Seolah ingin, mimpi-mimpi saat kampanye dimana dirinya menjadi senator yang ikut sidang MPR, bisa dirasakan kembali.
Sang sopir pun diperintahkan parkir di sebuah pertokoan. Berjalanlah Nang Ayu yang kini berjenggot panjang dan berkumis tebal dengan yakin. Dia memutar langkah ketika tiba di depan pintu masuk pasar swalayan.
Sekitar 1 km dia berjalan tak dirasakan. Yang penting, kaos yang terjemur mesti didapatkannya. Tanpa mengendap-endap, Nang Ayu menarik kaos bergambar dirinya yang sedang terjemur. Tanpa sungkan dia pun membuka jaket mahalnya lalu menukarnya dengan kaos oblong bergambar dirinya.
Sang pemilik jemuran tentu saja kaget melihat ada lelaki besar tinggi bertelanjang dada lalu seenaknya mengenakan kaos jemurannya. “Hai siapa kamu. Maling ya kamu,” teriak wanita pemilik rumah keras.
“Enak saja. Ini kaos saya. Ini lihat, fotonya sama dengan saya kan,” teriak Nang Ayu tak kalah kerasnya.
Sang pemilik rumah beralih-alih melihat foto di kaos suaminya dan juga wajah pemilik suara yang telah mencoba menguasai harta milik suaminya. Dia tentu saja tak terima, karena wajah dan penampilan orang di kaos itu jauh berbeda dengan lelaki yang berdiri di depannya. Sekalipun wajah itu sama, kaos itu adalah miliknya bukan milik lelaki di depannya.
Sebagai istri yang baik, dia harus mengamankan harta milik suaminya apalagi sewaktu sang suami tidak ada di rumah.
“Kamu maling. Kembalikan kaos itu,” ujar pemilik rumah yang saat itu juga mengenakan kaos bergambar Nang Ayu.
“Enak saja. Kamu yang justru maling. Berani-beraninya juga mengenakan kaos milik aku,” alas Nang Ayu, sembari tangannya menarik kaos yang dikenalan lawan bicaranya. Dia bermaksud mengambil juga kaos yang dikenakan wanita di depannya.
Spontan, kaos itu pun terangkat. Nang Ayu tak peduli dengan pandangan di depannya, ketika kaos itu terangkat dan ternyata sang pemilik kaos belum sempat mengenakan kutang. “Ini kaos ku. Harus kuambil. Kamu justru yang maling,” teriak Nang Ayu.
Pemilik kaos yang tak menyangka bakal disingkapkan kaosnya tak menyadari dirinya tanpa kutang. Tarik-tarikan pun terjadi. Ketika sadar, sang wanita yang mengenakan kaos langsung menutup auratnya. Dia menjerit sekuat tenaga lalu menangis sesunggukan. Warga sekitar pun spontan berlari ke sumber suara. Meski ada yang sempat tertegun menyaksikan sang wanita dengan kedua tangannya menutupi dadanya. Tanpa tanya-tanya mereka langsung mengarahkan langkah ke arah Nang Ayu.
Nang Ayu pun berlari dengan dua kaos di tangannya. Jaket mahalnya tertinggal. Begitu juga sepatu luar negerinya juga lepas sebelah. Tapi, itu tak membantunya lepas dari kejaran massa.
Kayu dan batupun bertubi-tubi menghantam kepala dan tubuh Nang Ayu. Itu spontan membuat Nang Ayu tak sadar. Tapi, dia justru bermimpi telah jadi senator. Dengan kedua kaosnya, yang satu dikenakan dan satu lagi dipegang erat, dia berteriak,
”Ini lah yang telah membawa saya ke kursi parlemen,” teriaknya dalam mimpi itu.
Ketika dia siuman saat di rumah sakit, dia merasa asing. Ada wanita, ada anak-anak, ada borgol di tangan kirinya, ada petugas berseragam, tapi tak ada yang dikenalinya lagi. Yang dikenalinya hanya seorang lelaki. Wajahnya asing. Tapi, kaos yang dikenakannya dia merasa sangat akrab. Terutama dengan foto yang terpampang di kaos itu.
“Wah gagah sekali orang itu. Mau rasanya saya seperti dia,” guman Nang Ayu lemah sambil menatap foto yang sesungguhnya foto dirinya sendiri yang terpampang di kaos yang dkenakan Agus, ketua tim suksesnya dulu.
Dimuat di Sriwijaya Post, Minggu, 4 Juli 2004
Kaos
Kampung itu terletak di tepi sungai. Sungai yang menghidupi banyak orang, termasuk Kiemas Nachrudin yang berumah di atas rakit. Terbuat dari kayu dan papan beratap seng yang karatnya sudah mendominasi. Namanya Sungai Musi. Siang hari, di tengah terik matahari, atap rumah itu dihiasi jemuran. Mulai dari pakaian dalam yang sudah berlubang-lubang di sana sini, hingga topi belel dan jaket kusam tebal yang dibeli di loakan.
Pemandangan menjadi tak indah karena rumah-rumah lainnya juga memberikan penglihatan yang sama bagi pengemudi ketek dan penumpang speed boat. Juga pengendara motor maupun mobil dari atas Jembatan Ampera. Beruntung, setiap hari, jemuran di rumah Kiemas Nachrudin masih diramaikan baju yang warnanya cerah. Masih baru pula.
Sehingga, meski agak merusak pemandangan, jemuran di atas atap rumah itu masih memberikan obat bagi yang melihatnya. Soalnya, kaos-kaos itu warnanya cerah-cerah. Dilengkapi gambar dan nomor.
Ya, gambar-gambar partai politik dan nomor urut partai politik serta calon anggota dewan perwakilan desa yang akan ikut pemilihan umum di kota tua, tempat Kiemas dilahirkan 45 tahun lalu.
Memang, dalam usaha merebut perhatian Kiemas dan anak istrinya, kaos pun dibagi-bagikan. Tanpa beban pemberian itu diterima. Jadilah, secara bergantian Romlah istri Kiemas kalau ke pasar pagi membeli ikan teri dan sayur kangkung mengenakan kaos baru.
Begitupun Yasin anaknya yang bersekolah di sekolah dasar, kalau pelajaran olahraga mengenakan baju kaos berlambang partai yang terlihat kedodoran. Maklum, di umurnya yang 10 tahun karena kekurangan gizi, kaos yang all size terlihat menjadi baju kebesaran.
“Wah, kamu besok jangan lagi pakai baju ini. Atau kamu tak usah ikut olahraga saja,” ujar Pak Amir, guru olahraga Yasin.
Memang, Yasin sebenarnya punya baju olahraga. Karena terlalu sering dipakai di luar jam pelajaran, belum setahun baju olahraganya sudah banyak tahi anginnya. Bintik-bintik hitam memenuhi kaos berwarna putih yang ada gambar Rimaunya. Belum lagi, bekas karat dari seng rumah saat dijemur ibunya. Akibatnya, kaos itu pun tak layak pakai.
“Jadi, saya tidak boleh pakai kaos ini? Atau kalau boleh, saya tak usah pakai baju saja Pak kalau olahraga,” jawab Yasin kepada gurunya.
“Yasin, kamu tak ngerti ya. Kaos kamu itu kaos partai. Jadi alat kampanye. Sekarang waktunya belum untuk kampanye,” jawab Pak Guru.
Tentu saja, jawaban pak guru olahraga ini membuat Ysin mengerutkan kening. Tak mengerti.
“Tapi kata Pak Guru Agama, menghargai pemberian orang itu, salah satu caranya dengan memanfaatkan pemberiannya,” jawab Yasin mengutip ajaran gurunya yang lain.
Akhirnya, Yasin pun diskor tidak boleh ikut pelajaran olahraga. “Ya dipikir-pikir ternyata enak juga tidak olahraga. Mana lagi, saya juga sudah capek setiap hari sepulang sekolah berjualan. Untung juga ya,” pikir Yasin.
Memang, sehari-harinya Yasin berjualan kantong asoy di pasar 16 Ilir. Setiap hari itu dilakoninya.
Meski demikian, dia tetap masih suka memakai kaos-kaos yang didapat ayahnya dari orang-orang yang membagi-bagikan secara cuma-cuma.
Begitupun ibunya, kini tak lagi mengenakan gaun-gaun yang dibelikan suaminya di penjual buruk-an Jepang (BJ) di Pasar Cinde.
Kaos-kaos baru berlambang dan bergambar bagus cukup banyak di lemari tripleknya. Hanya rok saja atau kain yang masih buram dan tak bisa dielakkannya untuk tidak dipakai.
“Coba ada juga yang kasih kain. Atau rok ya,” pikir Romlah sambil membilas tiga potong kaos yang habis dikenakannya, suaminya, dan anaknya.
Ketika Kiemas sang suami pulang dari membecak, itupun disampaikan. “Iya ya. Tapi, oarang-orang itu sepertinya Cuma membuat kaos, bendera, sama topi,” ujar Kiemas sembari mencuci becaknya di depan beranda rumah rakitnya. Tampak, tiga topi tergantung di bawah atap becaknya, dan dua bendera kiri kanan menghiasani kendaraan berod tiga yang merupakan milik tetangganya yang saat ini juga ikut mencalon.
“Nanti lah, saya sampaikan ke bos,” ujarnya pula. Siapa tahu pikirnya, pemilik becak yang katanya juga ikut aktif di partai bisa memikirkan soal rok dan kain untuk istrinya.
Meski bos pemilik becak diketahuinya ikut berpartai, Kiemas tak tahu apa nama partainya. Maklum, dia buta huruf. Begitu juga istrinya. Yang dia tahu, partai bosnya itu warnanya terang.
Kini, dengan banyaknya kaos yang diterimanya, Kiemas maupun istrinya merasa cukup berterima kasih. Sayangnya, mereka berdua jujur saja mengaku tak mengerti nanti akan memilih siapa. Lah, satu partai saja yag memberi lebih dari satu orang.
“Mana saya juga belum pernah ditanya-tanya Pak RT. Emang saya bisa ikut milih nanti?” tanya Kiemas kepada rekannya sesama penarik becak.
Sambil menunggu penumpang, Kiemas memang suka mengobrol. Kalau habis obrolan, penumpang belum ada, dia pun tak menolak ajakan teman-temannya untuk memainkan kartu domino.
Uang didapat pun berkerincingan. Jadilah, para abang becak ini dengan kaos-kaos berlambang partai mengadu nasib. Iseng-iseng, siapa tahu menang. Atau, setoran pun terpaksa mengutang kalau kalah.
“Wah ini kampanye atau apa nih,” tegur seseorang dari belakang. Kedatangan orang tak dikenal ini spontan membuat Kiemas dan kawan-kawan kocar-kacir. Tinggallah kartu domino dan uang recehan. Termasuk diantaranya, kaos partai milik Kiemas yang ternyata sudah digadaikan karena dia habis modal.
“Polisi!” teriak Kiemas bersamaan dengan rekan-rekannya sambil berlari. Orang yang baru datang ikut terkejut melihat para tukang becak memakai jurus langkah seribu.
“Wah, orang mau ngasih kaos kok dikira polisi. Emang rambut pendek itu cuma polisi yang boleh,” gumam Herman, seorang calon anggota dewan, yang memang berambut cepak.
Sekantong kaos yang dibawa Herman pun dibawa kembali. Urung dibagikan. Termasuk daftar nama yang masih kosong dari tandatangan maupun cap jempol yang menyatakan bahwa kaos telah diterima.
“Mau dikasih kaos kok lari. Apalagi kalau cuma ngasih kartu nama atau kalender,” kata Herman bercerita di kantornya.
“Atau begini saja Pak. Sekarang kita bagikan beras saja,” saran anggota partai yang diketuai Herman.
Kiemas dan kawan-kawan tak lama kemudian kembali ke tempatnya mangkal ketika dilihatnya orang yang tak dikenalnya sudah pergi. “Itu sepertinya bukan polisi,” kata Rudi, seorang tukang becak yang tadinya sudah menang dan mengantongi 10 ribu rupiah, namun kemenangannya habis tercecer.
Bik Onah, pemilik warung nasi tak jauh dari tempat para tukang becak ini mangkal menceritakan bahwa orang yang tadi datang sebenarnya mau membagi kaos.
“Dia sempat cerita dan heran melihat kalian pada lari,” ujar Bik Onah tertawa memperlihatkan giginya yang ompong.
“Wah kalau cuma kaos sih, kami sudah banyak. Lagian, gimana mau milih dia. Kita tak kenal siapa dia. Jangan-jangan nanti kalau terpilih, tak ingat lagi sama kita,” ujar Parmin, seorang pemuda tamatan SMA yang terpaksa membecak karena lima tahun tamat sekolah belum dapat pekerjaan.
“Wah, coba jangan lari….,” .
Palembang, Maret 2004
(Dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 3 April 2004)
Motor Tua
Motor tua itu, sesungguhnya masih bagus. Hanya saja debu dan sarang laba-laba membuatnya seakan menjadi seonggok besi tua tak berguna di sudut gudang. Banyak cerita yang dibawa motor tua itu. Mulai dari masa-masa sekolah pemiliknya, pacaran, kampanye pemilu hingga beralih tangan ke generasi penerus sang pemilik. Anaknya.
Kini, kalau saja motor itu bisa bercerita, dia akan memutar kembali rekaman masa lalunya.
Mulai dari dia ketika dibayar dengan kontan oleh Ibnu Hajar untuk anaknya, Amirullah yang saat itu naik ke kelas III SMA. Itu tahun 1970. Dengan nilai rata-rata 8, Amirullah dapat kelas paspal. Jurusan paling bergengsi kala itu.
Hadiah dari orang tuanya yang pengusaha ternama di Palembang, sebuah motor. Beroda besar, dengan tanki bensin juga besar. Warnanya hitam.
Tak banyak yang bisa pegang motor ketika itu. Jadilah, dengan celana cutbrai, Amirullah jadi pusat perhatian. Mujur, prestasi belajarnyapun semakin bagus. Dia juga aktif di organisasi sekolahnya. Banyak teman, luas pergaulan, ditambah punya kendaraan tentu saja membuat pemuda Amirullah punya banyak kesempatan.
Tamat SMA, dia pun melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Motor kebanggaannya dibawa. Pilihan orangtuanya memang tepat. Amirullah tak semata bagai katak dalam tempurung. Pergaulan dan pengalamannya semakin luas.
Bukan saja soal kuliah tapi juga soal wanita. Gonta-ganti pacar bukanlah hal aneh bagi Amirullah. Saksi matanya, motor gede itu.
Dengan suara besar dan jok besar, pantat-pantat gadis pun tak sedikit telah menikmati empuknya jok motor itu.
Balasannya, tentu sang pemilik pun bisa merasakan getaran gadis-gadis itu. Sampai akhirnya, Amirullah tercantol seorang gadis. Umiyati, namanya. Belum tuntas kuliah, keduanya terikat tali perkawinan.
Setahun kemudian, lahirnya seorang bayi. Namanya Amiruddin. Dia berumur 3 tahun, sang ayah tamat kuliah. Sang balita dan ibunya diboyong ke Palembang.
Naluri bisnis Amirullah jalan. Organisasinya juga. Dia sukses menjadi pemborong, juga menjadi aktivis partai. Dengan motor besar, waktu kampanye dia turun jalan. Ikut keliling kota bahkan ke daerah-daerah.
Saat pemilihan umum, di partai berkuasa, dia ikut terpilih. Kini, statusnya anggota dewan. Dari luar, semuanya tampak begitu mudah.
Meski sesungguhnya tak segampang itu. Perkawinannya pernah nyaris bubar. Gara-gara sang istri cemburu karena kedekatannya dengan sekretaris ketika sibuk-sibuknya berpartai.
Kalau saja, dia tak sabar, keinginan cerai istrinya bakal ibarat gayung bersambut. Tapi, dia masih sabar dan memang pandai menyimpan rahasia.
Kecemburuan itu tak terbukti. Meski sesungguhnya memang wajar dicemburui karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Motor hitam gede itulah saksi matanya. Sama seperti dulu ketika dia kuliah.
Begitupun bisnisnya, nyaris roboh. Karena, antara politik dan bisnis pernah tak seimbang. “Beruntung, dengan kedudukan terhormat sebagai anggota dewan, proyek-proyeknya jalan. Dan pengalamannya berbisnis membuatnya tahu liku-liku proyek,” tutur sang ayah, Ibnu Hajar kepada rekannya saat masih sehat. Kini, Ibnu Hajar memang sudah meninggal.
Memang, Ibnu Hajar pun tak bisa memastikan, mana posisi anaknya yang lebih menunjang. Apakah status pengusahanya menunjang aktivitas politiknya. Atau, aktivitas politiknya yang mendukung usaha anaknya.
Yang jelas, keduanya memberikan modal bagi Amrullah untuk mencalon kembali sebagai anggota dewan. Dan dia pun terpilih kedua kalinya. Motor tua tetap menjadi andalannya pada saat menjelang pemilihan umum.
Dia tampak gagah di atas sadel sepeda motor. Iring-iringan sepeda motor tampak gagah dengan dikawal vorider yang meraung-raung sirine dan lampunya berkelap-kelip.
Teriakan dan yel-yel memuji tokoh dan kepartaian Amirullah mengiringnya mendapat posisi sebagai anggota dewan. Dua kali dia duduk di kursi dewan.
Meski tak banyak yang bisa diperjuangkan bagi orang banyak kala menjadi anggota dewan, setidaknya bagi partai dan orang-orang dekatnya, Amirullah adalah orang baik.
Dan memang Amirullah selalu tampil saat sidang dan rapat di gedung dewan. Dia menjadi orang yang paling banyak bicara. Tidak pernah tertidur ketika sidang. Habis, gizinya bagus.
Dan itu diwariskan ke anaknya, Amirudin. Nyaris sama, perjalanan hidup sang anak dengan dirinya dulu. Bedanya, dulu orang tua Amirullah, Ibnu Hajar, pengusaha murni. Amirullah, pengusaha ya politikus. Dan, anaknya pun diajarkan berorganisasi dan berpolitik.
Di nomor jadi, sang anak pun dipasang. Dengan motor besar milik ayahnya dia pun kembali mengulang sukses. Terpilih menjadi anggota dewan. Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya. Kursi yang pernah diduduki ayahnya dirasakan juga olehnya.
Hanya saja, politik berubah. Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua, ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak terpilih lagi. Dia terpental.
Usahanya pun kini hancur. Tinggallah, dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi. Tak sekuat ayahnya dulu. Motor tua itu pun tak terurus.
Motor itu kini mau bercerita banyak. Tapi, adakah orang masih mendengarkan. Masih kah motor besar itu segagah dulu. Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini telah banyak merajai jalanan. Adakah yang mau membersihkan motor itu.
Pemilihan umum kini pun telah berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak ikut. Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga maupun biaya.
“Pemilu sekali ini beda. Tak penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan.
Ketika penghitungan suara molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress. Melihat angka perolehannya seperti sulap yang gagal. Sim salabimnya sepertinya tak mempan lagi. Apalagi, beberapa kali, setelah penghitungan suara usai, jumlah perolehan suara beberapa kali juga berubah. Tapi anehnya, perolehan suaranya seakan tak bergeming.
Amiruddin memang tak masuk hitungan. Bahkan, partainya pun tak satupun dapat kursi. “Sayang, kamu salah pilih kendaraan. Kalau saja, kendaraan kamu tepat, mungkin gedung dewan bisa kamu masuki lagi,” komentar seorang teman ketika Amiruddin berkeluh kesah.
Mendengar kendaraan, Amiruddin pun teringat motor peninggalan turun temurun dari orang tuanya. Motor itu sebenarnya memang masih bagus. Tapi sayang, tak masuk dalam sebagian otaknya. Sehingga, hanya teronggok di sudut rumah.
Dia sempat menatap motor itu. Terbayang, betapa gagahnya ketika ayahnya dan dia juga sempat mencicipi pamor motor itu. Tapi apa mau dikata, semuanya telah berlalu. Motor itu memang bukan seakan besi tua. Tapi memang sudah menjadi besi tua.
Amiruddin, hanya bisa berkata motor..motor.. motor.. motor. Dia tak mengenali lagi istrinya. Anaknya. Temannya. Partainya sekalipun. Termasuk lambang partainya. Yang ada di otaknya mungkin motor tua yang gagah sehingga yang naik pun menjadi gagah.
Makanya, meski tanpa motor, kini Amiruddin pun mengelilingi kota seakan naik motor. Mulutnya pun bergetar. Ngg Ngg Ngg Rrrrrr. Menirukan bunyi motor.
Palembang, 20 Juni 2004
(Dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, edisi Sabtu 07/31/2004)
Ketika Gadis Bisu Berlipstik
I
Waktu mencoblos, aku pun mencoblos. Meski aku tak keluar dari lingkungan kerangkenganku di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pakjo Palembang. Aku hanya tersenyum ketika sipir mengangkat kedua tangannya lalu menggerakkan jari kirinya ke dalam lingkaran jari kanannya. Sembari mulutnya berkata, “mencoblos?”
“Ih… hi hi,” aku tertawa sembari berlari. Saat itu aku baru keluar dari bilik suara. Mencoblos kertas bergambar empat calon pemimpin. Aku tusuk sepasang diantaranya dengan paku yang tersedia.
Gerakan itu mengingatkanku ketika aku masih bebas. Orang-orang yang ingin menikmatiku pun melakukan hal serupa. Bedanya, mereka umumnya serius sembari menarik koceknya dan mengeluarkan lembaran uang Kalau aku setuju, maka kami pun mencari tempat. Bisa di kamar hotel, atau salah satu kamar di rumah susun.
Bedanya, pertanyaan sipir tentu soal coblosan pemilihan presiden yang baru aku lakukan. Tetapi, aku rasa maksudnya juga tetap mengadung arti coblosan lainnya.
Sebagai manusia aku punya keinginan. Juga memiliki perasaan. Tetapi keinginan dan perasaanku sama-sama sulit terpenuhi. Sama seperti suaraku yang tak pernah bisa keluar. Sehingga orang pun sulit memahamiku. Aku memang bisu. Tetapi aku tidak buta dan tidak tuli.
Sejak lahir, aku telah menerima kenyataan. Bahwa ibu yang melahirkan diriku harus menanggung malu. Ayah kandung, jangankan aku, ibuku pun tak tahu dimana rimbanya. Sampai akhirnya, di usianya yang masih muda ibuku mengakhiri hidupnya secara terpaksa. Dia ditabrak mobil ketika sedang bertugas. Ibuku memang pekerjaannya di pinggir jalan. Dengan sapu di tangan, dia membersihkan jalan.
Dengan gaji yang dihitung harian dan diterima mingguan, ibuku berjuang menghidupi aku. Tetapi, dia akhirnya tak bisa terus menghidupi dirinya ketika sebuah mobil sedan menabraknya. Dan ajal pun seketika menjemput.
Aku tak tahu bagaimana nasib si penabrak. Karena memang aku ketika itu hanya bisa diam. Menangis pun aku tak bisa. Karena memang lidah ku pendek. Hanya air mata ku menetes ketika orang-orang kulihat membawa ibuku di atas kasur. Dia membisu sama seperti ku.
Bedanya, aku basah karena ngompol sejak sehari semalam ditinggal ibu kerja. Sementara ibuku kata orang basah karena dimandikan soalnya tak bisa lagi mandi sendiri.
Biasanya sih, dia akan pulang ketika matahari menjelang terbit. Lalu menyusuiku. Taklama kemudian memandikan aku. Terdengarlah nyanyian tak bersyair dari mulutnya. Bagiku, lagu yang dinyanyikan itu begitu indah. Mendayu-dayu. Entah bagi orang lain.
Buktinya, pernah suatu ketika ibu dimarahi tetangga karena mungkin kesal mendengar senandung ibu yang itu-itu juga. Sampai akhirnya, kemudian ibu mengecilkan volume lagunya sejak keributan dengan tetangga yang kemudian kuketahui seorang janda. Yang akhirnya justru dia yang merawatku menggantikan ibuku.
Tempat tinggal kami bukanlah kompleks perumahan. Tetapi ada sedikitnya 20 pondok yang tak bisa diketegorikan tempat tinggal. Masing-masing pondok, tidak ada kamar, tidak tersedia kamar mandi, tidak ada tempat tidur. Tetapi kompor ada. Panci-panci ada. Juga piring dan gelas. Semuanya sering digunakan.
Di lingkungan yang tak jauh dari Jembatan Ampera itulah aku kemudian tumbuh. Sejak dilahirkan tanpa ayah oleh ibuku. Diasuh tetangga yang kemudian sekarang pun kupanggil ibu, sejak ibuku yang kini tak kukenal lagi wajahnya dikebumikan.
Aku dipanggil Yanti. Setiap panggilan Yanti terdengar aku akan menoleh. Aku memang sempat sekolah. Karena ibu angkatku tak sanggup lagi membiayaiku, akhirnya berhenti di kelas II.
Berhentinya aku dari sekolah sangat aku syukuri. Teman-teman sering menertawaiku. Seragamku tak sama dengan lain. Katanya sih, bau lah. Buruk lah. Buku tulisku pun kumal. Karenanya, wajar saja kalau nilai-nilai ku tak ada yang bagus.
Tetapi syukur alhamdulillah, aku sedikit-sedikit bisa berhitung dan membaca serta menulis. Hanya saja, jangan aku disuruh menulis surat atau membaca koran. Tetapi kalau hanya menulis nama, aku bisa. Begitupun menghitung, aku sangat pandai.
Itulah kemudian yang menjadi modalku. Setiap tamuku kucatat namanya. Jumlah bayarannya pun aku ingat.
Tarifku memang tak begitu mahal. Itu sudah termasuk untuk bayar tempat di rumah susun. Biasanya, Ibu Cicih, demikian aku biasa panggil akan meminta bayaran dariku setiap aku mengajak lelaki ke kamar di rumahnya yang terletak di lantai III.
Atau, aku akan menerima uang dari lelaki yang membawaku. Tetapi sewa kamar short time dibayar olehnya. Berapa bayarannya terserah.
Aku tak pernah berpikir apakah perbuatan aku salah atau benar. Yang aku tahu, lelaki teman ibu keduaku yang janda lah yang mengajariku. Awalnya, aku melihat mereka berdua dalam posisi aneh di dalam gubukku tengah malam. Bukan sekali dua, aku melihatnya. Lalu mereka kudengar seperti merasakan sesuatu yang aneh. Sehingga dari mulutnya terdengar seperti orang makan nasi dengan sambal.
Aku merasakan sesuatu yang aneh juga ketika itu. Sampai akhirnya, ketika ibuku itu pergi entah kemana, aku tinggal bersama lelaki yang kemudian aku panggil Udin. Kalau dulu aku melihat Udin dan Ibuku, kini aku merasakan sendiri apa yang mereka rasakan. Sebelum ibuku pergi, aku sempat dua lima kali selama lima bulan mengalami peristiwa yang membingungkan. Setiap bulan, dari tempat aku buang air kecil keluar darah. Sama seperti ketika aku terluka saat aku berlari dikejar kucing. Bedanya, kalau dulu dari dengkul kini dari tempat di atas dengkul.
Tanpa penjelasan, ibuku memberiku kain bekas yang bersih untuk diletakkan di dalam celana dalamku. Pesannya, “Kau sudah gadis. Jaga jangan sampai darah itu tercecer dimana-mana,” ujarnya.
Aku sungguh tak mengerti ketika Udin mendekati aku yang sedang mau tidur. Tetapi aku bisa mengerti bahwa aku mesti menolak perlakuan itu. Aku berontak. Tetapi aku tak bisa menjerit. Karenanya, malam itu aku pun menjadi wanita seutuhnya. Tetapi tak utuh lagi.
Berkali-kali aku melakoni itu Udin pun sangat baik dengan ku. Aku dibelikan bedak. Abang bibir (lipstik). Baju baru. Sendal baru. Aku pun bisa berpenampilan seperti gadis lainnya. Lalu setiap senja datang aku diajak Udin berdiri di pinggir jalan dekat Kambang Iwak.
Udin memang selalu mengawasiku. Tetapi dia tak bisa menghalangiku untuk dekat dengan seorang lelaki yang menurutku ganteng. Dia baik pula. Selalu tersenyum denganku. Dengan Andi, itulah namanya, aku kemudian merasa sangat dekat. Terlebih ketika Udin kudengar ditangkap polisi. Dia katanya sih ditembak karena ternyata dia itulah yang menghabisi ibu.
Menurut orang, ibuku ditemukan sudah menjadi mayat. Dan akhirnya diketahui pembunuhnya adalah Udin. Aku kemudian diajak Andi.
Andi memang baik. Umurnya juga tidak setua Udin. Aku tak tahu rumahnya Tetapi, dia sering main ke gubukku. Bahkan terkadang tidur di gubukku.
Awal-awal hubunganku dengan Andi beberapa kali aku ditangkap orang berseragam. Dinaikkan ke mobil. Begitu juga dengan rekan-rekan wanita ku yang lainnya. Mulanya aku sempat lepas. Melihat teman-teman pada berlari, aku ikut berlari.
Tetapi kemudian, aku tak bisa menghindar. Meskipun sudah berlari, aku tetap bisa ditangkap. Penangkapan pertama, Andi kulihat selalu ada di sekitarku. Aku dihadapkan kepada seorang ibu yangmengenakan baju hitam. Lalu ibu itu, yang beberapa bulan kemudian kuketahui sebutannya adalah hakim, mengetukkan palu. Kulihat, kemudian Andi membayar. Aku lalu dilepas.
Yang kedua, saat aku sedang hamil tua, aku kembali tertangkap. Aku dibawa ke sebuah gedung. Kali ini bukan ibu-ibu yang mengetukkan palu, tetapi seorang laki-laki yang juga mengenakan baju hitam. Saat itu, Andi tak ada. Aku juga tak mengantongi uang.
Ketika aku ditanya bisa tidak membayar Rp 50.000, karena menurut mereka aku sudah dua kali tertangkap, aku menggelengkan kepala. Akupun digiring ke sebuah bangunan berkerangkeng. Aku tak bisa kemana-mana. Tapi setiap hari aku dapat makan. Setelah tiga hari di sana aku baru tahu kalau aku dipenjara.
Saat itu, perutku mules. Terasa sakit diperutku yang memang membuncit. Sampai akhirnya aku tak sadar. Ketika aku sadar aku sudah terguling di kasur. Perutku sudah kempis. Ketika aku bingung, kulihat seorang wanita berpakaian putih memberikan kode bahwa isi perutku sudah keluar. Dia menunjuk gambar di dinding seorang ibu menggendong bayi. Tetapi, bayiku katanya meninggal.
Sebulan aku dipenjara, aku kemudian pulang. Aku dijemput Andi. Dia memelukku. Aku kembali ke rumah. Lebih sering aku tak makan. Karena aku tak bisa mencari uang. Beruntung, Andi sering datang. Aku masih bisa menyambung hidup. Kuhitung-hitung hampir dua bulan aku nganggur.
Sampai akhirnya aku kembali ke jalan. Rutin, kemudian aku dapat lelaki. Terkadang empat sampai lima. Yang paling ramai kalau malam minggu.
Berkali-kali pula aku terkena razia. Dengan yang lainnya, aku didenda lebih besar. Katanya sih karena aku sudah sering ditangkap. Itu tak soal, karena aku punya uang.
Terakhir, ketika Andi juga menghilang. Yang menurut temanku ditangkap polisi karena mencopet di pasar, aku kembali terkena razia. Aku hanya bisa menangis, ketika ibu yang mengenakan baju hakim mengetukkan palu dan menyebut angka 1 juta rupiah.
Aku hanya sanggup menggeleng ketika seorang petugas yang bisa berkomunikasi denganku menanyakan apakah aku anggup membayar 1 juta rupiah Hakim sudah pergi ketika petugas menggiringku masuk penjara karena itulah pilihan yang ada.
Palembang, Oktober 2005
(Dimuat di Sumatera Ekspres, edisi Minggu, 19 November 2006)
Jembatan Bergincu
Di Bawah Jembatan
Hari masih pagi, matahari seperti enggan menampakkan kegarangannya. Tetapi lelaki separo baya dengan keruntung* di bahunya itu tampak bersemangat mencari tempat yang sepi. Untuk dia duduk, menggelar koran bekas yang memberitakan penggusuran, lalu diletakkannya keruntung. Dan mulailah dia memasuki babak baru yang tenang. Mimpi.
Suara dengkurnya tidak pernah disadarinya dan diketahuinya. Tidak seperti para pejabat yang beruntung diberitahu oleh istrinya bahwa dia mendengkur. Meski awalnya akan marah karena biasanya dia selalu menertawai bawahannya yang tidur mengeluarkan liur** dari sela bibirnya dan mendengkur saat rapat di kantornya. Sang istri akan disembur kalau menyebutnya seperti itu.
Ini berbeda dengan lelaki yang dulu pernah punya istri tapi jarang digaulinya dan jarang bersemuka. Karena dirinya harus meninggalkan wanita itu di malam pertama, usai akad nikah tanpa pesta perkawinan. Dia harus buron karena perbuatannya sendiri merampok, menggarong, dan perbuatannya tercium petugas. Ternyata biaya nikah dan menghidupi istri dan keluarga istrinya atas perbuatannya itu.
Ada memang, dua minggu setelah itu dia kembali ke rumah mertuanya sembunyi-sembunyi di malam hari. Selama dua bulan, dia aktif mengetuk pintu di malam hari. Perasaan was-was menggelayutinya. Sehingga meski kewajiban untuk kebutuhan lain-lainnya selalu rutin, kebutuhan biologis terkadang tak terlaksana. Kalaupun bisa, cuma sekedarnya. Sampai akhirnya karena kondisi sangat tidak memungkinkan, desa tempat kelahirannya di daerah Muaraenim yang berjarak sekitar 150 km dari Palembang pun ditinggalkan sepenuhnya. Yang mencarinya bukan cuma polisi tetapi juga para korban yang sebagian ada yang sempat mengenalinya ketika beraksi.
Kini di perantauannya telah belasan tahun dia tak pernah melihat rupa istrinya, Arlena. Entah masih merasa menjadi istrinya, sudah pernah menimang bayi atau sudah menjadi istri orang.
Dalam tidur pun, lelaki yang jarang dipanggil namanya karena dia lebih sering dipanggil dengan sebutannya, tukang keruntung, tak pernah memimpikan istrinya. Meskipun kalau tertidur dia selalu nyenyak dan tak pernah absen bermimpi. Memang, suara bising kendaraan yang lalu lalang di atas Jembatan Ampera, entah itu motor kreditan atau mobil mewah, baginya itu tak mengusik. Dia selalu lancar bermimpi.
Mimpinya selalu indah. Meski terkadang sedikit menyeramkan. Tak seperti hidupnya yang terlunta-lunta, tak sedikit pun indah, bahkan semuanya suram. Tak ada tempat berteduh, kecuali di tempat-tempat umum yang sepi. Bukan tempat-tempat sepi yang umum. Yang biasa digunakan orang-orang berduit. Yang biasanya bosan tidur di rumah, lalu menginap di hotel.
Dalam mimpinya kali ini, Djakfar melihat dengan jelas dia menjadi walikota. Lalu dengan kekuasaannya dia memanfaatkan jembatan bukan sekadar untuk tempat berteduh dari matahari pagi atau dari hujan yang datangnya terlalu cepat.
Dia mengubah aturan yang ada. Kalau sebelumnya tidak boleh berjualan di atas jembatan yang dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang itu, kini diperbolehkannya. Menurutnya itu sesuai dengan nama jembatan, Amanat Penderitaan Rakyat yang disingkat Ampera. Asal membayar karcis melalui retribusi dan menambah kas daerah yang kemudian digunakan untuk mengusir pedagang kaki lima, menggusur pengemen atau mengembalikan pengemis ke asalnya, di desa sana, maka semuanya tidak ada yang tidak boleh.
Kalaupun ada larangan yang diatur melalui peraturan daerah diputuskan oleh dewan perwakilan rakyat, maka dia berani membuat aturan istimewa. “Itu namanya, aturan khusus,” ujar Djakfar kepada para pendemo yang menolak keputusannya.
“Seperti keputusan saya menerima kalian para pendemo yang melakukan aksi di saat hari libur. Kan mestinya tidak boleh mendemo saya saat saya sedang lembur hari ini. Besok saja, mestinya. Tetapi saya akan salah kalau tidak menerima warga yang telanjur datang. Padahal, kamu kan mestinya tidak harus datang ke saya. Datangi saja, ketua RT yang telah membantu petugas pendataan. Mereka itu yang membuat nama-nama kalian tidak masuk daftar penerima dana kompensasi BBM,” ujar Djakfar berwibawa yang saat itu mengenakan safari lengkap dengan kopiah ketika menerima warga miskin memprotes banyak orang kaya yang menerima, sementara mereka yang miskin justru tidak terdata. Sehingga tidak bisa ikut antre di kantor pos untuk mencairkan duit yang jumlahnya lumayan.
Yang lebih menyakitkan lagi, mereka yang antre di kantor itu banyak yang pakaiannya mahal. Sakitnya lagi, begitu mendapat dana itu, mereka langsung menghabiskannya di pasar swalayan. Sebenarnya sama juga seperti mereka yang miskin namun beruntung terdata dan bisa mengantongi uang itu. Umumnya mereka pun langsung menghabiskan uang tersebut untuk belanja-belanja. Mumpung ada duit.
Walikota sendiri saat itu tidak melihat Djakfar ada dalam rombongan warga itu. Padahal, sebagai tukang keruntung, dengan penghasilan yang sangat kecil bahkan untuk membeli kompor pun tak sanggup, dia tergolong individu prasejahtera. Bukan keluarga prasejahtera karena setahu orang memang belum berkeluarga.
Memang, saat itu Djakfar sengaja tak ikut karena dia bermain dua kaki. Sebagai pemimpi sekaligus pemimpin, sang walikota. Sebagai tukang keruntung, Djakfar rutin mengunjungi warung kopi yang tak beratap di pinggir Sungai Musi. Kalau ada duit dia memesan kopi cangkir besar. Lalu mengambil pisang goreng. Kalau lagi buntu, dia memesan air putih panas, lalu mengambil serpihan pisang goreng.
Warga yang tak melihat respon walikota, tapi mengartikan sika pemimpinnya itu hanya berkilah, menjadi emosi. Lemparan batu pun bertubi-tubi. Masih untung, puluhan polisi pamong praja langsung mengelilingi Djakfar. Para asisten dan kepala dinas juga ikut memasang punggung. Sehingga lemparan itu tak mengenai target. Tetapi badan dan kepala pelindung walikota tetap kena. Benjol dan berdarah. Walikota sendiri selamat. Tetapi dia justru tertimpa rubuh pelindungnya yang berjatuhan menimpanya. Untung Djakfar terbangun.
Dia mengusap matanya. Kepalanya mendongak ke atas. Suara gemuruh seketika terdengar. Rupanya suara teriakan warga perkampungan Arab di Ulu dan Ilir Palembang sangat keras. Dengan terbangan*** mengiringi lagu padang pasir mereka pun berorasi bergantian.
Menolak pembangunan jembatan baru yang direncanakan pemerintah dan bakal menggusur kampung mereka. Rencananya warga dari Ilir Palembang menjemput warga Ulu Palembang di atas Jembatan Ampera. Lalu mereka bersama-sama berorasi di atas jembatan Ampera yang kini namanya kalah besar dibanding merek rokok yang bereklame di salah satu tiang pancangnya yang menghadap ke kota.
Para pendemo yang berjenggot an berkumis serta rata-rata berhidung mancung dan umumnya mengenakan sorban ini pad apoin pertama tuntutannya mempertanyakan kenapa pemerintah tidak pernah membangun Musi I. Dan kini setelah membangun Musi II lalu berencana membangun Musi III. Poin kedua juga begitu. Dan poin ketiga tuntutan itu juga sama bunyinya.
“Harusnya konsisten dong. Jangan loncat-loncat dari II ke III tanpa ada I. Kalau naik tangga, bisa kepleset. Mencari uang boleh, tapi ente jangan begitu dong caranya,” teriak koordinator aksi yang tak mau menyebut identitasnya kepada wartawan, padahal namanya tertulis di bed nama yang tergantung di lehernya. Sayang sang wartawan tak bia membaca tulisan Arab, nama itu pun tak diketahuinya.
Jumlah pendemo makin bertambah, jembatan makin sesak. Wajar Djakfar pun berlari melintasi Nusa Indah melihat langsung dari dekat suasana demo.
Kepala Dinas Perhubungan yang ditanya wartawan membuat pernyataan, inilah perlunya membangun jembatan baru. Kalau ada demo seperti ini, sopir tidak menyumpah serapah karena jalanan macet. Kalau Musi II macet juga, masih ada Musi III.
Sayang, keesokan dapati dipastikan pernyataan pejabat itu tidak ditulis wartawan karena beritanya dikalahkan oleh banyaknya korban yang berjatuhan saat demo.
Tak lama kemudian, tiba-tiba baliho bergambarkan merek rokok yang sudah terpasang selama lebih kurang tiga bulan runtuh mengeluarkan suara yang bergemuruh. Bisa dibayangkan, para pendemo pun bubar dengan sendirinya tanpa diminta. Tuntutan mereka belum sempat didengar walikota maupun gubernur dan juga anggota dewan.
Sebagian tak sempat menyelamatkan diri. Ada yang berdarah-darah, tertimpa baliho dan kerangka besinya. Ada yang patah kaki dan tulangnya. Ada yang tewas seketika. Dan banyak juga yang meninggal karena terinjak-injak.
Ambulans tak bisa mencapai lokasi karena dertean kemacetan cukup panjang. Kalau ke arah pasar mencapai Km 5. Ke arah Kertapati mencapai Stasiun Kertapati dan ke arah Plaju mencapai Nagaswidak. Sementara ke arah Jakabaring mencapai Stadion Gelora Sriwijaya.
Djakfar lah yang kemudian mengerahkan rekan-rekannya yang tidak banyak lagi sejak Pasar 16 Ilir digusur dan dipindahkan ke Jakabaring, untuk mengangkut para korban. Awalnya teman-temannya enggan membantu kecuali dengan perjanjian satu kali mengangkut ongkosnya berapa. Ditentukan terlebih dahulu. Lalu pembayarannya dipastikan di muka atau di belakang atau di bawah tangan. Djakfar yang berpengalaman menjadi walikota dalam mimpinya terpaksa berorasi sebentar dan menjanjikan bahwa para tukang keruntung nanti akan dibayar dengan kupon kompensasi BBM.
Para tukang keruntung berlari membawa keruntungnya. Mereka spontan tergerak membantu bukan karena janji akan dibayar tetapi lebih kepada sentuhan nurani melihat para korban yang berkaparan. Belum tuntas Djakfar berbicara sebagian sudah mengangkut korban.
Bantuan terpaksa manual. Para korban diangkut berlari dengan keruntung. Tempat terdekat Rumah Sakit Benteng. Setelah penuh, ke Charitas. Baru setelah itu ke Rumah Sakit Umum yang sebagian dokternya sedang mogok kerja menolak keberadaan direktur utamanya. Untung, ruang emergency masih buka. Terakhir ke RS Siti Khadijah. Tidak muat, kemudian ke rumah bersalin-rumah bersalin yang ada.
Proses pengangkutan ini sendiri tidak lancar-lancar seperti yang dibayangkan. Karena mereka tak pernah mendapat pelatihan. Apalagi, banyak tukang keruntung yang tidak hapal jalan menuju rumah sakit dimaksud. Belum lagi, keributan sempat terjadi karena penentuan lokasi ternyata tidak sesuai dengan prosedur mestinya dikirim ke rumah sakit umum dulu, kalau sudah tak mampu dan tak tertampung baru ke rumah sakit lainnya. Kali ini memang semuanya menggunakan logika terbalik dan serabutan.
Berkat bantuan tulang keruntung dan kepiawaian petugas mengatur lalu lintas akhirnya lalu lintas menjadi lancar. Barulah suara sirine ambulans terdengar di dekat Jembatan Ampera. Djakfar pun terbangun mendengar sirine ambulans yang mengangkut jenazah seorang pejabat yang meninggal karena penyakit jantung. Iring-iringan kendaraan lumayan panjang.
Tidak ada kejadian penting di atas jembatan Ampera. Kecuali beberapa orang turun dari mobil dan tampak berfoto sejenak. Lalu, seketika hujan turun deras. Reklame itu masih terpampang dan di bawahnya puluhan pengendara motor berteduh dari basahnya hujan. Memakan sebagian jalan. Begitupun pejabat Dinas Pekerjaan Umum di kantornya sedang memberikan keterangan kepada wartawan bahwa Jembatan Musi III siap dibangun. Dana ganti rugi telah disiapkan. Kalaupun ada aset budaya dan aset sejarah yang tergusur akan dipindahkan ke lokasi lain.
Sementara Djakfar, rupanya setelah sempat terbangun, kembali meringkuk di samping keruntungnya. Karena baginya memang percuma menunggu orang memanfaatkan jasanya. Bawah jembatan itu sedang dibangun proyek wisata. Pedagangnya saja tidak ada lagi, apalagi pembeli.
Djakfar terlihat tersenyum. Dia sedang berada di ruang pendaftaran kursus bahasa Inggris minta brosur dan formulir pendaftaran. “Saya harus kursus bahasa Inggris biar nanti bisa menjadi pemandu wisata. Kalau boleh sih, untuk biaya kursusnya saya jual keruntung dulu,” ujarnya dalam hati.
Jangankan mendapat uang, Djakfar justru diangkut ke kantor polisi. Karena orang yang ditawarinya dan akhirnya membeli keruntung itu adalah anak pemilik keruntung. Dia pun digiring ke polisi dengan ancaman menjual barang yang bukan miliknya. Termasuk anak bos pun digiring dengan sangkaan menjadi penadah.
Kepada polisi, Djakfar mengatakan bahwa dia menjual keruntung tidaklah salah. Yang salah itu orang yang membuat dirinya tidak bisa lagi mencari uang dengan keruntung. “Pasar itu digusur. Gimana saya mendapat uang. Tidak ada lagi pembeli dan penjual di sana.”
Akhirnya Djakfar dan anak bos pemilik keruntung dibebaskan. Keruntung pun dikembalikan ke pemiliknya. Tetapi, sang pemilik ternyata tidak mau menerimanya kembali karena dia sudah alih usaha, menjadi pemilik pangkalan minyak tanah dan tak lama lagi akan jadi agen gas elpiji. Soalnya untuk mengimbangi rencana pemerintah melaksanakan konversi minyak tanah ke gas. “Usaha ini akan lebih menguntungkan,” ujarnya kepada polisi. Karena itu pula dia memohon Djakfar dan anak kandungnya dibebaskan. Dia mencabut kembali pengaduannya.
Terpaksalah, Djakfar membawa kembali keruntung yang sudah menjadi miliknya ke bawah jembatan “Siapa tahu saya tidak mimpi lagi. Tempat itu sudah jadi tempat hiburan para bule dan jembatan Musi I telah dibangun, lalu Musi III pun terlihat dari Musi I,” pikir Djakfar sederhana.
Dia lupa Jembatan Ampera tak bisa lagi jadi tempat mangkal. Tidak akan ada lagi tempat baginya untuk tidur pagi hari. Jangankan malam atau sore, tidur pagi saja tidak bisa lagi.
Palembang, November 2005
*Keranjang terbuat dari rotan yang dibantungkan di bahu dan digunakan untuk mengangkut berbagai jenis barang.
**Dikenal juga dengan istilah ludah basi, air ludah yang keluar dari sela-sela bibir saat tertidur dan biasnya akan mengering dan membekas ketika bangun.
***alat musik berbentuk bulat dilapisi kulit keras seperti gendang. Dipinggirnya biasanya ditambah kuningan atau kaleng untuk menambah bunyi kerincingan. Biasanya digunakan untuk mengiringi musik daerah yang biasanya ditampilkan mengarak pengantin.
(Dimuat di Sinar Harapan edisi Minggu, 22 Desember 2007)
Bertopeng Gincu
Tubuhnya memang lumayan ramping. Putih dengan sedikit bakat*. Itu pun hanya di tulang kering, kenangan masa kecil yang nakal, dan sedikit tomboy. Saat mandi hujan bersama anak seumuran, terjatuh. Terus berlari dan tak terasa kalau ada pecahan beling menyentuh tulang keringnya. Ketika hujan berhenti, barulah diketahui banyak darah mengucur dari lukanya. Akibat nakal, luka itu terus menganga dan bernanah akhirnya menjadi koreng.
Bekas nanah mengering sering terlihat mengerubungi borok itu yang terkadang ditutupi dengan kertas yang diikat dengan karet. Bocah itu tak peduli dengan sakit ngenyut-ngenyut di kakinya. Saat hujan turun, dia tetap basah-basahan. Waktu pelajaran olahraga, dia ikut main bola dan menjebol gawang lawan. Luka itu pun kembali berdarah.
Orang tuanya yang Ketua RT tidak tahu kalau anaknya, Lia atau nama lengkapnya Sri Meliawati terluka saat mandi hujan. Sepengetahuannya, anak nomor duanya itu tidur siang ketika petir dan kilat begitu ramai sebelum hujan turun.
Begitupun ibunya, yang berjualan ikan di pasar pagi Pasar 16 yang kini menganggur karena lokasi berjualannya telah digusur, sementara untuk pindah di Jakabaring, rasanya tak mampu karena sepi pembeli. Yang banyak justru pedagang yang termangu menunggu pembeli. Jangankan menawar, batang hidungnya pun sangat jarang terlihat. Ibunya tak tahu kalau anaknya yang berhidung mancung dengan alis lebat itu punya luka di tulang keringnya.
Apalagi, memang meski masih kelas I sekolah dasar, Lia tergolong mandiri. Mulai dari mandi sampai mencuci dia lakukan. Bahkan, pakaian kakaknya yang sulung dan adiknya yang belum sekolah pun terkadang dia yang mencuci. Karenanya, wajar kalau kedua orang tuanya tak begitu memperhatikan jalannya yang sedikit pincang. Karena selama ini ditegarkan ketika melewati ayahnya yang sedang menerima tamu yang mengurusi soal jual beli beras untuk rakyat miskin, saat mau pergi sekolah.
Luka itu memang lumayan besar. Terkadang nanah meleleh dari luka itu. Lalat tampak mengerubungi nanah yang menembus kaos kaki putih yang membungkus luka itu. Kalau saja, tidak ditutup kaos kaki yang mengakibatkan lengket dan saat melepas kaos kaki kembali koreng itu menganga, mungkin tidak akan membusuk. Begitupun kalau diberi obat salep atau antibiotik, mungkin hanya seminggu sudah sembuh.
Tetapi, Lia bisa menyimpan luka itu hampir tiga bulan. Dan orang tuanya tak tahu. Kalaupun akhirnya sembuh, itu lebih karena tubuhnya yang kecil masih memiliki antibody dan sekolahnya libur. Hingga ahirnya luka itu mengering karena dia tak perlu lagi mengenakan kaos kaki. Alih-alih, dia mengenakan celana panjang terus biar tidak dilihat orang tuanya. Melhat dia sering mengenakan celana panjang, ibunya tampak senang karena berpikir anaknya sudah besar. Sayang dia tidak berjualan lagi sehingga tidak bias membelikan celana panjang baru.
Prestasi belajar Lia sesungguhnya biasa saja. Yang menarik mungkin hanya kepandaiannya membuat topeng. Saat pelajaran keterampilan, dia dinilai sangat bagus oleh gurunya. Karena karya topeng kertasnya lumayan bagus. Dan topeng itu pun dikenakannya.
Dia tampak lebih dewasa menganakan topeng itu. Apalagi, dengan gincu** milik ibunya, gambaran bibir di kertas itu tampak sangat menyala. Merahnya memang sangat merah. Lia tidak tahu kalau gincu itu dikenakan ibunya setahun sekali. Dan olehnya, ketika membuat topeng, gincu yang dibalut plastik warna biru itupun tinggal separo.
Ibunya yang baru pulang berjualan sempat terkejut ketika masuk rumah melihat orang yang mengenakan topeng. Dia mengira anak kecil yang duduk di ruang tamu itu anak tetangganya yang kemarinnya mencuri uang di dompetnya.
Hampir saja dia beraksi. Kalau saja Lia tidak membuka topeng, mungkin cubitan sudah mampir di pinggangnya.
Begitu juga dengan ayahnya, yang sedang sibuk menghitung angka fiktif penyaluran beras untuk rakyat miskin, sempat mengelus dada ketika menoleh ada orang mengenakan topeng.
Dikiranya anak tetangga yang dua hari sebelumnya menangis minta bagian beras yang memang hak mereka. Namun, dijawabnya bahwa beras sudah habis disalurkan. Padahal, sebagian besar dijualnya ke warung langganan.
Tangan kirinya yang memegang rokok kretek yang hampir habis, sempat tersentak dan jatuhlah potongan rokok yang sebenarnya masih sangat nikmat untuk diisap. Tangan kanannya menutupi angka-angka jumlah beras. Kesalnya seperti sudah di ubun-ubun, ingin mengambil puntungan rokok yang masih dua hisapan lagi jelas tak bisa karena kedua tangannya difungsikan untuk pekerjaan lain.
Memastikan itu anaknya, dia pun hanya menggelengkan kepala sembari mengambil puntungan rokok yang masih menyala dan jatuh di sendal jepitnya. Sayang, puntungan rokok itu membakar sendal dan apinya telah padam. Tak bisa dirokok lagi karena lelehan karet melekat kuat di atas bekas bara api di ujung rokok yang ukurannya sudah sangat pendek.
Dia pun menarik topeng yang dikenakan Lia. Karetnya putus. Topengnya robek. “Anak nakal mengagetkan orang tua saja. Nih belikan bapak rokok,” ujarnya sedikit geram.
Lia langsung memerah matanya. Entah karena disuruh membei rokok atau topengnya yang dirusak. Yang jelas, dia mengambil uang lalu berlari. Dan taklama kemudian kembali dengan setengah bungkus rokok di tangannya.
Di tangannya masih tersisa robekan topeng. Tampak tanda tangan gurunya dan coretan nilai 9 di topeng itu juga ikut terkoyak. “Yah,” gumamnya lemah.
Sampai menamatkan SMA, Lia memang tergolong anak yang penurut. Tak diberi ongkos untuk sekolah, dia berjalan kaki ke sekolahnya yang lumayan jauh. Untung memang teman-temannya banyak juga yang berjalan kaki.
Tubuhnya berkembang bagus. Meski sering berjalan kaki ke sekolah, betisnya tidak besar. Ramping dan tetap mulus. Soalnya, di bawah rok seragamnya, dia rajin menutupinya dengan kaos kaki.
Di kelas tiga, dia mulai mengenal perasaan menyenangi lawan jenis. Beruntung, sang cowok, Gandi ternyata juga memang sering meliriknya. Jadilah mereka pun sering belajar bersama. Kalau ada pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama. Kalau tidak di rumahnya, ya di kosannya Gandi.
Saling senyum, saling lirik dan saling bantu memecahkan sulitnya pekerjaan rumah ataupun tugas dari guru, membuat keduanya tanpa disadari mengenal ciuman. Lalu raba-rabaan. Sampai akhirnya, tak sengaja keduanya pun melakukan hal yang sebenarnya tak boleh dilakukan.
Itu semua berlangsung tanpa rencana. Lia pun tak menyesal. Karena dia merasa Gandi selalu meperhatikannya. Hingga pengumuman kelulusan, keduanya masih terlihat berduaan. Sampai akhirnya, Gandi yang merantau dipanggil orang tuanya untuk kembali ke kotanya di Tanjungkarang, Lampung.
Hubungan melalui surat masih berlangsung hingga bulan ketiga keduanya berpisah,. Sampai akhirnya, mulai jarang dan tak ada sama sekali komunikasi.
ia sendiri tak lagi mempersoalkan Gandi. Apalagi kini dia telah sibuk dengan pekerjaan barunya, di counter hand pone. Gajinya lumayan kecil. Untuk kebutuhannya sebenarnya tidak cukup. Tapi tepas saja dilakoninya.
Di kesibukannya dia berkenalan dengan seorang pegawai negeri yang cukup royal. Yang selalu memberi uang lebih saat membeli pulsa. Kembali Lia tersentuh dan dia pun tak menampik bantuan dan harapan sang PNS, Imam.
Ternyata gaung bersambut. Seiring memngalirnya bantuan berupa uang maupun hadiah lainnya, rayuan Imam pun semakin maut. Bisa ditebak, keduanya pun berpagutan.
Lia tak serius lagi bekerja, waktunya lebih banyak untukImam. Dia pun akhirnya memilih berhenti bekerja. Setiap hari dia masih pergi kerja. Tetapi kakinya kini engarah ke rumah yang disewa Imam.
Kedunya ibarat pengantin baru. Lingkungan di rumah susun tempat keduanya menyewa, termasuk tak pedulian.
Sampai akhirnya terjadi ribut besar di rumah sewa mereka. Ketika seorang wanita datang diam-diam dan bersuara lantang beberapa menit kemudian. Yang mengejutkan para tetangga dan Ketua RT setempat. Baik Lia maupun Imam tak bisa lagi berkata-kata.
Pak RT pun mendamaikan. Mereka tak menyangka kalau keduanya belum menikah. “Saya kira mereka sudah menikah. Abis kayak pengantin baru,” ujar Pak RT lemah.
Lia pucat. Apalagi kemudian orang tuanya diminta didatangkan untuk menyelesaikan persoalan itu di kantor polisi. Ternyata tak cukup hanya di tangan Pak RT.
Sebagai istri Imam, ternyata wanita itu tak menerima perbuatan sang suaminya. Dia bahkan telah melapor polisi.
Di hadapan orang tuanya, Lia hanya terdiam di sudut ruangan. Dia tak berani menatap mata ibunya. Apalagi memeluknya untuk mencurahkan perasaan. Terlebih kepada ayahnya yang ternyata saling kenal dengan Ketua RT. Karena mereka sering ketemu saat demo menuntut tunjangan ketua RT di kantor Walikota.
Ayah dan ibunya diam dalam geram. Tak bisa menerima kenyataan yang ada. “Habis saya, kalau begini. Aku tak bisa menerima,” hanya itu yang terdengar dari mulut ayah Lia.
Dia sempat bersitegang dengan istrinya ketika pulang tanpa Lia. Tetapi, sang istri hanya menurut.
“Ayo pakai gincu dan bedakmu. Masak polos begitu. Ada job tu,” ujar seorang wanita yang menjabat GM*** di kosan mentereng tak jauh dari kampus perguruan swasta di Palembang.
Lia pun terkejut. Lamunannya lepas. Kini dia telah siap mengenakan topengnya, ditambah gincu. Apapun yang dialaminya dia harus tersenyum. Suka atau tak suka. Nanti lembaran uang pun akan mengalir ke kantongnya setelah dipotong oleh GM untuk ongkos taksi dan biaya tetek-bengek lainnya.
Topeng itu telah menyatu dengan dirinya. Saat dia berbelanja di mal menghambur-hamburkan uang, orang pun tak menyangka dia mengenakan topeng.
Kecuali lelaki yang pernah tidur dengannya. Jelas sekali, kepolosan di tubuhnya sekalipun. Apalagi, ketika memorinya terbayang ke kamar hotel tempat mereka pernah bergumul.
Hanya ketika di kamar sendirian, Lia terkadang menangis. Dia masih berpikir untuk sujud ke kaki orang tuanya. Lalu sujud di sejadah meminta ampun di hadapan Allah SWT. Namun entah kapan. Meskipun dia masih pandai mengaji dan fasih bacaan salat. Serta hapal jalan ke rumahnya.
Palembang, November 2007
*Bekas luka yang membekas di kulit.
**Lipstik
***Istilah di kalangan wanita panggilan untuk menyebut germo.
(Dimuat di Tabloid Desa Edisi 92/16-31 Juli 2008)
Mimpi pun Usai
Djakfar, seorang wartawan muda yang sangat aktif dan sangat menghargai waktu, mestinya memilih pendamping hidup dari kalangan perempuan yang mampu menerimanya apa adanya beserta keidealismeannya dalam menjalankan pekerjaan.
Sayang, jodohnya ternyata wanita yang gemar bermimpi dan selalu berkhayal menjadi orang yang serba berkecukupan dalam kehidupan. Akibatnya, suaminya dipaksa memenuhi keinginan-keinginannya. Tak peduli termasuk pelanggaran kode etik atau bukan. Karena dalam benak sang istri, kode etik wartawan itu untuk suaminya. Bukan untuknya. Maka, tak salah kalau dia melakukan apa yang diperaninya sekarang. Untung sang suami bisa bertahan, meski harus banyak melalap hatinya. Bukan sekadar makan hati.
Terkadang, sambil menulis berita di kantornya, Djakfar sering menggerutu dan berteriak. Setahu teman-temannya itu karena dikejar deadline. Padahal, dia sesungguhnya menyesali mengapa dulu terlalu buru-buru melamar wanita yang baru dikenalnya sekitar lima bulan. Sayang , sekarang semuanya diangapnya telah terlambat. Apalagi, seorang putri telah hadir di tengah mereka.
Yang sering menangis tengah malam saat dia pulang ke rumah. Baru akan memelekkan mata, tangisan putrinya membuatnya terbangun. Setengah terpejam, dia menjawil istrinya agar mengelus kepala sang putri.
Terkadang jawilan itu justru membuat suasana menjadi lain. Karena sesungguhnya tak ada waktu di siang hari untuk bermesraan. Nah, waktu itulah merupakan kesempatan untuk menikmati rasa memiliki istri.
Terkadang pekerjaan belum selesai, sang putri terbangun kembali. Terpaksa pekerjaan suami-istri itu dihentikan terlebih dahulu. Sambil memandang sang istri yang menyusui pewarisnya, Djakfar tersenyum sendiri.
Dan, kenangan pun berlabuh pada masa lalu saat pacaran. Ketika perempuan yang dia nikahi itu masih memiliki pandangan sama dengan dirinya dalam melihat kehidupan rumah tangga. Ketika Djakfar mengajaknya menikah, itu terjadi dua tahun lalu, jurnalis ini sudah menjelaskan bahwa ia berbeda dengan rekan-rekannya yang lain yang tampak lebih mewah kehidupannya.
Ia ceritakan apa-apa yang tidak dia sukai termasuk rekan-rekannya seprofesi yang memanfaatkan kesempatan dari orang-orang yang gila publikasi ataupun mereka-mereka yang punya jabatan dan kekayaan namun takut kalau belangnya diketahui umum.
”Saya tidak bisa menikmati hidup dengan memanfaatkan ketakutan orang-orang. Atau mengambil manfaat dari orang yang ingin dipuji-puji dengan tulisan yang manis-manis dan mampu membubung ke langit,” kata Djakfar. Masih banyak hal yang dijelaskan Djakfar sebelum perempuan itu dia nikahi, dan semuanya diungkapkan agar perempuan itu memahami orang seperti apa yang akan menjadi suaminya kelak. Selain tak mungkin kaya, juga sangat sedikit punya waktu untuk keluarga.
Selayaknya para gadis muda yang selalu terlihat lugu dan terkesan sangat memaklumi Djakfar, perempuan itu mengangguk-angguk. Dari caranya mengangguk, Djakfar menarik kesimpulan bahwa perempuan itu mengerti dan paham kehidupan seperti apa yang akan dilakoni jika menjadi istri seorang wartawan.
Tapi, setelah berjalan dua tahun dan seorang anak hadir di antara mereka, segalanya berubah termasuk cara perempuan itu berpikir dan memandang kehidupan ini. Tiap sebentar ia selalu mengeluhkan perabotan-perabotan yang kurang lengkap dan tidak seperti milik teman-teman seprofesinya suaminya yang lain.
”Soal pekerjaan sama, tetapi perabotannya lebih komplit. Ada tv, kulkas, VCD, handphonenya bagus, sepeda motor, bahkan mobil. Kita apa, makan saja susah,” itu yang kerap menjejali telinga Djakfar.
Mula-mula Djakfar mengingatkan istrinya tentang komitmen mereka saat berpacaran, teapi istrinya selalu mematahkan kalimat-kalimatnya dengan mengatakan, ”Itu dulu, sekarang lain.” Terkadang ketus, seringkali sedikit manja. Istrinya juga membuat perbandingan-perbandingan sehingga Djakfar sangat terpukul, kecewa, dan tak bisa berkata apa pun.
Perubahan istrinya yang drastis membuat Djakfar tidak bisa menerimanya dan menjadi sangat terpukul, tetapi tidak membuat wartawan itu kehilangan akal sehat. Di luar rumah, dalam menjalankan pekerjaannya, tetap saja sebagai wartawan yang baik dan jujur. Kejujurannya itu sudah diketahui teman-teman seprofesinya, dan mereka menyebutnya sebagai wartawan yang idealis dan tak kenal kompromi. Alias bodoh. Meskipun ia sering mendengar julukan itu ditujukan kepadanya, tidak membuatnya tersinggung karena ia berpikiran sebaliknya, rekan-rekannyalah yang keliru.
Kekeliruan mereka adalah kekeliruan seorang manusia yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya, sehingga semua yang mereka lakukan dikerjakan tanpa memedulikan hati nurani. Sikap seperti itu membuat Djakfar tetap bertahan meskipun rekan-rekan seprofesinya mengucilkannya, memperlakukannya seperti orang yang memiliki banyak kesalahan dalam hidup dan seolah-olah kesalahan-kesalahan itu tidak bisa lagi dimaafkan.
Sungguh, kalau bukan Djakfar, pastilah perlakuan-perlakuan seperti itu sudah lama menimbulkan persoalan besar. Djakfar sadar betul soal itu meskipun tidak pernah mempersoalkannya, dan tetap berlaku seperti biasanya karena ia yakin tidak ada kesalahan dari apa yang pernah dilakukannya selama ia masih berada dalam jalur yang sudah digariskan profesinya. Satu-satunya kesalahan yang disadari betul adalah membiarkan rekan-rekannya menganggapnya selalu melakukan kekeliruan dalam hidup.
Bukan berarti ia tidak pernah berusaha meyakinkan mereka bahwa anggapan mereka itulah yang keliru, tetapi setiap ia berupaya menjelaskan hal itu mereka langsung menunjukkan sikap tidak senang. Tidak jarang mereka langsung marah-marah, mengajak Djakfar berkelahi seperti anak kecil yang cepat naik darah karena mainannya direbut. Kalau sudah begitu, Djakfar biasanya memilih diam, membiarkan seribu caci-maki ditujukan kepadanya. Karena sudah terbiasa, ia tidak akan gampang tersinggung, malah tersenyum lebar sambil mengerjakan pekerjaannya yang tak habis-habisnya. Mengetik di keyboard komputer. Kalau saja menggunakan mesin tik, pastilah tuts huruf akan ditekannya keras-keras.
Karena komputer, ia takut rusak. Kalau rusak, biasanya dibebankan kepada pengguna komputer. Dipotong gaji. Karenanya, dia tetap pelan-pelan menekan huruf dan angka di keyboard komputernya. Pelariannya, cuma sekadar main game sambil maling-maling waktu. Karena main game pun kalau ketahun akan dipersoalkan saat rapat bulanan. Apalagi, kalau saat tiba deadline ternyata masih ada berita yang masih diketik. Kambing hitamnya pastilah karena ada yang sering main game saat jam kerja.
Djakfar tidak pernah berubah. Ia tegar dan kuat mempertahankan prinsip-prinsipnya. Ia tidak memosisikan diri untuk selalu mendukung kerja pemerintah dan menginformasikannya kepada masyarakat. Ia lebih mendengarkan dan memedulikan kepentingan rakyat banyak karena itu memang tuntutan profesinya. Ia lebih banyak melakukan kontrol sosial terhadap segala bentuk penyimpangan.
Kebutuhan anak dan istri terpenuhi, itu lebih dari cukup. Djakfar sadar ia cuma seorang wartawan yang terkadang bisa memperjuangkan orang lain tetapi tidak bias memperjuangkan diri sendiri. Terbukti, banyak rekan-rekannya yang begitu gagah memberitakan kekerasan ataupun penindasan bawahan oleh atasanya, tak mampu membela diri ketika di kantor mendapat perlakuan yang sama dari atasan.
Gaji kecil dan kebutuhan keluarga banyak. Istrinya, karena ia istri seorang wartawan, selalu ingin kelihatan seperti istri seorang pemilik koran.
Ia sudah memakluminya. Istrinya selalu membandingkan isi rumah mereka dengan isi rumah rekan-rekan yang biasanya dikunjungi saat arisan bulanan. Memang, kalau soal jam terbang, Djakfar tidak berbeda dengan rekan-rekannya. Tapi, soal kemewahan, jelas sangat menonjol perbedaannya. Rata-rata kawan-kawan seprofesinya, yang memulai profesinya sama, sudah punya berbagai macam harta benda mewah.
Djakfar tidak bisa seperti itu. Karena dia memang tak sanggup untuk itu. Ketidak-sanggupan inilah yang selalu menjadi alasan istrinya untuk memulai pertengkaran. Tentu saja Djakfar tidak suka istrinya bersikap begitu. Itu sebabnya ia tidak pernah meladeni dan membiarkan saja istrinya mengomel. Terkadang ia pikir, kalau sehari saja tidak mengomel, istrinya merasa belum lengkap sebagai istri. Makanya, ia biarkan saja sampai seluruh kata yang ada di kamus dia keluarkan, sampai ia muntah sekalian.
Djakfar tidak peduli. Ia kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Kalau tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, ia akan mengajak anaknya bercanda meskipun hal ini sering membuat istrinya bertambah marah. Ia akan menarik anak mereka dari tangannya, lalu kembali mengomel yang intinya menyuruh Djakfar keluar rumah melakukan apa saja yang bisa dilakukan agar ada uang tambahan.
Djakfar tidak bodoh, meskipun ia keluar juga akhirnya tapi dia tidak melakukan seperti yang diharapkan istrinya. Dia keluar ya mencari informasi. Lalu ke kantor menulis berita. Dan selama ini memang waktunya sangat padat.
Ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sambilan, takut justru nanti dia kebobolan berita. Media lain dapat berita dia justru tidak dapat. Bisa jadi, selain akan disemporot saat rapat redaksi dia juga bisa-bisa kena sanksi yang beragam. Dan itu sudah dilihatnya dierima rekan-rekannya sekantor.
Sebagai wartawan lapangan, Djakfar sudah ditugaskan di berbagai desk. Pernah di polisi, di rumah sakti, perbankan, pendidikan, kriminal, atau khusus membuat tulisan ringan.
Telah berkeringat darah rasanya dilakukan Djakfar. Dia pun telah beristri dua. Istri pertama, yang selalu ngomel dengan berbagai tuntutan, dan istri kedua adalah profesinya yang menuntut harus siap 24 jam dengan mata dan telinga terbuka maupun kaki dan tangan yang dalam kondisi siap. Dia telah berusaha untuk bersikap adil kepada kedua istrinya itu.
Namun darahnya itu rasanya tak cukup bagi kantornya. Apalagi, semakin hari ternyata, Djakfar seolah lesu darah. Liputan dan laporannya tidak bernas dan menarik lagi. Dari kuantitas, tak memenuhi target. Sampai akhirnya berdasarkan evaluasi terakhir, dia dinyatakan tak layak.
Percuma juga protes. Dengan status karyawan kontrak, akhirnya setelah kontrak terakhir lewat masanya, tak ada kekuatan untuk menahan GM di korannya untuk memutus kontrak.
Djakfar pun sesungguhnya masih bernasib lebih baik. Masih banyak rekannya yang lain ternyata justru bekerja tanpa sehelai kontrak pun. ”Masih mending saya, ternyata ada tiga kontrak kerja yang sempat saya pegang,” ujar Djakfar dalam hati menghibur dirinya dalam perjalanan ke rumah membawa berita pemecatannya.
Kini, tak ada lagi kata konfirmasi, cek dan ricek dalam kesehariannya. Justru yang melakukan konfirmasi adalah pihak kepolisian dan rumah sakit yang menanyakan ke kantor apakah benar sesosok mayat yang ditemukan menjadi korban tabrak lari masih wartawan dari media tersebut. Lalu kantor pun menginformasikan berita itu ke istri Djakfar, sebelum akhirnya berita naas itu pun dibaca banyak orang melalui surat kabar.
Palembang, 10 Mei 2008
(Dimuat di Agung Post, Juni 2008)
Menyulam Hari
Di Ujung Hari
Berat senjata dengan ransel di punggung memang tak pernah dirasakan Nurdin. Tetapi menembakkan senjata atau melemparkan geranat hasil sitaan dari Belanda pernah dilakoninya dulu. Dia sangat bangga kalau berhasil menewaskan tentara musuh. Entah itu Belanda maupun Jepang.
Masih terngiang di telinga Nurdin yang kini ditambah alat bantu dengar karena fungsinya sudah berkurang, dia begitu disambut saat masuk kampung. Seragamnya memang tidak berpangkat. Tidak ada papan nama di dadanya. Hanya ada bendera merah putih, itupun warnanya sudah pudar. Hanya merahnya yang semakin merah. Mungkin terkena percikan darah musuh.
Suasana tempat tinggal Nurdin kini, memang tenang. Hanya sesekali terdengar bunyi radio. Itu pun sayup-sayup, dari kantor yang terletak di bagian depan. Sementara Nurdin menempati bagian belakang, terdiri dari kamar-kamar. Ada kursi malasnya.
Selama ini, tak pernah ada kenangan masa lalu. Yang ada, hanyalah suara-suara yang masuk ke telinga Nurdin terdengar antara ada dan tiada. Terlebih kalau alat berwarna putih yang diselipkan ke lubang telinganya terkadang terlepas kala dia tiba-tiba tertidur di kursi malas.
Atau, kalau alat itu habis baterenya, maka Nurdin tak bisa mendengar apa-apa. Termasuk nyamuk yang terbang di sekitar kupingnya. Dia hanya bisa melihat, bagaimana teman sekamarnya juga sedang tertidur.
Kulitnya keriput. Kalau berjalan memakai tongkat. Ketika tertawa, giginya ternyata ibarat bayi. Tinggal gusinya saja. Sama seperti Nurdin, teman satu kamarnya itu punya menu istimewa, bubur nasi. Dengan kecap asin, plus telor setengah matang.
Dari sepuluh kamar tempat Nurdin tinggal sekarang, penghuninya kondisinya sama. Nurdin memang tinggal di panti wreda. Tak banyak yang bisa dibuatnya.
Juga teman-teman wanitanya yang kamarnya berada di ujung sebelah kiri. Mereka biasanya hanya duduk sembari merenda. Namun pekerjaan itu tak selesai-selesai.
Ada lagi sebagian, cuma duduk-duduk. Sembari menonton televisi di ruang tengah. Menuju ke ruang tengah, ada yang naik kursi roda. Tetapi, ada juga yang merangkak.
Mereka tertawa-tawa melihat anggota DPR sidang. Menangis saat ada iklan susu bayi. Kontras sekali dengan kondisi yang sebenarnya. Karena memang mereka sudah sulit mengartikan apa yang dilihat dan didengar.
Di kalangan orang-orang tua, Nurdin merasa paling jagoan. Dia selalu ingin memimpin. Tak boleh ada yang mendahului saat makan.
Nurdin tetap merasa dia adalah komandan di lapangan. Yang selalu memberi komando. Perintahnya, selalu dikumandangkan. Entah ada atau tidak yang melaksanakan. Karena dia sendiri tak bisa mengontrolnya lagi.
Berbeda dengan ketika dia masih muda dulu. Dengan dada bidang, kulit hitam terbakar matahari, Nurdin memang jantan. Pandangannya tajam. Kakinya kuat berjalan berkilo-kilo, menembus hutan, naik gunung, mnenyeberangi sungai.
Hidungnya tajam mencium bau musuh. Karenanya, dia selalu memang dalam pertempuran.
Sayang, Nurdin tak sempat menikah. Karena ketika Indonesia sudah merdeka, justru dirinya tak menemukan lagi keluarga. Pendengarannya yang rusak karena ledakan granat di dekatnya membuatnya tak bisa berkomunikasi dengan sempurna.
Sampai tua pun, Nurdin tak mempunyai pendamping. Kalaupun ada, bekas anak buahnya yang juga mendaftarkan dirinya sebagai anggota veteran.
Pagi ini, ketika batere alat pendengarnya baru diganti, dia mendengar pengumuman diadakan perlombaan tarik tambang memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.
Sontak, dia mengembangkan dada. Terlebih ketika terdengar lagu-lagu perjuangan. Mulailah Nurdin menghitung-hitung musuh yang dibunuhnya. Juga teman-temannya yang menjadi korban. Dia mau ikut tarik tambang.
Di lapangan bola tak jauh dari panti, memang ada gelaran memperingati hari kemerdekaan RI. Panitia setempat menggelar acara dengan engajukan propsal ke berbagai pihak. Ditambah bantuan sponsor, teriakan peserta yang menjadi pemenang sampai ke telingan Nurdin.
Bukan hanya lari karung. Ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, main gaple yang cukup ramai pesertanya.
Bantuan yang didapat, lumayan besar. Tetapi, hadiah yang dibagikan tak seberapa. Itu yang membuat bisik-bisik warga. Bahkan, ada yang nyaris berkelahi. ”Kamu jangan bicara seperti itu. Jangan bicara di belakang, kemaren waktu rapat, tak ada protes,” ujar Roni, anak Ketua RT yang menjadi ketua panitia menuding rekannya yang sebelumnya ikut sibuk mengantarkan proposal.
Teriakan-teriakan panitia mempertengkarkan bantuan untuk perayaan hari kemerdekaa kemudian reda. Itu tak terdengar oleh Nurdin. Dia hanya ingin ikut meramaikan. Apalagi, di depan panti dia melihat anak-anak berlompatan membawa hadiah kemenangannya.
“Saya pahlawan. Apa pahlawan tidak boleh ikut lomba tarik tambang? Saya mau ikut. Allah akbar,” teriaknya.
Nurdin berlari. Napasnya terengah-engah. Di belakangnya, dilihatnya pasukan musuh terus memburunya. Di depan, ada sungai membentang. Airnya deras. Ketika dia membalik, senjatanya tak berpeluru. Hanya ada geranat di pinggang. Dicabutnya geranat, lalu ditariknya picu. Sayang, geranat itu meledak di tangan. Nurdin sempat tersentak. Dia sadar itu adalah bayangan.
Dia kembali berteriak, “Allah akbar.”
Sayang, teriakannya sangkut di tenggorokan. Tak ada suara yang keluar. Nurdin hanya terhenyak. Seorang perawat mendekat. Diusapnya dada sang pahlawan dengan lembut. Tak biasanya, kali ini tak ada denyut nadi. Pas 17 Agustus 2004, Nurdin menghembuskan napas. Dia sudah menghitung jasa-jasanya. Tuhan juga pasti.
Palembang, 17 Agustus 2006
(Dimuat di Tabloid Desa Edisi 91/1-15 Juli 2008)
Menutup Hari
Tangannya tak sempurna lagi. Dari pergelangan hingga siku, terlihat jelas bekas luka. Bukan sisa perkelahian karena nakal, tetapi terkena granat tentara Jepang,
Begitupun kakinya, tak bisa lagi berjalan tegap. Karenanya, kalaupun dia tidak bisa menghormat kalau saja bertemu bekas komandan, bukan karena kurang ajar. Tetapi, memang tak bisa lagi mengangkat tangan dan langkahnya tak lurus lagi.
Di usia senjanya, lelaki yang dulu punya suara keras dan biasa mengomando anak buahnya untuk mengambil posisi ketika menyerang markas Jepang, memang tak segagah dulu lagi.
Disuruh berlomba jalan cepat dengan anak taman kanak-kanak pun dia bakal kalah. Tetapi tidak semangatnya. Sama seperti dulu, dia tidak mau bergantung kepada orang lain. Meski itu anaknya sendiri.
Karenanya, dia masih bisa marah ketika anaknya membelikannya rokok saat membezuknya. “Tak usah berbaik-baik. Aku tak menghisap rokok itu. Cukup rokok gudung* ini,” ujarnya menepis rokok kretek yang dibawa anak semata wayangnya.
Nurdin, demikian papan nama tertulis di depan rumah tua yang megah dan tua serenta pemiliknya, memang kini tinggal sebatang kara. Kalaupun anaknya tak tinggal di rumah itu, bukan karena anaknya tak sayang dengannya. Bukan pula karena dia tak ingin anaknya menumpang di rumah itu.
Tetapi, karena anaknya memang bekerja di daerah. Sebagai guru. Anak dan istrinya pun diboyong. Sementara sang ayah, bersikeras tak mau ikut.
Dulu, di rumah itu ada dua bahkan lebih anak saudaranya ikut tinggal. Menemani sekaligus disekolahkan. Kini, semuanya sudah menyelesaikan pendidikan. Dan dapat pekerjaan.
Dengan uang yang diterimanya bulanan karena tercatat sebagai pejuang, Nurdin memang bisa mencukupi kebutuhan. Ditambah tabungan hasil bisnisnya.
Karenanya, lelaki yang ditinggal istri ketika Indonesia baru merdeka. Kini hidup sebatang kara. Sejak setahun terakhir.
Tak ada pekerjaan yang dilakoninya. Rutinitas hanya mendengar siaran radio. Bosan, lalu menyetel televisi hitam putihnya. Perkembangan politik pun diikutinya. Termasuk ceramah agama.
Nurdin memang bukan kiyai. Tetapi dia merasa insyaf dan bertobat. Dosa-dosa masa lalunya kini berusaha dikuburnya. Apalagi, setelah ditinggal istri, sebagai lelaki yang belum begitu tua dia masih membutuhkan belaian.
Lalu, iseng-iseng dia pun melampiaskannya. Lumrah. Tetapi lama baru disadarinya bahwa itu tak ada ampunnya. Dan diapun bertobat.
Termasuk ketika di masa peperangan dulu sempat iseng sering mengintip wanita mandi di bawah Jembatan Ampera. Kenangan itu kembali teringat di kala tuanya.
Karenanya, seringkali Nurdin terbangun dari tidur. Mimpi itu selalu terulang. Bagaimana dia melihat pacarnya dulu diperlakukan serdadu Jepang dengan kurang ajar. Sampai akhirnya dia bertekad membalas dendam.
Awalnya, memang dia ikut masuk-keluar hutan berjuang dengan alasan dendam. Tetapi akhirnya, dia mengangkat senjata karena memang merasa wajib membebaskan dari cengkeraman Jepang.
Maka, ayunan parangnya pun semakin bersemangat mengarah ke tentara Jepang. Begitupun senjata kecepeknya.
Tatkala Belanda kembali ingin berkuasa, dia pun ikut berjuang. Lima hari lima malam, dia bertempur di pinggir sungai Musi.
Karenanya, sesekali waktu dia termangu ketika melihat relief perjuangan yang dipatrikan di dinding Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Meski tak ada yang mirip dirinya. Dia tak kecewa. Nurdin yakin dia ada diantara mereka.
Yang lebih menyedihkan, orang yang lahir dan dibesarkan serta mencari penghidupan di daerah ini, banyak yang seakan tak melihat relief perjuangan yang di pajang di Monpera itu. Mereka lebih bangga dan tertarik melihat Jembatan Ampera. Hanya saja, maunya dia, Monpera juga bisa dilirik dan dibanggakan.
Dengan kondisi itu, Nurdin pun sebenarnya ikut bangga. Dia juga bangga melihat Sungai Musi kini sudah berubah. Jembatan Ampera masih tegak. Meski tuanya sudah semakin bertambah. Makin tua makin megah seakan membuat arus Sungai Musi tak berdaya. Arus derasnya tak mampu menggoyah tiang-tiang jembatan.
Seiring bentangan waktu, jembatan serupa pun telah dibangun. Hanya saja, tetap Ampera yang termegah.
Itu yang tak bisa ditiru oleh manusia. “Saya semakin tua. Perjuangan untuk hidup dilanjutkan oleh yang lain yang terus lahir. Begitu seterusnya. Itu memang alami. Anakku pun begitu. Nanti dia akan sampai pada batas pengabdiannya. Diteruskan oleh keturunannnya. Tak bisa kita melawan arus alami. Tuhan sudah mengatir semuanya. Kalau sudah sampai waktunya…….”
Hanya kalimat itulah, yang menjadi goresan terakhir dari Nurdin yang terbaca oleh anaknya yang sengajadatang membawa anak dan istrinya berkunjung ke rumah orang tuanya. Maksudnya, ingin berlibur selama anak-anaknya libur sekolah. Sekalian mengkhitankan anaknya.
Biar sang kakek bisa melihat bagaimana dirinya tidak memarahi anaknya yang nakal sesudah burungnya dipotong. Sama seperti perlakuan ayahnya kepada dirinya.
Sayang, keinginan itu tak terkabul. Kedatangannya harus diisi kesibukan mempersiapkan kain kapan dan memberitahu tetangga, keluarga dan kenalan lainnya ikhwal akhirnya perjuangan sang ayah.
Buku harian itu masih terbuka dengan pulpen masih dalam genggaman seolah menjadi laporan pertanggungjawabab sang ayah. Dia telah siap menghadap Sang Pencipta.
* Rokok dari daun yang dikeringkan dan diisi tembakau.
Palembang, 16 Agustus 2006
Pengabdian
Pilihan Sarjan
Sejak diwisuda dan menerima ijazah, rutinitas yang dikerjakan Sarjan hanya berdiri di depan papan tulis dengan senjata kapur di tangan. Goresan-goresan berwarna putih tak terasa telah melahirkan pula sarjana-sarjana bagi muridnya yang bernasib baik melanjutkan kuliah. Meski ada juga yang cuma sekadar preman pasar, polisi, tentara, pegawai negeri sipil, bahkan ada pula yang mungkin menjadi lonte.
Tapi, terus terang, tidak ada dan tidak pernah Pak Sarjan --demikian dia bisa dipanggil murid-muridnya— mengajarkan muridnya untuk menjadi seperti yang mereka jalani sekarang ini. Entah itu polisi, tentara, sarjana, ataupun lonte.
Yang ada, hanyalah bagaimana muridnya bisa berbicara, menulis, menyimak, dengan baik. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Soalnya, Sarjan Sarjana Pendidikan adalah guru pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bahkan, terkadang dia juga mengajarkan muridnya berpuisi, menulis cerpen, bahkan bermain drama. Meski dia sendiri tak tahu, apakah ada diantara muridnya di kemudian hari bisa menerima ajarannya dengan baik dan menerapkannya.
Sarjan sendiri, sesungguhnya merupakan tipe guru yang memang pendidik. Dia tidak macam-macam. Karena kepandaiannya hanya mengajar maka dia tidak bisnis lain. Tidak ikut menjual buku, juga tidak bisnis dalam penerimaan siswa baru. Karena memang, sekolahnya sekolah swasta.
Apa ada yang mau memberi duit agar bisa diterima di sekolah ini. Pernah itu diutarakannya kepada rekan kerjanya ketika mereka bercerita soal sekolah negeri yang panen kalau saat penerimaan siswa baru.
Perkawinan Sarjan pun tak neko-neko. Setahun setamat kuliah, meski masih berstatus guru honor dan sampai sekarang 15 tahun kemudian masih berstatus guru honor, dia melamar gadis tetangganya. Anak seorang tukang sampah.
Paini, namanya. Hasil perkawinan dengan Paini telah lahir tiga orang anak. Mereka bersyukur meski tak bisa foya-foya, kehidupan keluarga ini lumayan.
Kontrak rumah yang berkamar satu, dimana dindingnya dari kayu dan atap seng, tak pernah nunggak. Begitu juga bayaran listrik.
Hanya saja, yang menjadi pertanyaan Sarjan, ketika anak sulungnya sudah tamat taman kanak-kanak, ternyata umurnya belum cukup untuk masuk sekolah dasar.
Kalau saja, tetangganya tidak ada yang cerita bahwa tetangganya yang lain dulu juga sama seperti anak Sarjan dan bisa diterima di SD, barangkali si sulung, Parman, masih tidak bersekolah.
“Bisa. Datangi saja guru yang rumahnya di ujung lorong sana. Beri dia amplop, tak usah banyak-banyak, nanti tanpa dites pun anakmu bisa masuk ke kelas I,” ujar sang tetangga.
Sarjan awalnya tak mau. Apalagi, dia memang tahu syarat masuk SD itu mestinya 6 tahun. Istrinya lah yang ngotot. Sampai akhirnya mengambil keputusan sendiri.
Sarjan tak marah ketika tahu anaknya ternyata memang bisa masuk di SD. Begitupun ketika disodori tagihan uang buku dari sekolah. Jumlahnya ternyata lebih besar dari yang mesti dikeluarkan murid-murid di SMA tempatnya mengajar.
Sudahlah, pikir Sarjan, mungkin itulah nasib orang tua. Seperti itulah pula ketika di sekolahnya ada masuk guru kontrak baru. Padahal, Sarjan sendiri sudah tiga kali ikut tes guru kontrak ** tak pernah lulus sejak tahun 1999. Sementara, guru kontrak baru itu setahunya sebelumnya belum pernah honor.
Padahal, persyaratan ikut tes guru kontrak mestinya memiliki surat rekomendasi dari kepala sekolah tempatnya honor.
Sarjan tak mau susah memikirkan. Yang penting baginya, bagaimana dia berhemat seirit-iritnya. Soalnya, dengan masuknya dua guru kontrak baru, sementara jumlah siswa di sekolahnya tak seberapa, berarti jumlah jam mengajarnya kurang.
Itu artinya, honor yang diterimanya semakin berkurang. Dan lima tahun terakhir, memang sekolahnya semakin kurang diminati murid baru. Soalnya, fasilitas sekolah itu memang tergolong kurang. Karena berstatus terdaftar, maka kalau ujian harus menginduk dengan sekolah lain. Karenanya, saat kelulusan, biasanya sekolahnya itulah yang siswanya banyak tak lulus.
Uang sekolahnya memang murah. Mungkin karena sering banyak yang tak lulus, orang-orang tua pun khawatir mendaftarkan ke sekolah itu. Kecuali bagi mereka yang memang terpaksa.
Kini, dengan hanya mengajar dua kelas I, Sarjan hanya mengajar 10 jam seminggu. Berarti, honor yang diterimanya setiap adalah bayaran satu jam pelajaran di kali 10 jam mengajar***. Honornya sekarang Rp 7.000 per jam. Berarti dia menerima Rp 70.000 sebulan. Beruntung, dia masih dapat honor dari tugasnya mengurus siswa dan Pramuka. Maka, digenap-genapkan dapatlah Rp 150.000.
Sementara anak keduanya kini telah juga masuk SD. Kalau dulu, masih lumayan karena dia selain mengajar kelas I juga kelas II dan III.
Beban tugas dengan berkurangnya jam mengajar tentu saja berkurang. Tetapi, tetap saja Sarjan harus menulis satuan pelajaran. Harus mengoreksi latihan, mengoreksi ulangan harian, meski jumlahnya juga berkurang.
Dengan demikian, kini Sarjan punya banyak waktu luang. Dia lebih banyak di kantor. Hanya saja, banyak waktu luang ternyata bukan membuatnya senang. Justru pusing. Apalagi, kalau pulang, Paini selalu ngomel.
Soal jajan anak, bayaran sekolah, duit beli buku, beli beras lah. Akibatnya terkadang, Sarjan pun tak sempat membuat persiapan mengajar. Padahal, seperti pernah diajarkan dosennya dulu, sebelum mengajar harus ada persiapan. Bagaimana membuat pengantar, menggelitik siswa agar bertanya, teknik menjawab pertanyaan siswa. Tapi, itu semua kini telah tak diingatnya lagi. Beruntung, Sarjan punya rasa humor yang tinggi. Sehingga dia bisa lebih banyak membuat lelucon. Sehingga tak terasa jam pelajaran berlalu.
Bagi muridnya sesungguhnya apa yang dilakukan Sarjan tak ubahnya dengan yang dilakukan guru lain yang tak siap dengan materi. Hanya saja guru lain punya cara tersendiri. Misalnya memberikan catatan. Salah seorang murid yang tulisannya bagus disuruh mencatatkan buku pelajaran yang harganya mahal ke papan tulis. Atau, mulai dari menit pertama hingga detik terakhir jam pelajaran marah-marah.
Beruntung, suatu hari Sarjan bertemu bekas tetangganya, Iman. Dia diajak naik motor. Motor baru. Masih mengkilat. Ternyata itu motor ojek.
Terpikirlah untuk ngojek. “Gimana caranya ngojek,” tanya Sarjan.
“Kamu kan ngajar. Gengsi, nanti ketemu murid,” jawab sang teman yang buta huruf karena waktu kecilnya bandel dan tak mau sekolah.
Sarjan tak bergeming. Akhirnya dia pun resmi jadi pengojek. Hari pertama, dia tak sengaja membonceng seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang mengenakan seragam Korpri. Tampaknya dia terburu-buru.
Begitu tiba di tempat tujuan, Sarjan membuka helm, sang penumpang pun mengenali Sarjan. “Bapak, guru saya dulu kan,” tanya penumpang yang ternyata kini sudah jadi PNS di kantor walikota. Ongkos pun tak perlu dikembalikan. Uang Rp 20.000-an ribu masuk ke kantong. Lumayan, setoran sudah dapat.
Kini sekolah tempat Sarjan mengajar heboh. Soalnya, Sarjan yang guru honor tiba-tiba bisa naik motor.
“Pasti dia beli togel,” bisik-bisik guru kontrak kepada temannya. Tak satupun yang menyebut kemungkinan Sarjan korupsi. Sebagai guru, apa sih memang bisa dikorupsi. Paling korupsi waktu. “Apa bisa untuk beli motor? Beli jam saja tak bisa. Padahal, jam kan untuk mengetahui waktu,” bisik-bisik seputar Sarjan di ruang guru.
Sarjan sendiri tidak ambil peduli. Dia tetap mengajar dengan rajin. Ngojek pun kian giat.
Sekali waktu, saat ada razia, Sarjan terkena tilang. Maklum, penumpangnya tak pakai helm. Dia juga belum punya Surat Izin Mengemudi (SIM).
Seorang komandan polisi mendekatinya. “Anda melakukan banyak kesalahan. Silakan lanjutkan perjalanan. Ini saya pinjami helm untuk penumpang Anda. Besok temui saya di kantor,” ujar sang komandan yang tidak mengembalikan surat-surat motornya .
Sarjan sama sekali tak tahu dan mengerti kalau sang komandan itu bekas muridnya dulu. Esoknya, dengan bantuan bekas siswanya itu, Sarjan pun mengantongi SIM. Surat tilangnya pun bisa ditebus meski tanpa siding. Sarjan sebenarnya mau menolak kebaikan sang komandan yang begitu berwibawa di depan anak buahnya. Tetapi, dia seakan tak menemukan cara yang tepat untuk itu.
Dengan SIM di tangan, kini Sarjan pun kian giat. Bahkan kini dia pun sering ngojek sampai larut malam.
Hingga suatu ketika dari sebuah hotel menghentikan laju sepeda motornya, seorang wanita berpakaian seksi. Ketika menumpang di sadel sepeda motor, berhembus aroma yang lembut. Pasti parfum mahal. Ketika sepeda motor sudah berjalan, baru wanita itu menyebut alamat yang ditujunya. Terdengar isak tangis.
Tanpa diminta, wanita pun bercerita bahwa dia wanita panggilan. Tetapi dia sangat tersinggung harga dirinya ketika lelaki pelanggannya meminta layanan yang tak masuk akal. Dia terpaksa melayani. Tetapi, lelaki itu pun ditinggalkannya. Karena telah menyiksa dan memukulinya.
Tak terasa sepeda motor sudah tiba di tempat tujuan. Sarjan ingat, di sini beberapa tahun lalu dia pernah mengantar siswinya yang pingsan saat pelajaran olahraga dengan menumpang becak. Ketika wanita yang diboncengnya mau membayar, terlihat jelas siapa wanita itu. Bekas muridnya. Uang lima puluhan ribu tak disentuhnya. Sarjan pun memacu sepeda motornya. Tinggallah sang wanita melongo sembari mengelap air matanya yang terus mengalir.
Kini, memang Sarjan sudah menemukan peluang. Sebagai guru dia tetap guru honor. Tidak bisnis buku, tidak bisnis siswa. Namun di luar itu, dia seorang pengojek. Teman-teman mangkalnya tahu dia adalah guru sekolah. Tetapi teman-teman gurunya tak tahu dia pengojek.
Paini kini bisa lebih ramah. Dia setiap hari bisa menerima uang sisa setoran dari suaminya. Juga bisa naik motor. Anak-anaknya juga tak perlu lagi menangis kalau minta uang jajan. Saban Sabtu, setiap minggu keluarga ini pun bisa cuci mata keliling kota naik motor.
Saat teman-temannya sibuk mengurus persyaratan untuk ikut tes menjadi guru PNS, Sarjan justru sibuk mengantar penumpang. Dia panen besar, mulai dari rekan-rekannya melengkapi persyaratan sampai mendaftar. Juga saat pelaksanaan seleksi. Dia merasa cukuplah menjadi guru honor. Tak ada bedanya dalam pandangan anak-anak Sarjan, apakah sang ayah guru honor atau menjadi guru yang PNS.
Tugasnya, sama-sama mengajar. Yang dihadapi sama-sama anak didik. Yang membedakan cuma , kalau ayahnya ikut tes menjadi guru PNS maka mereka harus berpisah karena sang ayah pasti ditempatkan di desa. Selain itu, mungkin mereka tak bisa lagi jalan-jalan sore dengan motor melihat matahari kembali ke peraduannya.
Di benak Sarjan, nanti dia akan membeli lagi dua atau tiga sepeda motor. Lalu, motor itu kan dipercayakan kepada temannya. Dia tinggal menerima setoran. Naik pangkat menjadi juragan ojek. Nanti, tentunya waktu untuk mengajar akan semakin banyak. Lalu istrinya Paini akan diberi modal untuk membuka warung di rumah. Dari warung, kalau mau akan berkembang menjadi mini market.
Belum lagi dia membeli motor, istrinya belum berjualan, seorang penumpangnya sudah keburu melilitkan kawat ke lehernya setelah diantar ke tempat yang sepi sesudah magrib. Sarjan pun terkapar, dan motornya berpindah tangan.
Di kamarnya, bertumpuk pekerjaan rumah dan kertas ualangan midsemester belum dikoreksi. Hingga batas waktu pengumpulan nilai, Sarjan tak sempat menyerahkan hasil koreksiannya. Akibatnya, terpaksa pembagian rapor di sekolahnya tertunda karena nilai pelajaran yang dipegang Sarjan masih kosong dan nilai untuk kelas yang dipercayakan kepada Sarjan sebagai walikelasnya belum sempat ditulis.
Ketika ada penemuan mayat yang awalnya tak beridentitas sudah membusuk, rekan-rekan guru dan pihak sekolah tak percaya kalau yang menjadi korban penumpang ojek itu adalah Sarjan. Mereka baru sadar setelah melayat dan menghadiri pemakaman, siapa sesungguhnya Sarjan itu. Sang istri dan anak-anaknya di sela-sela isak tangisnya sempat bercerita tentang suami dan ayah mereka..
Palembang, November 2005
* Diilhami dari tewasnya seorang tukang ojek korban perampokan dengan kondisi mengenaskan tahun 2005 lalu di Km 5 Palembang.
* Guru perbantuan sementara (GPS) yang dikontrak oleh pemerintah setiap tahun dengan penghasilan yang lebih besar dibandign guru honor. Lebih dikenal dengan sebutan guru kontrak (kini, para guru kontrak ini sudah diangkat menjadi PNS).
** Di beberapa sekolah menengah, gaji guru honor selama sebulan diperhitungkan dari berapa jam dia mengajar dalam seminggu.
(Dimuat di Tabloid Desa edisi tahun 2005)
Cinta Kingkong
Cinta itu banyak macamnyo co. Ada cinta monyet, cinta suci, cinta palsu, cinta buta, dan lain sebagainya. Nah aku sekarang nak nanyo: “ngomong-ngomong cak nyo ni lemak aku ngomong make bahaso sini bae biar omongan kito tu santai tapi bemutu dan komunikatif io dak?”
“Terserah lu dah! Lu mau ngomong pakek bahasa Indonesia kek, bahasa Jakarta kek, gua sih ngerti aja. Tapi lebih bagus lagi kalo ku ngomong pake bahasa kebangsaan lu, semendo tu, biar secepatnya gua tinggalan pergi,” serobot Udin sambil menghidupkan dapur tembakaunya.
“Sialan nian kau ni, jangan mak itu Din. Kalu wong sedang ngomong dak boleh dipotong tau dak. Ini Palembang. Berani motong omongan berarti berani nanggung resiko untuk mencicipi rasonyo pedih!” Diman agak emosi.
“Tapi untunglah kito bekawan jadi bidak di pinggang ni maklum jugo. Tadi kan aku nanyo. Io apo idak tu cuman seserannyo bae. Jadi kau tu seharusnyo cuman njawab io atau boleh jugo njawab idak, titik. Nah, kagek kalu aku la nanyo sebenarnyo nanyi, baru kau jawab sejelas-jelasnyo!” sambung Diman dengan emosi yang agak mengendor.
“Oi sabar bae Man. Ngan tu maklum kan bae, die tu kan empai pindah ke sini jadi masih nyisekan bawea budak Jakarta.” Rupanya Joni Pendek yang pipinya penuh jerawat dan rambutnya ala Tommy Page angkat bicara.
“Kau ni Jon, dakusah nak melok-melok. Ini ni urusan bukang belagak tau dak! Bukan urusan Tommy Page pendek, caka beruk, cak kau tu.” Dan telunjuk Diman menyusul gerakan bibirnya serta ikut menari-nari di depan wajah Joni.
Melihat ini Sandi merasa berkewajiban untuk membaur dan meramaikan suasana. “Bagus Man, kalu dipikri dio ni memang perlu diajari caro-caro efektif dan efisien untuk menjadi Tommy Page sejati.”
Suasana di terminal itu makin kacau Diman, Joni, dan Sandi, serta Udin seperti akan berkelahi. “Joni, Sandi, Diman. Lu orang bertiga ini kok enggak karuan sih. Sabar sabar dong.” Kemudian Udin menghidupkan kembali kompor tembakaunya yang kedua, lalu, “Kalu menurut gua, si Joni ini sebenarnya punya otak brilian. Buktinya dia mampu mengkombinasikan wajah mirip tarzannya dengan rambut ala Tommy Page dan dandanan yang dandi sehingga melahirkan Joni tehe best action.”
“Io nian Man, Din, Jon. Cube kamu tu keleh nian aku nai pucok Ampera tu, pastilah aku menjelma jadi saingan tarzan raje rimbe, Tommy Page idola remaje, juge perawagan top naik kalangan jetset Erpa sane.”
Sude ai ngan behumeh,” balas Sandi.
“Benah benah benah, tapi sebelum aku marah aku pengen nyingok kamu beduo tu, Joni jugo Sani diam di sini bae. Kami bnedua nak pegi ke warung Bik Inah tu nak ngobrol masalah cinto.”
“Kalo gitu ayo Man, gua sih nurut ajalah.”
Diman dan udin lalu pergi (sebelum pergi Diman melemparkan bungkus rokoknya yang besisa dua batang kepada Joni dan Sandi). Rupanya Diman ngomong kasar tadi cuma di mulut saja. Udin menyalakan rokoknya yang ketiga sedang Diman baru yang pertama. Sesampainya di tempat yang dituju mereka berdua lalu duduk.
“Din, kau tu jangan tersinggung oleh omonganku tadi. Aku Cuma maen-maen bae. Aku tadi nak nanyoke masalah cinto kau dengan si Reni Jayusman, lady rocker yang kato kau lah lamo jadi pacar kau. Kato aku tadi kan cinto itu banyak macamnyo. Nah cinto kau kau dengan cewek kau tu temasuk cinto yang makmano? Wah abis pulo rokok ini, kau masih ado rokok Din?”
“Wah abis Man, tadi di kantong baju ado Sam Soe 4 batang, di kantong sepan ado Salem 3 bungkus. Tapi sekarang karek lagi. Lah disulap oleh Bung Amat pakai kotak ajaibnyo mungkin Man.”
“AI Din. Kau ni lah kemajuan nian. Cocock nian kau jadi preman Palembang, besak segek, jago ngota’i, terakhir kau ni lah lihai pulok bahaso sini.”
“Terus terang Man, cintoku samo dio tu kalau mau dikategorikan cintoyang kau sebut tadi, maka cintaku termasuk kategori cinta dan lain-lain sebagainya.”
“O” (dengan mulut terbuka).
“Engkau pernah nonotn film Kingkong?”
“Pernah”
“Nah cintaku seperti itulh”
“Flm itu kan Cuma khayalan saja”
“O”
“Tapi enak kan ditontonnya?”
“O”
“Bagus kan ceritanya?”
“Io”
“Kuat kan tenaga kingkong itu?”
“Io nian”
Besar kan tubuhnya”
“Io lah pulok”
“Tapi coba kalau engkau bertemu dengan binatang itu, aku jamin engkau pasti terduduk di kala tidur, terkencing-kencing di kala besar, dan terdiam di kala berbicara, serta terpingsan di kala sadar.”
“O”
“Nah, cintaku seperti itulah”
“Maksudnya?”
“Cintaku Cuma tumbuh dalam, khayalanku saja. Namun sangat indah untuk dinikmati. Jalinan-jalinan cinta kami mesra dan sungguh manis. Kekuatanku rasanya berlebihan untuk melumatkan tubuhnya dalam pelukan dan cintaku sungguh besar dan menggebu-gebu.”
“O begitu”
“Saking hebatnya Man. Setiap malam aku memimpikannya. Setiap saat aku membayangkannya. Setiap bangun tidur yang pertma kuingat hanya dirinya.”
“Teruskan Din”
“Suatu hari, aku tak dapat menahan diriku untuk menemuinya. Tapi aku ragu. Engkau kan tahun kami dulu bertetangga. Akhirnya kupilih jalan untuk menemuinya melalui surat. Mungkin karena dalam....... khayalan-khayalanku yang bermain-main di benakku dia telah menjadi kekasihku maka pada waktu menulis surat yang pertama tersebut aku tak bisa membedakan kenyataan dan khayalan sehingga kata-kata yang mampir di kertas surat tersebut adalah kata-kata yang seharusnya berlaku bagi sepasang kekasih yang telah seia sekata.”
“O”
“Tapi apa lacur, ketka aku bertatapan mata dengannya saat aku ingin menyerahkan surat tersebut, aku tersadar Man bahwa ia tak mungkin kuraih aku terkencing-kencing Man, mulutku yang biasanya lincah kini terkunci Man, dan aku pingsan.”
“O”
“Ketika sadar aku rupanya telah memegang singkong sebesar lengan, seperti sangat ini Man.”
“O”
Apakah engkau ingin membaca suratnya Man? Ini bacalah”
“O”
“Setelah membaca surat ini dia cuma berkata O seperti engkau saat ini Man.”
“O ya”
“Aku sebagai lelaki tersinggung dan jatuh berderai harga diriku. Lalu aku berkata. ‘Itulah kenyataan, rupanya dia kembali berkata O seperti engkau saat ini Man.”
“O”
“Aku marah dan singkong di tanganku men yusup di O –nya.”
“Ouuuup .... hop ... glek..glek”
“Maaf Man, O mu pun tertutup singkong. Itulah akhir cerita tentang cinta kingkong yang termakan singkong.”
(Dimuat di Sriwijaya Post, Minggu, 3 Februari 1991)
Penulis, Muhamad Nasir
Lahir di Desa Beringin, Muaraenim, Sumsel, 16 Mei 1969, Muhamad Nasir menamatkan SDN 33 Tanjungkarang tahun 1983, lalu menyelesaikan SMPN 3 Tanjungkarang tahun 1985, dan menuntaskan SMAN Wayhalim Tanjungkarang tahun 1987.
Sempat menganggur satu tahun, putra tunggal Maryam dan Puadi Zen ini melanjutkan pendidikan di STKIP PGRI Palembang (kini Universitas PGRI Palembang) dan selesai tahun 1994. Bakat menulisnya telah diasah sejak kuliah dengan mengirimkan berbagai tulisan ke Sriwijaya Post dan Sumatera Ekspres serta beberapa media mingguan sejak tahun 1991. Usai menyelesaikan studi, suami dari Nurjanah ini mengabdi di almamaternya sebagai dosen luar biasa. Tahun 1996, dia bergabung di Sumatera Ekspres sebagai copy editor dan menyatakan keluar tahun 2000. Lalu, tahun itu pula bergabung dengan Koran Transparan sampai 2001.
Sejak bergabung dengan Sumatera Ekspres, tugas mengajarnya di Universitas PGRI Palembang dilepaskan dan berlanjut setelah tak lagi bergabung lagi dengan Transparan tahun 2001. Saat itu, dia bergabung di Harian Sore Sinar Harapan hingga kini.
Selain di Sinar Harapan, ayah dari Carisna Aprianti dan Muhamad Nurhidayatullah Pascadh ini sempat bergabung dengan beberapa media, seperti Tabloid Suara Daerah dan Majalah Forum. Selain itu, sejak 2005 juga bergabung dengan Harian Bisnis Indonesia hingga sekarang.
Di penerbitan daerah, juga sempat mengelola Media Publik sebagai Redaktur Pelaksana, Grha Media, media internal REI Sumsel sebagai Pemimpin Redaksi, dan Surat kabar Agung Post sebagai Redaktur Pelaksana. Di bidang fotografi, tercatat sebagai stringer Kantor Berita Antara untuk wilayah Sumsel.
Dalam dunia tulis-menulis, Buku “Batang Waktu” yang merupakan kumpulan tulisan Bangun P Lubis (wartawan Suara Pembaruan) Muhamad Nasir menjadi editor. Lalu, Buku “Jejak Politik Syahrial Oesman” ditulisnya tahun 2005 bersama Bangun P Lubis dan Syamsul Hidayah (Wartawan Sriwijaya Post).
Cerpen-cerpen yang dihimpun oleh Arif Ardiansyah (wartawan Tempo) dalam kumpulan cerpen ini, merupakan karya yang terserak dan tersebar yang dipilih dan dipilah dari puluhan karya Muhamad Nasir.
Karya-karya lainnya dari mahasiswa Pascasarjana Universitas PGRI Palembang ini akan juga dibukukan di waktu mendatang dengan tema berbeda.
Editor, Arif Ardiansyah
Lahir di Palembang, Sumsel, 24 Mei 1972, Arif Ardiansyah menamatkan SDN 142 Palembang tahun 1985, lalu menyelesaikan SMPN 32 Palembang tahun 1988, dan menuntaskan SMAN 3 Palembang tahun 1991.
Putra ke enam dari pasangan H Sobirin dan Hj Mariah ini kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Udayana, Bali dan selesai tahun 1997. Sarjana Sastra pun disandangnya.
Karier jurnalistik suami dari Savona Amelia (Avon) ini dimulai di Tabloid Aksi (grup Pos Kota), dan hingga kini tercatat sebagai Koresponden Tempo untuk Sumatera Selatan.
Di sela-sela tugas kewartawanannya, ayah dari Nawal Riefsa Ardiansyah ini juga aktif mengajar di Universitas PGRI Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Bahasa Indonesia Palembang. Saat yang yang sama, dia juga menyelesaikan pendidikannya di STIHPADA Palembang dan selesai tahun 2005. Kini dia tengah menyelesaikan pendidikan pascasarjananya di Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya jurusan pendidikan.
Dalam dunia tulis menulis, buku yang dieditori Arif ini merupakan buku yang ketiga. Dia sebelumnya menulis Buku Hubungan Sipil-Militer di daerah, sebuah bunga rampai. Lalu, sebuah tulisan yang dieditori Abdul Wahid Situmorang alias Ucok, Pembangunan Sumatera Selatan dalam Sorotan Perspektif Lokal, penerbit IFPPD dan UNFPA.
Cerpen-cerpen yang dihimpunnya dalam kumpulan cerpen ini, merupakan karya yang terserak dan tersebar yang dipilih dan dipilah dari puluhan karya rekannya sesama jurnalis, Muhamad Nasir.
Karya-karya Muhamad Nasir ini merupakan sastra koran yang ditulis oleh orang yang bekerja dan bergelut di dunia jurnalistik. Itulah yang membuat dia tertarik menjadikan cerpen-cerpen ini dalam bentuk buku. Semoga bermanfaat.